Membeli Gengsi

Suatu saat ada seorang kawan bertanya pada saya, “Saat seseorang memegang gitar, apa yang membedakan mana yang bisa dan mana yang ndak bisa main gitar?”

Saya jawab, “Minta dia membunyikan satu nada, seseorang yang bisa main gitar akan mampu menekan senar dengan posisi tangan yang mantab, dengan suara yang jernih, ndak peduli jari tangannya kapalan karena sering bermain gitar atau tipis karena bertahun-tahun ndak megang gitar.”

Seseorang yang bisa bermain gitar ndak akan lupa caranya megang gitar, bahkan setelah sekian tahun ndak main gitar, walaupun mungkin chord dan scale banyak yang nyelip di ingatan. Sama seperti orang naik sepeda, sekali sampeyan bisa naik sepeda, selamanya sampeyan ndak akan lupa caranya naik sepeda.

Naik sepeda adalah tradisi lama, sejak saya sudah bisa mengingat, orang sudah naik sepeda. Mulai dari jaman sepeda unto dan pasangannya sepeda lanang, sepeda yang ndak mengenal kelas. Pengendaranya adalah mbok-mbok bakul berkebaya yang mau jualan ke pasar, atau bapak-bapak berkulit legam dengan topi caping, menenteng sabit dan cangkul menuju sawah.

Lalu ada sepeda jèngki, dengan merk phoenix made in china yang beroda tipis maupun phoenix tembakan produk lokal yang beroda tebal. Berlanjut ke sepeda mini dengan keranjang depannya, anak-anak sekolah dengan sepeda bmx-nya, hingga sepeda federal milik anaknya ajun Perhutani yang cuma bisa saya pandangi dengan wajah iri.

Yang saya pahami waktu itu sepeda adalah alat transportasi, alat yang digunakan untuk mengangkut. Pengecualian mungkin terjadi pada sepeda balap yang memang digunakan sebagai alat olahraga, walaupun salah satu lomba balap sepeda yang saya saksikan jaman itu ternyata dimenangkan oleh tetangga desa yang menaiki sepeda lanang, mengalahkan beberapa peserta yang menggunakan sepeda balap.

Setelah itu persinggungan saya dengan sepeda terhenti. Waktu SMA saya pindah ke kota lain, sebuah sekolah berasrama yang ndak butuh naik sepeda, pun waktu berlanjut kuliah di Sekolah Tinggi Kaum Dhuafa saya ndak pernah lagi naik sepeda.

Sampai beberapa bulan lalu, istri saya usul agar saya beli sepeda. Sudah tentu bukan untuk ke pasar, atau ke sawah, atau sekolah, sekarang jamannya sudah berubah, sepeda sekarang dengan jenisnya yang makin aneh-aneh hanya dibuat dengan satu tujuan, olahraga, atau paling ndak itu yang saya pahami.

“Wogh! Yo ndak cuma sekedar hanya tho Le.” Sergah Kang Noyo sambil mencomot tempe gembus di pojokan warung Mbok Darmi.

“Piye Kang?” Tanya saya sambil menyeruput kopi, nikmat, maklum tanggal muda.

“Kalo mau ngomong sesuatu itu jangan cuma berdasar ingatan, nanti pemahamanmu ndak ada peningkatan.” Ujar Kang Noyo, hawa kemaki mengambang di udara.

Jadi menurut Kang Noyo yang sudah berguru pada Wikipedia, sepeda jaman sekarang terbagi dalam beberapa jenis:

• Sepeda gunung-digunakan untuk lintasan off-road dengan rangka yang kuat, memiliki suspensi, dan kombinasi kecepatan sampai 27.
• Sepeda jalan raya-digunakan untuk balap jalan raya, bobot keseluruhan yang ringan, ban halus untuk mengurangi gesekan dengan jalan, kombinasi kecepatan sampai 27
• Sepeda BMX-BMX merupakan kependekan dari bicycle moto-cross, banyak digunakan untuk atraksi
• Sepeda kota (citybike) adalah sepeda yang biasa dipakai di perkotaan dengan kondisi jalan yang baik. Sepeda jenis ini sangat menekankan aspek funsional. Biasanya memiliki sebuah boncengan dan keranjang.
• Sepeda jenis citybike dengan boncengan dan keranjang
• Sepeda mini-termasuk dalam kelompok ini adalah sepeda anak-anak, baik beroda dua maupun beroda tiga
• Sepeda angkut atau sepeda yang berdesain klasik (tua) termasuk dalam kelompok ini adalah sepeda kumbang, sepeda pos dan sepeda ontel yang memiliki besi kuat dan diameter roda yang besar mampu untuk keperluan berboncengan dan membawa barang.
• Sepeda lipat-merupakan jenis sepeda yang bisa dilipat dalam hitungan detik sehingga bisa dibawa ke mana-mana dengan mudah
• Sepeda Balap – Sepeda yang model handlernya setengah lingkaran dan digunakan untuk balapan.
• Sepeda Motor – bertenaga mesin dengan mengunakan bahan bakar berjenis bensin sebagai sumber daya utamanya. Dengan semakin berkembangnya teknologi pada industri kendaraan roda dua.

“Trus ada lagi unsur utama yang ada di dalam segala macem jenis sepeda itu Le.” Lanjut Kang Noyo, sambil dengan entengnya mengambil rokok saya tanpa permisi.

“Opo maneh Kang?” Tanya saya.

“Gengsi Le, gaya. Karena sepeda itu bukan kebutuhan pokok.”

Maksudnya?

“Kamu tahu teori kebutuhannya Abraham Maslow?” Tanya Kang Noyo sambil mengisap rokoknya dengan gaya absurd yang susah saya pahami tapi dengan maksud yang sangat jelas, menguatkan kesan bahwa dia pinter dan saya sebaliknya.

“Sudah jelas kamu ndak tau, makanya aku bilang kamu itu jangan cuma mengandalkan ingatan, belajar, baca hal baru. Biar otak buruhmu agak berkembang.”

Abraham Maslow membagi kebutuhan manusia secara hierarki menjadi lima yang dikelompokkan dalam dua tingkatan. Kebutuhan tingkat bawah meliputi kebutuhan fisiologis dan rasa aman, sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri menempati tingkatan atas kebutuhan.

“Jadi saat memutuskan untuk beli sepeda kamu harus tahu, kamu bukan sekedar sedang membeli alat olahraga atau alat transportasi, ada penghargaan dan gengsi yang juga ikut dijual.”

“Misalnya ini…”

Kang Noyo mengeluarkan gadget anyar dari tasnya. Ediyan! Nongkrong di warung Mbok Darmi saja bawa tablet, kemaki tenan, pasti barang baru, pengen pamer.

“Ini bukan sekedar gadget Le, ini Galaxy Note, mahal ini, harganya hampir enam juta, jadi tak bawa kemana-mana juga ndak malu-maluin. Dan ngerti ora? Ini belinya kemaren waktu akhir bulan. Mudheng ora?”

Oh iya, loud and clear Kang, sampeyan pengen ngomong nek sampeyan sugih.

Buyar sudah angan-angan saya mau pamer sama Kang Noyo, akhir bulan kemaren saat tanggal tua mencapai titik kulminasinya saya beli sepeda, bukan cuma satu tapi langsung empat buah. Dan harganya masih kalah sama sebiji gadgetnya Kang Noyo.

Jiyan!