Kembali ke Dasar

Suatu saat, bapak saya menanam beberapa tanaman hias di halaman. Ketika bapak sedang sibuk dengan cangkulnya, budhe saya lewat. Sambil menenteng jun (sejenis gerabah yang digunakan untuk mengambil air) ia bertanya, “Nandur ngono kuwi kanggo apa? Mbok ya nandur lombok utawa tomat.” Untuk apa menanam tanaman yang tidak bisa dimakan?

Adegan itu kembali terbayang di kepala saat tadi pagi saya mengantri di Warung Pecel Pincuk Bu Ida, Gading Serpong. Budhe–dan juga warga desa yang lain, saya rasa–mungkin geleng-geleng kepala kalau mereka tahu saya menempuh 17 kilometer untuk mengantri makan pecel. Makan di rumah sendiri, kan, bisa?

Saya, sebagai orang desa yang sudah keracunan gaya hidup ala kota, sudah mengenal makanan autentik, tempat instagrammable, warung hits, dan sebagainya. Budhe saya, di lain sisi, menempatkan kegiatan makan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Apa bedanya makan sepuluh ribu dan seratus ribu? Sama-sama supaya gak mati, kan?

Saya pikir, ada saatnya saya harus kembali belajar dari budhe. Ketika hidup sudah mulai ruwet, hari-hari terasa panjang, dan waktu–juga duit–selalu terasa kurang, pertanyaan itu harus saya renungkan.

Budhe saya tak pernah memberikan pertanyaan spesifik, tetapi ada seorang kawan yang mewakilinya merumuskan dalam kalimat sederhana. “Mas, yang harus ditanyakan pertama kali itu bukan apakah hal itu bisa diwujudkan, tetapi apakah perlu?”

Selamat siang, Gita Wiryawan. Hari ini, sudah berapa hal tak perlu yang dilakukan?

This entry was posted in Ndobos.

5 comments on “Kembali ke Dasar

  1. Ceritaeka berkata:

    Duh, jadi merenungkan banyak hal. Apa perlu diwujudkan? Menurutku ini dalam. Semacam belajar mengerem diri sendiri, grounded, berpijak ke bumi. Tidak melulu mengejar langit

  2. warm berkata:

    betul juga, endingnya makjleb bener: apakah itu perlu?..

    makasih atas tulisan ini, mas. sungguh šŸ™

Tinggalkan komentar