Kembali ke Dasar

Suatu saat, bapak saya menanam beberapa tanaman hias di halaman. Ketika bapak sedang sibuk dengan cangkulnya, budhe saya lewat. Sambil menenteng jun (sejenis gerabah yang digunakan untuk mengambil air) ia bertanya, “Nandur ngono kuwi kanggo apa? Mbok ya nandur lombok utawa tomat.” Untuk apa menanam tanaman yang tidak bisa dimakan?

Adegan itu kembali terbayang di kepala saat tadi pagi saya mengantri di Warung Pecel Pincuk Bu Ida, Gading Serpong. Budhe–dan juga warga desa yang lain, saya rasa–mungkin geleng-geleng kepala kalau mereka tahu saya menempuh 17 kilometer untuk mengantri makan pecel. Makan di rumah sendiri, kan, bisa?

Saya, sebagai orang desa yang sudah keracunan gaya hidup ala kota, sudah mengenal makanan autentik, tempat instagrammable, warung hits, dan sebagainya. Budhe saya, di lain sisi, menempatkan kegiatan makan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Apa bedanya makan sepuluh ribu dan seratus ribu? Sama-sama supaya gak mati, kan?

Saya pikir, ada saatnya saya harus kembali belajar dari budhe. Ketika hidup sudah mulai ruwet, hari-hari terasa panjang, dan waktu–juga duit–selalu terasa kurang, pertanyaan itu harus saya renungkan.

Budhe saya tak pernah memberikan pertanyaan spesifik, tetapi ada seorang kawan yang mewakilinya merumuskan dalam kalimat sederhana. “Mas, yang harus ditanyakan pertama kali itu bukan apakah hal itu bisa diwujudkan, tetapi apakah perlu?”

Selamat siang, Gita Wiryawan. Hari ini, sudah berapa hal tak perlu yang dilakukan?

Wisata Tour Jeep Lava Merapi

Keluarga besar ibu saya yang berasal dari Jogja, ditambah dengan mbakyu yang tinggal di Sleman, dan bapak saya yang tinggal di sana juga, membuat saya sering wira-wiri ke Jogja. Namun, jarang sekali saya menikmati wisata di Jogja. Ke Jogja berarti pindah tidur ke tempat saudara, selalu seperti itu. Libur lebaran kali ini saya juga mudik ke Jogja, yang berbeda adalah istri saya sudah memiliki rencana: Lava Tour Merapi.

Awalnya saya sempat ragu karena Merapi dikabarkan beberapa kali meletus saat Ramadan kemarin. Namun, setelah nanya-nanya ke Mbak Google (catet, ya, berdasarkan suaranya Google ini Mbak, bukan Mbah), ternyata Merapi tetap aman dikunjungi sampai jarak tiga kilometer dari puncak. Lalu kami pun berburu info lewat instagram. Karena itu, ketahuilah wahai orang-orang yang percaya, sesungguhnya telah merugi orang-orang yang berjualan namun tak eksis di instagram.

Saya lalu mengontak 86 MJTC yang juga punya situs jeepmerapi86.com. Saya kuatir jumlah pengunjung di saat libur lebaran membludak sehingga ndak kebagian tempat. Kekawatiran yang kemudian ndak terbukti. Jebul di sepanjang jalan menuju Umbulharjo, Cangkringan, jasa wisata jip ini ombyokan, buanyak banget! Ngomong-ngomong, kalau pengelola Jeep Merapi 86 baca tulisan ini, tolong bio yang di instagram diedit, ya. Situs yang tertulis di situ ndak bisa diakses.

Sehari sebelum lebaran saya berangkat menuju basecamp 86 MJTC. Perjalanan dari rumah mbakyu saya di sekitaran lapangan Denggung, Sleman, menuju Umbulharjo, Cangkringan ditempuh sekitar 45 menit. Saya mengajak bapak dan empat keponakan, sehingga total ada tiga orang dewasa dan enam anak-anak. Saya sudah janjian sama mbak di 86 MJTC untuk memakai dua mobil jip. Baca lebih lanjut

Tutorial Pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi WP PP 46 Dengan E-Form

Fasilitas pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi dengan E-Form ndak cuma bisa digunakan oleh karyawan dan wajib pajak yang memiliki pekerjaan bebas. Sampeyan wajib pajak yang memiliki usaha dengan omset setahun di bawah 4,8 miliar, yang setiap bulan membayar PPh Final sebesar satu persen juga bisa menggunakan fasilitas ini. Kelebihan E-Form dibanding fasilitas pelaporan online lainnya adalah lebih sederhana -karena bentuknya seperti SPT manual- dan ndak boros kuota, karena sampeyan hanya diharuskan online saat mengunduh serta mengunggah formulir. Pada saat ngisi bisa offline.

