Benar dan Wajar, Versi Siapa?

Pernah suatu saat di poskamling yang ada di pojokan deket rumah saya itu tiap malem dipake sama anak-anak muda nongkrong sambil minum-minum. Biasanya mereka mulai ngumpul sekitar jam 10 malem, sampe menjelang subuh baru bubar. Meskipun ndak pernah mengganggu warga yang lewat, tapi rasanya yo tetep ndak nyaman saat kita melewati sekelompok orang yang lagi teler. Celakanya tempat itu memang strategis, di pojokan, dengan penerangan kurang memadai, dan di belakangnya ada sungai kecil, cocok buat nongkrong.

Saat beberapa warga berusaha menegur, inilah jawaban mereka, “Lho Pak, kami ini dari dulu ya nongkrongnya di situ, dari sejak sebelum di situ ada poskamling. Mosok gara-gara sekarang ada poskamling terus kami diusir?”

Jadi apakah mereka berhak nongkrong di situ sambil minum-minum? Berhak, paling ndak menurut mereka, wong memang di situ tempat nongkrong mereka dari dulu.

Ada juga cerita seorang tetangga saya yang dipecat sebagai satpam karena konon kerjanya ndak gitu bagus. Entah dari mana sumbernya, si tetangga saya ex satpam ini menuduh tetangga saya yang lain sebagai pihak pengadu, sehingga berujung dia dipecat sebagai satpam. Sambil mabuk, ex satpam ini mencegat tetangga saya saat pulang sholat jamaah dari masjid, nyaris baku hantam.

Boleh ndak sih mencegat seseorang, lalu menginterogasi dengan bonus sedikit ancaman? Boleh, paling ndak itu menurut si ex satpam, wong dia merasa dikhianati.

Lha ndilalah, seorang tetangga saya yang lain melihat peristiwa itu. Karena takut, dia lalu menelepon polisi. Datanglah sebuah mobil polisi, si ex satpam tadi diangkut, sekitar setengah jam kemudian dia diturunkan dengan wajah bengap sisa pukulan.

Boleh ndak sih polisi membawa seseorang tanpa surat penahanan, lalu digebuki, setelah itu diturunkan lagi di jalanan? Boleh, paling ndak itu menurut petugas di lapangan, wong yang diangkut memang biang kerok.

Bertahun-tahun yang lalu, waktu jaman masih sekolah, saya pernah diajak teman ke sebuah pengajian di daerah Jakarta Selatan. Pengajiannya biasa saja, walaupun sebenarnya saya merasa ndak nyaman, karena dalam sesi tanya jawab beberapa kali si ustad terkesan melecehkan umat Islam golongan lain yang menurut beliau melakukan bid’ah, alias ibadah yang ndak dicontohkan Nabi.

Sampai beberapa saat kemudian terdengar musik yang hingar bingar dari luar, ternyata ndak begitu jauh dari masjid ada umat agama lain yang mengadakan acara lengkap dengan band dan sound systemnya yang hingar-bingar. Awalnya si ustad mencoba meneruskan pengajian, tapi lama-lama beliau merasa terganggu karena suaranya kalah dengan suara musik dari luar.

Marahlah si ustad, beliau berkata dengan nada keras, “Kita ini mayoritas, masa mau dilecehkan?”

Bergeraklah para jamaah, termasuk saya, ke arah sumber suara. Takbir diteriakkan, sambil saya berdebar ketakutan, maklumlah, sebagai anak baik-baik saya belum pernah tawuran.

Lagi-lagi pertanyaannya : boleh ndak sih, si ustad tadi mengomando jamaah untuk melabrak tetangga sebelah? Tentunya boleh, paling ndak menurut si ustad, wong mereka yang ngganggu duluan.

“Terus piye?” Tanya Kang Noyo sambil dengan cepat menyambar sebatang rokok saya dan menyulutnya.

“Yo ndak piye-piye Kang.”

Asyem! Rokok tinggal tiga batang kok ya masih tega ngembat.

Sampeyan bayangkan betapa repotnya kalo tiap orang dengan penuh penuh keteguhan hati menjalankan versi kebenarannya masing-masing. Carut marut, karena tiap orang merasa perbuatannya masih dalam batas kewajaran, dan celakanya hal itu memang wajar, kalo hanya diukur menurut standard si pelaku perbuatan.

Ciloko tenan tho.

Tentunya ndak perlu diajari lagi, sampeyan pasti tau bahwa tiap beda kepentingan pasti menghasilkan benturan. Benturan ndak akan selesai tanpa kompromi, suatu batas yang bisa diterima secara umum. Dan berhubung kita ini ndak tinggal di jaman purba, batas tersebut diwujudkan dalam bentuk yang kita sebut aturan hukum.

