Ceria: Jangan Bosan dan Jangan Membosankan

Konon pernah ada seorang guru SD sedang memeriksa hasil ujian murid-muridnya. Di antara sekian banyak kertas jawaban ada tiga yang menarik perhatiannya, ketiga murid ini memiliki jawaban nyeleneh yang sama atas sebuah soal. Pertanyaan yang berbunyi, “PKK merupakan kepanjangan dari…” dijawab oleh ketiganya dengan, “Polisi Kecantol Kawat.”

Usut punya usut ternyata ketiga anak ini sibuk bercanda waktu Bu Guru mau menerangkan tentang PKK, kesal dengan kelakuan mereka Bu Guru pun memukul meja dengan penggaris kayunya, “Kalian jangan bikin pelajaran sendiri! Kalo mau rame di luar sana!”

Saat Bu Guru berbalik menghadap papan tulis dan mulai ceramah, “PKK itu adalah….” salah satu di antara ketiga murid ini nyenggol kedua temannya sambil cekikikan, “PKK itu singkatan dari Polisi Kecantol Kawat…”

Saya yakin 68% kalo cerita yang saya denger dari Kang Noyo itu hanyalah cerita imajiner alias khayalan yang terlalu dipaksakan. Saya hampir ketawa kalo saja ndak inget bahwa seringkali saya juga menceritakan hal-hal yang ndak kalah imajinernya. Jadi saya mencoba mempertahankan sikap serius sambil mengambil rokok yang tinggal sebatang sebelum temen saya ini merampoknya.

“Kamu tau apa yang terjadi Le?” Tanya Kang Noyo.

Apa yang terjadi?

“Sudah jelas tho Kang, si murid ini ndak memperhatikan apa yang diajarkan sama gurunya. Makanya waktu ulangan dia njawabnya salah.” Jawab saya ndak yakin.

“Jawaban khas buruh pabrik, ndak intelek blas.” Kang Noyo ngakak.

Asyem!

Guru saya dulu pernah bilang, “Kalo murid mampu nampungnya cuma segelas, biar dituang air seteko juga percuma, sisanya akan tumpah.”

Hari ini saya mendengar pengibaratan yang baru lagi dari Kang Noyo, “Kalo misalnya diibaratkan murid ini adalah gelas lengkap dengan tutupnya, ada satu hal yang harus kita pastikan sebelum kita menuang air, tutupnya harus terbuka.”

“Hubungannya sama cerita tadi apa Kang?” Tanya saya.

“Air yang dituang ke dalam gelas tertutup hanya mampu membasahi bagian luarnya saja, sedikit kena angin ilmunya bakal ilang. Agar ilmu bisa diserap dengan lebih sempurna kita harus buka tutup gelasnya.”

Aaarggghh!

Tumben Kang Noyo betah berlama-lama dengan kalimat sok pinternya. Saya mulai ndak sabar, seiring rokok saya yang sedikit lagi habis, “Ngomongnya pake bahasa manusia wae tho Kang!”

“Kamu memang ndak bisa diajak ngomong pake bahasa intelek.” Kang Noyo menggerutu.

Kunci utama dalam memberikan pelajaran ke anak adalah keceriaan. Itulah yang dimaksud Kang Noyo dengan membuka tutup gelas. Dalam cerita guru dan muridnya di atas, guru mengajarkan definisi PKK dengan gaya membosankan, sedangkan ketiga murid memberikan singkatan Polisi Kecantol Kawat dalam suasana bercanda yang lebih terasa menyenangkan.

“Makanya yang lebih masuk ke otak tiga anak itu singkatan PKK adalah Polisi Kecantol Kawat, karena dalam suasana ceria otak lebih mudah merekam apa yang diterimanya.” Jelas Kang Noyo.

Saya jadi ingat obrolan dengan Mbah Suto beberapa waktu yang lalu, beliau memberikan tips bagaimana agar saya bisa menjadi orang tua yang hebat. Catet ya, bukan orang tua yang baik, tapi orang tua yang hebat.

“Kuncinya cuma dua Le, jangan bosan dan jangan membosankan.” Kata Mbah Suto.

Mungkin sampeyan juga sudah paham kalo waktu-waktu bersama anak ndak selalu jadi waktu yang menyenangkan. Apalagi dalam status sampeyan sebagai orang tua terkandung berbagai macam kewajiban untuk mendidik dan mengarahkan, yang kadang mendapat respon kurang menyenangkan. Tapi sebagai orang tua sampeyan jangan sampai bosan.

Yang juga ndak kalah penting, jangan sampai sampeyan jadi orang tua yang membosankan. Anak bukan komputer yang selalu siap menjalankan perintah tanpa membantah, bukan juga seperti motor yang siap mengulang ritual yang sama ratusan kali tanpa protes. Sekali-kali coba sampeyan mencari tau dan mencuri dengar seperti apa citra sampeyan di mata anak.

