Tentang Jalan Paving dan 60 Lampu

Konon katanya, pemerintah merencanakan membangun jalan tol sepanjang 1.000 kilometer dalam lima tahun ke depan. Dari total tersebut, sepanjang 392 kilometer akan diselesaikan di tahun 2017. Penambahan ruas tol tersebut bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan mendorong pemerataan pembangunan di daerah.

Secara umum, jalan tol memang lebih nyaman untuk dilewati. Makanya agak janggal semisal ada orang yang memprotes kehadiran jalan tol, kecuali para makelar tanah yang sedang mencoba menggoreng harga tentunya. Namun sampeyan boleh percaya boleh ndak, hal semacam itu pernah terjadi.

Jaman saya kecil dulu, sekitar awal sembilanpuluhan, bapak sering membawa pulang majalah bekas dari rumah paklik saya di Jogja. Di salah satu majalah tersebut -kalo saya ndak salah, majalah Tempo- ditulis tentang protes sekelompok orang di Malaysia atas pembukaan jalan tol di salah satu daerah. Setelah ditelisik, penyebab kemarahan tersebut ternyata karena selain membuka jalan tol, pemerintah setempat juga menutup jalan arteri yang selama ini digunakan warga. Meskipun lebih nyaman dan tarifnya murah menurut klaim pemerintah, warga protes karena hilangnya jalur alternatif.

Untungnya di tempat saya ndak seekstrim itu. Jadi ceritanya, Pak Bambang, ketua RW di tempat saya, baru saja menyelesaikan jalan paving sepanjang kurang lebih 100 meter. Jalan yang berujung di balai RW tersebut dia klaim bisa memudahkan orang-orang yang mau menghadiri acara di balai RW. Sekaligus meningkatkan minat orang untuk datang ke sana, sesuatu yang sebenarnya cuma ada di pikiran Pak Bambang. Lha piye, sebenarnya orang males datang ke acara di balai RW bukan karena jalan yang becek, tapi karena tiap pertemuan selalu kering ndak ada jajanan.

“Tadi kamu tadi lewat jalan baru tho?” Pak Bambang langsung mengajukan pertanyaan menodong ke saya.

Saya garuk-garuk kepala, “Saya tadi kan dari warung Mbok Darmi Pak, beda arah.”

“Wah ndak bisa, pokoknya nanti lain kali kalo kamu ke sini harus lewat jalan baru. Semua warga RT-mu juga, ndak boleh lewat jalan lain, harus lewat jalan baru!” Pak Bambang bersungut-sungut.

Saya melipir ke pojokan, sebelum mendapat semprotan lebih banyak. Lha kok ndilalah ada Kang Noyo di situ, dengan senyum penuh arti menyambut saya. Sebenarnya bukan senyum penuh arti sih, sekedar senyum liat ada rokok gratisan.

“Ada apa tho Kang? Pak Bambang kok sepertinya sewot banget soal jalan baru.” Tanya saya setelah Kang Noyo menyalakan rokoknya.

Temen saya ini cuma nyengir, “Ndak papa, ini kan cuma soal jualan saja.”

Kata Kang Noyo, jalan paving itu adalah hasil lobi Pak Bambang ke Pak Lurah. Ketua RW saya sudah kadung janji bahwa jalan paving itu akan membuat acara di balai RW semakin semarak, karena memudahkan orang datang. Supaya lebih afdhol, konon Pak Bambang sampai memberikan hitungan kepada Pak Lurah, berapa orang per hari yang akan lewat jalan tersebut. Lengkap dengan embel-embel bagian pahala bagi Pak Lurah selaku pejabat yang menyetujui proyek tersebut.

“Makanya dia agak jengkel saat jalan barunya itu ndak gitu laku.” Pungkas Kang Noyo.

Lhadalah, kok ada-ada saja tho yo. Masalah jalan saja kok ribut, mbok ya biarkan saja orang mau lewat mana, yang penting jajanan kalo lagi acara begini ditambahi.

“Sebenarnya kadang aku juga bingung sama Pak RW baru ini, kemarin Pak RT sebelah juga cerita.” Kang Noyo berbisik-bisik sambil mengambil lagi sebatang rokok saya.

“Opo Kang?” Tanya saya.

Beberapa waktu yang lalu Pak Bambang membuat proyek penyeragaman lampu penerangan jalan. “Bukan lampu yang ngambil dari tiang listrik itu Le, tapi lampu yang ada di depan rumah,” kata Kang Noyo, “jadi dia pengennya semua lampu bentuknya seragam.”

Yang bikin celaka adalah, setiap RT dijatah 60 buah lampu, dan harus dipasang semua. Karena lagi-lagi proyek ini hasil lobi-lobi ke Pak Lurah. Dengan terpasangnya 60 lampu yang seragam di tiap RT, selain indah, tingkat keamanan juga meningkat karena jalanan jadi terang benderang.

“Lha kalo seperti RT kita yang ndak sampai 30 Kepala Keluarga piye Kang?” Tanya saya, bingung.

“Itu dia, sudah rumahnya ndak sampai 30, posisinya juga ndak semua di pinggir jalan.” Kang Noyo hampir ngakak.

“Semua dijatah sama, tiap RT pokoknya harus masang 60 lampu.” Temen saya makin ndak bisa nahan ketawa.

Saya yang ndak habis pikir, para ketua RT itu juga ndak ada yang protes, nurut-nurut saja. Kang Noyo bilang, hal ini karena sesuai dengan filosofi Jawa yang selalu nerimo ing pandum. Dijalani saja, semua pasti ada jalan keluarnya.

Di sepanjang acara yang tetap miskin jajanan itu beberapa hal berkelebatan di pikiran saya. Petinggi kelurahan, aturan, kenyataan di lapangan, perintah yang diberikan, tujuan, jalan, dan tentu saja, jualan. Mbuh lah, sepertinya kok ada yang ndak pas, tapi saya ndak tau sebelah mana.

Acara berakhir, saya sudah ndak tahan pengen cepet-cepet balik ke warung Mbok Darmi. Sebuah suara mengagetkan saya, Pak Bambang ketua RW, “Kamu mau lewat mana? Ayo lewat jalan baru!”

Haduh.

“Ingat, lain kali kalo ndak lewat jalan baru, kamu ndak boleh datang ke balai RW!”

Oalah Pak…

Jiyan!

1 comments on “Tentang Jalan Paving dan 60 Lampu

  1. anonymous berkata:

    nice info kak.
    ingin tahu Berita Ambon, Berita Maluku? silahkan kunjungi http://www.radiodms.com
    Makasih.

Tinggalkan komentar