Sadarkah sampeyan, pada saat sampeyan lahir procot ke dunia ini sampeyan sudah dilabeli sebagai warga negara Indonesia?

“Wis tho, tanggal tua mbok jangan ngomong yang berat-berat.” Potong Kang Noyo.

“Eh Le, mumpung ini kamu lagi kemeruh mbahas soal kebenaran versimu, aku mau nanya.”

“Menurutmu orang sedekah itu bener atau salah?” Tanya Kang Noyo.

Maksudnya?

“Ndak papa, aku cuma nanya menurutmu, kalo sedekah itu harus kepada orang yang ndak mampu atau boleh ke semua orang?” Tanya Kang Noyo lagi.

Saya makin bingung, ini maksudnya apa?

“Kalo ngasih ke orang yang mampu ya namanya bukan sedekah Kang.” Ujar saya.

“Tapi tetep baik tho? Menurutmu?”

“Yo tetep baik Kang.”

Saya mulai merasakan gelagat ndak enak.

“Yo wis, kalo gitu, ini kan rokokmu tinggal dua, sekalian tak bawa pulang saja. Trus tolong kopi sama gorengan lima, bayari. Memberi sesuatu pada orang lain itu perbuatan baik tho? Menurutmu?”

Menurut saya?

Menurut saya sampeyan kuwi pancen damput Kang.

Jiyan!

8 comments on “Benar dan Wajar, Versi Siapa?

  1. Annas D Human berkata:

    Sebenarnya yg dilakukan oleh ex-satpam, polisi, ustad tadi ada adalah kebaikan bukan kebenaran, karena kebaikan sangat subyektif sekali kalo sampeyan kasih rokok ke Kang Noyo maka bagi Kang Noyo sampeyan baik, kalo ga ya sebaliknya sedangkan tafsir akan nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan sesuai hati nurani.
    Dua minggu lalu saya pernah bikin survey dan wawancara kecil-kecilan terhadap teman-teman yg pertanyaannya “mana yang didahulukan antara kebaikan dan kebenaran?” dan haslnya adalah
    1. 40% memilih kebaikan
    2. 40% tidak tahu arti kata “didahulukan” sehingga memilih kedua-duanya atau menurut mereka yg enak yg mana, kalo menguntungkan kebaikan ya dipilih kebaikan, kalo menguntungkan kebenaran ya dipilih kebenaran.
    3. 20% memilih kebenaran.
    BTW, rekan-rekan sampeyan yang mburuh di pabrik sampeyan itu orang baik kan? 🙂

    #stein:
    kalo ada orang yang melarang sampeyan makan daging babi, itu baik atau benar? *wondering, apakah kebenaran memang bersifat universal* 🙂

  2. Hajier berkata:

    Postingnya ringan, tapi maknanya daleeeeeem pooolll…
    Benar menurut versi masing-masing tak akan menemukan titik temu karena kebenaran yang di-versikan oleh masing-masing punya kepentingan yang berbeda-beda. Dan setuju dengan posting diatas bahwa semua itu bisa diselesaikan dengan aturan hukum yang berlaku. Tapi sayangnya, hukum yang berlaku di negara ini juga sarat akan kepentingan pihak-pihak tertentu. Jadine….. Mbulet koyo…? Hehehe…

  3. chocoVanilla berkata:

    Benar itu sudah pasti baik nek baik itu belum tentu benar….

    (kayaknya… 😛 :mrgreen: )

  4. dihas berkata:

    kadang kita berbuat baik namun tidak atau kurang benar….
    😛

  5. Agung Rangga berkata:

    hmm, kalau membahas “kebenaran versi si…” ya ndak bakal habis2 toh~ 🙄
    ikut makan gorengannya aja deh~ :mrgreen:

    happy weekend~♬

  6. F.Galih Mahardi berkata:

    klo keadaanya bgt memang jd serba slh Gan, mau negur mmng seharusnya & layak utk dtgur.. tp klopun dtgur ga ada untungnya bg kita.. terkadang kita mlh seringkali menghindarinya selagi hal smcm spt itu tdk mengganggu kita scra lgsung.. ya seraba slh sebenarnya Gan.. 🙂

  7. belajar komputer berkata:

    sebisa mungkin baik-baik sama orang deh…. semoga tetap semangat dan berbuat kebaikan selalu 🙂

  8. […] Kalo saya boleh mengibaratkan, watak itu seperti kopi. Boleh saja sampeyan beralasan watak ndak bisa diubah dan berharap semua orang bisa menerima sampeyan apa adanya. Ini normal, karena tiap orang cenderung berpikir bahwa kelakuan diri mereka wajar dan bisa diterima. […]

Tinggalkan komentar