Meredam Ketidakwajaran

Penghasilan, biaya hidup, harta, dan hutang. Empat hal tersebut adalah komponen yang bisa sampeyan gunakan untuk menentukan wajar tidaknya kondisi keuangan seseorang. Misalnya biaya hidup saya lebih kecil daripada penghasilan berarti sisanya akan jadi harta, entah itu saya simpan dalam bentuk yang gampang cair semacam tabungan atau saya wujudkan dalam bentuk aset tetap, misalnya properti atau kendaraan. Sebaliknya kalo penghasilan lebih kecil dari biaya hidup wajarnya akan timbul hutang.

Sepakat?

Monggo diliat contoh di bawah, misalnya ini adalah posisi harta dan hutang Pak Darmo pada akhir tahun 2009 :

Total Harta

Rp 100.000.000

Total Hutang

Rp 50.000.000

Setelah setahun menjadi Pegawai Negeri Sipil di sebuah instansi yang konon basah nyemek-nyemek, inilah posisi penghasilan, harta, dan hutangnya :

Penghasilan Setahun

Rp 48.000.000

Total Harta

Rp 500.000.000

Total Hutang

Rp –

Apa yang bisa sampeyan baca dari laporan penghasilan, harta, dan hutang di atas?

Ndak wajar?

Dilihat sekilas memang ndak wajar, tapi di mana letak ndak wajarnya?

Anggaplah biaya hidup Pak Darmo yang memiliki seorang istri dan anak yang masih bayi tiap bulan Rp 3.000.000, maka akan keluar itungan seperti ini :

Penambahan Harta

Rp 400.000.000

Pengurangan Hutang

Rp 50.000.000

Tabungan selama setahun

(Rp 12.000.000)

Penghasilan di Luar Gaji

Rp 438.000.000

Sekarang tinggal dikembalikan lagi ke Pak Darmo, bisa ndak beliau menjelaskan asal-usul duit Rp 438.000.000 tersebut? Ada hubungannya sama jabatan di instansi yang konon basah nyemek-nyemek itu ndak?

“Kamu lagi ngapain tho Le? Sok iyes pake mbikin itung-itungan segala. Mau saingan sama KPK opo piye?” Tanya Kang Noyo sambil mendelik, melihat angka-angka di kertas coretan saya.

“Itu lho Kang, saya cuma berusaha menjelentrehkan berita yang dirilis sama orang PPATK. Katanya ada banyak PNS yang nilai hartanya fantastis.” Jawab saya.

Walaupun bagi saya masih ndak begitu jelas, fantastis itu yang bagaimana, apa sebanyak Gayus, atau mungkin sebanyak duitnya para petinggi baju coklat dan baju loreng. Dan yang lebih bikin penasaran lagi, itu PNS dari instansi mana?

Menurut saya ini adalah masalah klasik yang mungkin belum bisa diredam sepenuhnya sampai sekarang. Bagaimana mungkin seorang PNS golongan III bisa punya mobil yang “wah” dengan harga sekian ratus juta misalnya, atau bagaimana bisa seorang perwira menengah bisa punya rumah di kawasan elit yang harganya milyaran.

Bisa ndak yang seperti ini dieliminasi?

Menurut saya seharusnya bisa, walaupun perlu waktu mengingat jumlah pengawas dan yang diawasi ndak sebanding.

Kita mulai dari yang sederhana, bikinlah semacam MOU antara KPK, Direktorat Jenderal Pajak, dan PPATK.

Kenapa dengan tiga lembaga itu?

Di KPK ada Laporan Harta dan Kekayaan Penyelenggara Negara, di Direktorat Jenderal Pajak ada SPT Tahunan yang berisi laporan penghasilan, harta, dan hutang, di PPATK ada data lalu-lintas transaksi keuangan.