Kalo sampeyan termasuk wajib pajak yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2013 (alias PPh Final 1%) dan ingin lebih mudah dalam berbakti pada negeri, silakan disimak cara mengisi SPT Tahunan menggunakan E-Form.

  1. Siapkan rekap penghasilan sampeyan selama satu tahun.
  2. Siapkan juga rincian harta, utang, serta kartu keluarga. Karena nanti pada saat mengisi SPT ada daftar tanggungan yang harus sampeyan isi beserta Nomor Induk Kependudukan-nya.
  3. Silakan login ke djponline, Apabila sampeyan belum melakukan registrasi dan belum memiliki nomor efin, silakan datang ke KPP terdekat dengan membawa fotokopi KTP dan NPWP untuk melakukan aktivasi efin. Kenapa harus ke KPP terdekat? Aktivasi efin ini ibarat sampeyan mau aktivasi token i-banking, harus yang bersangkutan yang datang. Baca lebih lanjut

Karena Duit Saja Ndak Cukup

Sekian waktu yang lalu Kang Noyo pernah menawari saya untuk menjadi orang tua asuh. Sampeyan mungkin pernah juga pernah membaca tawaran semacam itu. Untuk SD nilainya sekian rupiah per anak, SMP sekian, SMA sekian, dan seterusnya. Saya cuma nyengir.

Ndak, saya ndak bermaksud meremehkan tawaran semacam itu. Bukan pula karena yang menawarkan adalah Kang Noyo, seorang perokok yang memberatkan teman dan penggemar kopi gratisan. Apalagi sampai ingin membelokkannya ke arah, “Bukankah itu tanggung jawabnya negara?”

Sebagai seorang jarkoni –iso ngajar ora iso nglakoni- saya membalas penawaran itu dengan sebuah usulan, “Gimana kalo dana semacam itu dikelola sendiri, Kang.”

Ambillah contoh, misalnya seperti Direktorat Jenderal Pajak. Sebuah instansi pemerintah yang memiliki ratusan kantor dengan puluhan ribu pegawai. Dalam beberapa tahun terakhir mereka rutin mengumpulkan dana dari pegawai yang berkenan. Dana itu lantas disalurkan untuk membiayai pendidikan anak-anak yang membutuhkan di sekitar lokasi kantor masing-masing. Penyalurannya bukan atas nama instansi, tentu saja, melainkan atas nama paguyuban pegawai. Baca lebih lanjut

(Bukan Review) Eiffel I’m in Love 2

Sampeyan sudah nonton Dilan 1990? Film penuh adegan absurd yang berhasil membuat banyak perempuan (dan juga laki-laki) keluar bioskop dengan senyum malu-malu. Saya nonton film itu. Walaupun berbeda dengan kebanyakan orang –mereka senang, saya sedih- namun saya tidak bisa bilang film itu jelek. Dilan adalah film yang romantisnya receh, ringan dikunyah, semacam oase di sela hidup sampeyan yang makin ruwet. Iya, hidup sampeyan, hidup saya sih… sama juga.

Dengan euforia kedilanan semacam itu, istri saya ngajak nonton film Indonesia lainnya, Eiffel I’m in Love 2. Saya liat trailernya waktu nonton Dilan, dialog semacam: “Nama gue Tita, bukan Tit!” sepertinya cukup menjanjikan. Another receh movie. Hidup sudah kebanyakan mikir, mosok nonton film juga nyari yang masih butuh mikir?