Antara petuah Mbah Suto dan obrolan dengan Kang Noyo saya menyimpulkan: sebagai orang tua harus punya kesabaran ekstra dan mampu berinteraksi secara menarik dengan anak agar tercipta suasana yang selalu ceria.

Mendadak saya teringat obrolan beberapa ibu di pabrik yang sedang membanggakan anak-anaknya, kelas 1 SD, berangkat jam 6.30 pagi pulang jam 3 sore, les mengaji setelahnya, tidak lupa bikin PR malemnya, oh jangan lupakan kursus baletnya. Saya sulit membayangkan anak umur 7 tahun dengan beban belajar segitu banyaknya, dan masih mampu tersenyum ceria.

Jiyan!

13 comments on “Ceria: Jangan Bosan dan Jangan Membosankan

  1. Asop berkata:

    Lagi, sebuah nasehat kehidupan dari Mas Stein. 😥

    #stein:
    bukan nasihat mas, wong sekedar ndobos saja kok 😆

  2. Desudjia (DSK) berkata:

    salam kenal mas, tulisan yang bagus mas 🙂
    sekalian tukeran link ya …

    #stein:
    terima kasih mbak, ngomong-ngomong sampeyan beneran baca kan…? 😆

  3. saya sepakat. natur anak-anak adalah bermain… jadi kalau mau kasih didikan tidak boleh seperti ngajarin orang dewasa… ada penelitian kalau anak-anak yg belajar dengan metode sambil bermain (learning by doing and playing) itu lebih cepat pinternya ketimbang diajarin dengan metode “kuliahan”…

    #stein:
    natur? memang beda kalo yang komentar orang cerdas 😆

  4. devieriana berkata:

    Tapi emang gitu kok, dulu ortu saya juga nyuruh saya untuk les ini itu, ekskul ini itu. Tapi ya kayanya saya nggak bosen.. eh embuh denk lali.. :mrgreen:

    Inget Sherina nggak, gimana cara ortunya memaksimalkan potensi Sherina? Selama anaknya fun, porsi buat bermain dan belajarnya imbang, dan ekskulnya juga menyenangkan rasanya sih nggak apa-apa ya.

    Oh ya, salah satu “perintah” dan ajaran yang bisa masuk dengan mudah ke otak anak tanpa ortu harus susah-susah memerintah adalah dongeng. Edukasi tetap masuk tanpa harus melalui jalan, “jangan begini atau jangan begitu!”, kan?

    Itu IMHO yaaa…

    #stein:
    sampeyan kan lain mbakyu, dari kecil memang sudah kelainan gitu… :mrgreen: *plak!*

  5. Setuju… harus dengan keceriaan…
    Salam

    #stein:
    salam juga mase

  6. chocoVanilla berkata:

    Sekali lagi postingan yang sangat menohok! Citraku di mata anak-anak adalah ibu-ibu yang galak dan bawel hiks…hiks… kayak ibu asrama kali ya?

    Tapi betul, Mas. Guantengku cepet menyerap pelajaran klo diajarkan sambil ngobrol, bermain-main. Nek manteng di kursi malah ra mlebu-mlebu 😦

    #stein:
    galak dan bawel? ya memang sepertinya begitulah sampeyan *plak!* :mrgreen:

  7. mawi wijna berkata:

    saya suka ucapan Kang Noyo, “jangan bosan dan jangan membosankan”, kayaknya itu juga berlaku buat nggombalin pasangan deh (eh?)

    #stein:
    saya ndak tau kalo itu, maklum ndak pernah nggombal 😎

  8. mandor tempe berkata:

    tinggal bagaimana caranya agar belajarnya itu ajeg. BIasanya kalau sudah ceria hanya mencari kesempatan cerianya kapan. Kalau sudah begini, mau menerapkan ajeg jadi susah

    #stein:
    bukannya kalo ajeg itu membosankan ya om? 😆

  9. mamaray berkata:

    “sebagai orang tua harus punya kesabaran ekstra dan mampu berinteraksi secara menarik dengan anak agar tercipta suasana yang selalu ceria”, bener banget Mas…
    uhhuhuuh… terima kasih sudah mengingatkan…

    #stein:
    sampeyan tentunya lebih pengalaman, saya sekedar nulis saja kok

  10. rully berkata:

    tutup gelas = sistem limbik otak anak.
    Informasi akan terserap ke otak anak jika sistem limbiknya terbuka.
    Sistem limbik terbuka jika anak dalam kondisi rileks.

    #stein:
    makasih infonya mbak, ilmiah biyanget 😆

  11. grandchief berkata:

    Keren ceritanya mas,baru berkunjung ke blog ini dan saya suka.Emang kalau dipaksakan malah nggak masuk-masuk mas buat anak senang biar nggak sadar kalau lagi belajar

    #stein:
    terima kasih kunjungannya

Tinggalkan komentar