  • LHKPN hanya berisi laporan tentang harta dan hutang, asal perolehan dari mana ndak ada rinciannya. Tapi ada kelebihannya, mengingat reputasi KPK yang cukup menyeramkan, para pejabat kita mungkin akan lebih jujur saat mengisi LHKPN dibanding waktu mengisi jumlah harta pada SPT Tahunan pajak.
  • Mungkin ada orang yang ndak jujur waktu ngisi laporan pajak, tapi SPT Tahunan pajak memiliki kelebihan, di sini rasio penghasilan, harta, dan hutang bisa diukur dalam periode waktu tertentu. Salah satu kelebihan lainnya adalah penulisan harta menganut nilai historis, artinya orang ndak bisa berdalih hartanya bertambah karena meningkatnya nilai pasar.
  • PPATK memegang kunci di sini, sebagai pihak yang bisa memantau arus transaksi PPATK bisa ikut menyuplai data untuk menjadi pertimbangan kewajaran dan kebenaran laporan penghasilan, harta, dan hutang yang ada di KPK serta DJP.

Cukup?

Belum, untuk langkah awal kan ndak mungkin mengawasi semua PNS, ndak bakal cukup SDM yang dimiliki ketiga lembaga di atas. Cukuplah yang diawasi para pimpinan di tiap kementerian dan lembaga negara, mungkin sampai level eselon II.

Nah, setelah data penghasilan, harta, dan hutang para juragan itu direkonsiliasi pada ketiga lembaga tersebut, umumkan pada publik. Biar rakyat ikut mengawasi, bener ndak yang sudah dilaporkan sama pejabat-pejabat itu. Buatlah semacam posko pengaduan untuk menampung laporan ketidakbenaran data.

Biarkan nanti terjadi seleksi alam, hanya pimpinan yang memang punya integritas lah yang akan dipertahankan. Paling ndak itu sebagai langkah awal, siapa tahu dengan pimpinan yang bersih juga akan mewujudkan bawahan-bawahan yang bersih.

“Hahaha… Mimpi!” Cetus Kang Noyo.

“Sekarang aku nanya, yang mau bersih-bersih itu orangnya bersih ndak?”

Ealah, mbok ya sekali-sekali percaya gitu lho. Gimana mau mulai bersih-bersih kalo sampeyan ndak pernah mau percaya?

Jiyan!

11 comments on “Meredam Ketidakwajaran

  1. risdania berkata:

    Bingung mau bersih bersih dr sudut mana kalau yg kotor disemua sisi dr yg atas sampai yang bawah,,

  2. Akbar PU berkata:

    lha kok sama mas … bojoku wingi bar di cecer karo KPK … πŸ™‚

  3. Annas D Human berkata:

    pak Sesuatu Banget Yah yang harus ditelusuri dulu

  4. rullykurnia berkata:

    Setuju Mas… Tokcer tenan sampeyan πŸ˜€
    Sakjane kan wes enek mekanisme LHKPN harus disampaikan secara terbuka, mbuh lewat papan pengumuman, opo lewat fesbuk hehehe. Mandor sampeyan wes nempel LHKPN e durung? Nek durung yo kudu ditagih kuwi. Kalo udah dipampangin kan bisa dibandingin antara kewajaran keseharian si pejabat tersebut dengan harta yang dimilikinya.

  5. Abi Sabila berkata:

    Walau memberantas korupsi seperti memutus lingkaran setan, bingung dari mana harus dimulai, tapi setidaknya kita harus bisa mempercayai mereka yang dipercaya untuk menangani ini. Kalau memberikan kepercayaan saja kita tidak bisa, apa kita bisa melakukannya? jangan-jangan kita juga nda percaya pada diri sendiri kalau kita bisa bersih dari segala pernak pernik korupsi.

  6. warmwarm berkata:

    ketidakpercayaan dan kecurigaan itu kadang memang harus diperlukan karena nyatanya emang harus begitu kok *mbulet* 😐

  7. chocoVanilla berkata:

    Say apercaya saja deh, daripada biru :mrgreen:

  8. nDarudaru berkata:

    mari kita mulai dari kita sendiri…”apakah hari ini saya korupsi?”

  9. latree berkata:

    setuju dengan nDarudaru.

    #stein:
    saya juga *eh

  10. Saya jadi kasihan sama PNS itu karena selalu dimonitor hartanya. Hidupnya jadi tidak bebas ya, Mas. Hehehe…

    Salam

    #stein:
    sebenernya ndak juga, selama sumbernya halal kenapa ndak?

  11. ibnu salam berkata:

    misal itu klo dana HIBAH, apakah teteap bermasalah?

    #stein:
    asalkan benar-benar hibah tentunya ndak masalah

Tinggalkan komentar