Film ini dibuka dengan foto-foto adegan dari Eiffel I’m in Love yang dirilis 12 lebaran yang lalu. Lengkap dengan soundtrack lawas gubahan Melly Guslaw yang walaupun sedikit diubah namun masih mampu membawa kenangan sampeyan ke masa itu. Jaman kreditan motor belum lunas, bayaran masih kecil, cicilan rumah sering nunggak. Dan juga kenangan saat Tita dan Adit, kedua tokoh utama film ini, masih belasan tahun dan sedang lucu-lucunya, tentu saja. Baca lebih lanjut

Menambah Ukuran Kertas Custom Size

Sejak menginstall Windows 10 saya kehilangan sesuatu yang sederhana tapi cukup penting buat kerjaan sehari-hari: custom size ukuran kertas pada office. Heran, padahal program yang saya pakai masih sama, Microsoft Office 2007 versi petani. Saya butuh ukuran kertas F4, 8.5 x 13, tapi yang disediakan cuma A4 (yang terlalu kecil) dan Legal (yang terlalu panjang).

Hasil googling menyuruh saya untuk menambah setting pada print server properties, yang ndak saya temukan menunya. Setelah nyoba otak-atik sendiri, jebul gampang banget. Kalo sampeyan termasuk orang yang gaptek dan kehilangan menu custom size seperti saya, begini langkah menambah ukuran kertas pada windows 10 dan Microsoft Office 2007: Baca lebih lanjut

Berlibur ke Pantai Bangsring dan Pulau Tabuhan

Sekian tahun yang lalu seorang guru saya pernah mengatakan, “Istirahat adalah berganti dari satu kegiatan ke kegiatan yang lain.” Beliau mengatakan hal itu saat kami, segerombolan pemalas yang terjebak dalam full day school, meminta rehat sewaktu kegiatan belajar di kelas. Beliau bersungguh-sungguh mengatakan hal itu, dan saya juga bersungguh-sungguh tidak mempercayainya.

Istirahat itu ya istirahat, leyeh-leyeh, ndak ngapa-ngapain. Itulah kenapa saya selalu merasa ada yang ndak pas saat seseorang mengatakan, “Sampeyan sudah terlalu banyak bekerja, mbok ya istirahat, liburan dulu sana.”

Saya jarang menemukan orang yang acara liburannya diisi dengan istirahat. Bermalas-malasan di kamar hotel, misalnya. Yang ada malah kadang ketemu tipikal orang liburan ala kejar setoran, “Mumpung di sini, ayo kita kunjungi semuanya.” Ndak peduli waktunya terlalu mepet, pokoknya yang penting pernah.

“Mumpung Ibu di sini, kita liburan yuk.” Kata istri saya seminggu yang lalu. Ceritanya ibu mertua saya datang dari Jakarta, sudah lama ndak nengok cucu-cucunya. Saya mengiyakan, bukan semata karena ingin menyenangkan mertua, tapi karena saya memang merasa butuh liburan.

Coba diingat-ingat, apakah sampeyan memelankan kendaraan saat sedang terjadi kecelakaan demi melihat kendaraan yang hancur? Atau sampeyan berburu video gedung Bursa Efek Jakarta yang ambrol dengan para mahasiswa berjatuhan? Kalau iya, berarti sampeyan butuh liburan, karena di luar sana masih banyak pemandangan non musibah yang bisa sampeyan nikmati.

Sempat mempertimbangkan Bali sebagai tempat berlibur, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Banyuwangi. Daripada ke Bali hanya demi mengejar predikat yang penting pernah, lebih masuk akal ke Banyuwangi yang jaraknya sekitar 276 km dan bisa ditempuh selama 7 jam 9 menit bermobil menurut google map. Baca lebih lanjut

Patah Hati

After all you’ve said to me

You broke my confidence

Took it all. Why can’t you see?

It makes no difference to you, it seems

What happens to me

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan patah hati sebagai ‘kecewa karena putus percintaan; kecewa karena harapannya gagal’. Sementara dalam buku The Tattoo Encyclopedia: A Guide to Choosing Your Tattoo, Teresa Green membuat visualisasinya dalam bentuk hati yang terbelah di tengah.

