Kelas Sendal Jepit

sandal jepit

sandal jepit kesayangan

Sekilas memang ndak ada yang istimewa dari sandal jepit yang dulu saya beli dengan harga ndak sampe 20 ribu rupiah itu, cuma sandal murahan warna putih dengan tulisan converse, yang membuat kesan murahannya semakin sangit tercium. Ndak seperti saudaranya sesama sandal jepit yang saya lihat di Pasific Place waktu saya ketemu sama Simbok Venus dan Elia Bintang, sama jepitnya tapi beda kasta, 500 ribu harganya, kalo ndak salah tulisannya Crocs. *harap maapkan kalo salah, saya terlalu terpana dengan harganya*

“Lha trus apa keistimewaan tersembunyi yang ada di sandal jepitmu itu Le?” Tanya Kang Noyo.

Saya nyeruput kopi di warung Mbok Darmi pelan-pelan, “Justru itu istimewanya Kang, karena memang ndak ada keistimewaannya.”

Sandal jepit saya itu begitu sandal jepit.

Halah! Mbulet!

Bukan mbulet, sandal jepit saya memang memiliki nuansa yang sangat sandal jepit. Dia begitu ampuh mengundang lirikan menyelidik dari satpam-satpam mal yang kebanyakan pengunjungnya modis, dia juga penuh dengan hawa penolak sales, buktinya ndak sekalipun saya dihentikan oleh sales-sales yang banyak berkeliaran di mal. Jangankan mbak-mbak sekseh, mas-mas yang saya pikir level kendesoannya cuma 10-11 dibanding saya pun ndak ada yang berminat.

Mungkin karena itu waktu ketemu Simbok Venus kemaren saya dengan sedikit penyesalan minta maap sama beliau, “Maap Mbok, saya cuma make sendal jepit, maklum wong ndeso.”

Lebih baik saya mengaku ndeso terlebih dahulu daripada Simbok berkata dalam hati, “Ini orang kok ndeso banget!”

Bener tho? *guyon lho Mbok*

Sandal jepit saya juga ndak punya nuansa kepura-puraan seperti yang kadang digunakan oleh orang-orang kaya waktu dateng ke kantor pajek. Make kaos lusuh, celana kumal, sandal jepit, dengan naik motor butut, padahal di rumah mobilnya CRV anyar kinyis-kinyis dan semua anaknya kuliah di luar negeri.

Sandal jepit saya begitu bersahaja, lugas, dan apa adanya. Nyaman luar biasa. Hingga pernah suatu saat saya mau kondangan, saya sudah nyiapkan sandal kulit saya satu-satunya, sandal paling bagus yang saya punya. Lha kok pas turun dari angkot menjelang tempat kondangan saya baru nyadar, yang saya pake sendal jepit!

Ajining raga dumuning ing busana kata Mbah Suto, orang akan menilai kita berdasarkan apa yang kita pake. Karena itu saya ndak menyalahkan para satpam, para sales yang anderestimet sama saya gara-gara sandal jepit. Di jaman yang serba materi ini sandal jepit cenderung identik dengan ndak punya duit, yang ndak menarik buat para sales tentu nya. Buat para satpam pun yang ndak punya duit mungkin dipandang berpotensi kriminal, sebagus-bagusnya paling cuma ngrusuhi karena ndak ada yang bisa dibelanjakan.

“Memangnya kamu punya duit?” Tanya Kang Noyo penuh selidik.

“Ndak.”

“Ya sudah, ndak usah protes orang-orang pada anderestimet!” Seru Kang Noyo dengan tawa bernada pelecehan.

Mungkin saya memang harus belajar jadi orang kaya, dan konon untuk bisa jadi orang kaya pertama-tama saya harus berpura-pura jadi orang kaya. Jadi darimana saya harus memulai, mengganti sandal jepit legendaris itu dengan Crocs mungkin?

“Ndak mungkin!” Kang Noyo nyamber.

Jiyan!

23 comments on “Kelas Sendal Jepit

  1. titutismail berkata:

    Cuma mau numpang senyum 🙂

  2. ismi berkata:

    hiii…. hiku sandale jane warna e coklat opo abu opo malah putih tho mas??…

    :D….hehe….. ukurane berapa? 42 ya?…:D

  3. Chic berkata:

    Crocs palsu-nya banyak kok.. mirip lagi..
    coba aja beli itu dulu dan liat gimana reaksi orang
    😆 😆 😆

  4. egah berkata:

    nilai historis kadang bisa lebih tinggi dari nilai barang sesungguhnya mas, sapa tau kalo sampean terkenal nanti sandal jepit kesayangan sampean ini bisa ikut dilego dengan harga selangit seperti rumah peninggalan bung karno yg dilego 35 M hehehehe

  5. […] This post was mentioned on Twitter by blogroll and Tobagus Manshor, Tobagus Manshor. Tobagus Manshor said: bukan sekedar sendal jepit http://wp.me/ppZ5c-y8 […]

  6. Kimi berkata:

    Crocs itu mahal! tapi kenapa laris ya?