Tak penting lagi untuk dibahas bahwa simbol yang terlanjur populer tersebut menurut sebagian besar pendapat sebenarnya berasal dari bentuk jantung. Patah hati adalah suatu metafora yang digunakan untuk menjelaskan sakit emosional yang dirasakan seseorang setelah kehilangan orang yang dicintai. Atau bagi beberapa orang: kehilangan seseorang yang bahkan belum pernah dimiliki.

Sebagian orang mungkin akan mengatakan bahwa patah hati sebenarnya tak lebih dari sekadar omong kosong. Sebagaimana romantis adalah bagian dari romantika, sedih dan gembira pun hanyalah tentang kemampuan dalam mengolah rasa. Semua itu sebenarnya hanya ada di dalam kepala.

Benar kah demikian? Baca lebih lanjut

Menulis dengan Gawai

Pernah di suatu masa, saya ingin sekali memiliki gawai dengan layar sentuh. Yang terbayang waktu itu, layarnya lebar sehingga memudahkan saya untuk menulis komentar di blog teman-teman. Maklum lah, jaman itu blog masih berjaya. Jaman orang masih belum percaya bahwa makhluk bernama twitter, instagram dan kawan-kawannya akan mampu menenggelamkan tulisan-tulisan panjang.

Sempat terbayang juga, dengan gawai yang papan kuncinya berbentuk qwerty, saya bisa menulis di mana saja. Tanpa harus terpaku di depan komputer. Waktu itu senjata andalan saya “cuma” Sony Ericsson K810 yang baterainya sudah menggembung dan sebuah komputer rakitan dengan prosesor Celeron, hasil kredit pula.

Namun, sesuatu memang akan selalu terlihat indah saat berada di luar jangkauan. Setelah android menggurita dan hampir semua gawai yang beredar di pasaran menggunakan layar sentuh, dua hal yang dulu saya bayangkan hampir tak pernah terjadi.

Saat ini saya menggunakan gawai keluaran Oppo, sebuah merk yang beberapa die hard fans-nya sering meledek Xiaomi. Mungkin mereka sedang membayangkan iphone dengan penggemar setia yang rela tidur di tenda demi mendapat antrian pertama saat sebuah produk baru dirilis. Jangan tanya apa kelebihannya, ini iphone, cukup itu saja. Dan Oppo sekilas memang terlihat seperti Iphone wannabe, bukan?

Apakah dengan gawai berlayar sentuh lantas menjadikan saya rajin menyambangi blog untuk kemudian meninggalkan jejak di sana? Tidak. Sama halnya dengan tingkat kerajinan menulis saya yang sama sekali tak bertambah. Sekali lagi, sesuatu akan terlihat lebih indah saat berada di luar jangkauan.

Bahkan kalau pun gawai yang saya miliki adalah Samsung Galaxy Note yang harganya setara (bahkan lebih mahal) komputer jinjing, saya tak yakin produktivitas menulis akan meningkat. Saya bukanlah Puthut EA, kepala suku Mojok, yang menghasilkan beberapa buah buku dari gawainya. Terlalu jauh kalau saya melihat ke sana. Sekadar status facebook atau cuitan twitter yang bermutu saja, saya tak mampu membuatnya.

Tulisan ini memang tak jelas jeluntrungannya. Ini lantaran Bang Pay, yang dalam seminggu ini mengunggah dua buah tulisan. Keduanya ditulis dengan gawai. Saya penasaran ingin mencoba, sudah, itu saja.

Ladang Coffee Malang

Setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya ke ladang juga. Demikian kata pepatah. Mungkin sampeyan pernah mendengarnya dalam versi yang lain. Tak perlu terlalu diambil hati. Kalau istilah kopitiam dan open mic saja bisa dipatenkan, apalah susahnya mengganti sebuah kata dalam pepatah?

Di Malang, sampeyan boleh saja sudah cangkruk di Java Dancer, kafe legendaris yang sudah menjual kopi beneran saat yang lain masih nyeduh kopi sachet-an. Atau Vosco Coffee yang parkirannya ndak pernah kosong. Atau mungkin Starbucks, tempat orang rela antri untuk minum kopi dengan gelas plastik. Namun sampeyan belum benar-benar ngopi sebelum sampeyan leyeh-leyeh di sini, Ladang Coffee.

Baca lebih lanjut