  7. big sugeng berkata:

    itulah dunia materialisme
    semuanya ukurannya materi
    cara ngukur seseorang dari tampilannya
    ujungnya orang tidak mempermaslahkan halal haram yang penting borju

  8. buJaNG berkata:

    Saya juga seneng pake sendal jepit, ke mall pun saya juga pernah make sendal jepit. biarin orang pada sirik, lha wong yang make juga saya bukan mereka :mrgreen:

  9. Sandalku bukan sandal jepit. Tapi harganya 20ribuan juga.

  10. ichanx berkata:

    sendal gw beli di karfur… 20 ribuan juga…. langsung putus setelah sebulan pemakaian 😀

    #stein:
    cocok-cocokan mas, mungkin aura sampeyan yang ndak cocok sama sendal murahan :mrgreen:

  11. mawi wijna berkata:

    lolos dari inspeksi satpam di Pacific Place? wow…

    #stein:
    mungkin karena satpamnya ndak tega, wong saya sama anak dan istri

  12. ndaru berkata:

    sandal jepit itu lambang kebersamaan. siapa yang endak punya sendal jepit ato belon pernah pakek sendal jepit? meski sampeyan pakek sendal yang harganya sepadan dengan seperangkat pakean orang kere…ke WC juga tetep sendalan jepit kan?

    #stein:
    mungkin karena itu mbak, kadang ada juga tho orang yang ndak mau dianggap sebagai orang kebanyakan

  13. pindang berkata:

    Kalo saya ke kantor pakeknya sepatu, begitu sampe kantor langsung genti sendal jepit, bukannya apa apa, sendal jepit itu nyaman, menyehatakan dan multipungsi… la kok bisa? nyamannya kalo ke WC gak perlu susah-susah nyopot sepatu, menyehatkan soalnya kaki saya jadi ndak bau (kanginan so bebas mbacem) dan multi pungsi, nah ini dia yang paling saya suka, kebetulan saya kerja dibagian nguprek kompi, ndak canggih-canggih amat, pasilitasnya cuma sebuah pc dan monitor usang yang sering mota-mati, enaaah!!.. kalo pas monitor mati, saatnya sandal jepit unjuk gigi,… plaakkk – plaaaakkkkk… monitorpun nyala dengan suksesnya.

    *Mas Stein, Tulisan sampeyan memang inspiratip, mbikin saya geli dan terharu tumpah jadi satu. TOP

    #stein:
    sadis! opo ora malah mrotholi komputere mas? 😆

  14. bowo berkata:

    sik penting iso turu angler mase.

    #stein:
    sepakat, mangan enak, manggon kepenak 😀

  15. John Murdock berkata:

    sing penting masih ada alas kaki, rendah diri mungkin dimulai dari gaya berbusana, boleh dicoba nih.. :D, jd kedepannya klo dah kaya ->gaya hidup ndak perlu berubah sok-sok an kaya (padahal utang cicilan bejibun), nah lebih baik pura2 miskin dari pada pura2 kaya, ya tho heheh 😀

    Klo ada yg ngeledekin gr2 pake sendal jepit zaman penjajahan
    bisikan aja “mas saya ni cuma pura-pura miskin ajah”

    🙂
    si manis makan combro..
    Peace bro!!

    #stein:
    asik! 😆

  16. warm berkata:

    pokoknya saya pernah diusir saat pake sendal di galaxy mall surabaya, demikian
    *masih esmosi*

    #stein:
    seharusnya sampeyan bilang, “sampeyan tau siapa yang punya mall ini…??!”

  17. […] sekitar jam 7 saya sudah siap dengan seragam kebesaran, celana pendek, kaos oblong dan sendal jepit kebanggaan. Memakai mobil pick up milik seorang warga, saya dan beberapa tetangga pergi untuk mengambil batu […]

  18. daly berkata:

    Salam kenal mas, sy menikmati tulisan2 mas Stein yg sangat membumi dan inspiratif, trima kasih ya.

  19. […] bahasa saya ini disebut meracau, misalnya tulisan saya soal sendal jepit, ndak penting, ndak mutu, waton muni dan asal njeplak. Percayalah, ndak ada larangan meracau di […]

  20. […] ya benar begitu? Saya jadi inget sandal jepit kesayangan yang sudah wira-wiri kemana-mana, dari kondangan di Arjosari sampai ngopi di Pasific […]

  21. shouso berkata:

    ikutan ketawa ah…. ngetawain diri sendiri…

  22. Ceritaeka berkata:

    Hihi bahkan walau sendal jepit udah ditaburi manik-manik lucu atau merknya luar biasa bagus aja, itu namanya tetap sendal jepit dan di beberapa tempat tetap gak boleh masuk.

    So, udah ganti crocs belum mas? :mrgreen:

  23. warm berkata:

    sendal jepit itu enak di kaki nyaman di kantong, mas
    tak ada duanya pokoknya :mrgreen:

Tinggalkan komentar