Kenapa Bukan Ex Mekanik?

Ada sebuah satu siklus rutin yang terjadi di pabrik tempat saya mburuh setiap menjelang akhir tahun seperti sekarang ini: lembur. Maksudnya lembur di sini adalah bekerja melebihi waktu yang telah ditentukan, dengan tanpa mendapat tambahan uang lembur.

Hebat? Berjiwa patriotis dilambari semangat bhineka tunggal ika demi mewujudkan semangat nawacita?

Yo ndak sih, kalo bagi saya pribadi, lembur adalah bukti ketidakmampuan saya mengatur taktik serta menjaga ritme kerja yang benar serta terarah dari awal tahun. Ini adalah harga yang harus saya bayar karena memelihara semangat kerja sakmadya, serta konsisten memegang teguh prinsip jangan sampai kerja mengganggu waktu ngopimu.

Triwulan terakhir adalah kerja dengan mumet yang tak berkesudahan. Bukan berarti saya mengeluh, sampeyan jangan salah paham. Hari-hari penuh mikir yang salah satu efeknya membuat Senin terasa sangat cepat ketemu Jumat ini selalu saya penuhi dengan khayalan tingkat tinggi bahwa saya memang pekerja keras. Delusi akut yang kadang membuat saya terharu melihat bayangan sendiri.

Dan setelah malam menjelang, anak istri sudah tidur, rasanya menyenangkan kembali berada di sini. Berteman segelas kopi yang harganya sudah jadi 3.000 sekarang, sambil mbrakoti tahu isi dan tempe mendoan yang baru diangkat dari gorengan, walaupun sekarang kuantitas dan kualitas cabe yang disajikan sebagai pendamping sedikit memprihatinkan.

”Hujan terus mas, lombok mahal sekarang.” Kata Mbok Darmi.

Dan satu-satunya perusak suasana adalah yang sekarang lagi duduk di pojokan, serius membaca iklan mini di koran. Penguji tingkat keimanan seseorang, lebih-lebih di tanggal tua seperti sekarang.

“Le, minta rokokmu, aku lagi mumet.” Nah kan, sampeyan yang mumet kenapa saya yang ketanggungan?

Tapi tentu bukan kalimat itu yang keluar. Saya dengan tersenyum mengeluarkan bungkus rokok, meyakinkan diri bahwa kalo saya ikhlas maka saya akan mendapat sepuluh batang rokok dari tiap batang yang saya berikan, tak peduli bahwa di bungkus itu tinggal tiga batang tersisa. Begitu ajaran para ustad kan?

“Sampeyan lagi liat opo tho Kang?” Tanya saya penasaran.

“Iklan motor.” Jawab Kang Noyo tanpa menoleh.

Dan langsung saya terbayang, Kang Noyo sedang melihat serangkaian kalimat, “Pajak baru diperpanjang, bodi terawat, kilometer sedikit, ex cewek.”

Lha ini, ex cewek. Saya heran apa yang membuat sampeyan berpikir bahwa nilai jual kendaraan akan meningkat dengan memberikan deskripsi bahwa motor itu ex cewek?

Tanpa mengurangi rasa kagum saya melihat mbak-mbak sekseh yang dengan telaten mempelajari detil spesifikasi produk otomotif terbaru demi menepis anggapan bahwa mereka hanyalah sekedar pemanis dalam setiap pameran. Tapi coba sampeyan tanya istri atau pacar sampeyan, atau kalo ternyata kebetulan sampeyan termasuk kategori makhluk penyandang status jojoba, jomblo-jomblo yang pura-pura bahagia, tanyalah pacar teman sebelah, “Yang barusan lewat itu motor 2 tak atau 4 tak?”

Besar kemungkinan sampeyan akan mendengar jawaban, “Gak tau, kan tadi gak keliatan motornya.” Lalu sampeyan bilang, “Kan kedengeran dari suaranya.” Dan ada yang bingung, “Emang suaranya beda?”

Lha wong membedakan suara motor 4 tak sama 2 tak saja ndak bisa, itu kan paling sederhana. Yakin mereka bisa merawat jeroannya? lalu apa yang membuat sampeyan berpikir motor ex cewek itu istimewa?

Ada lagi yang juga sering saya liat di iklan otomotif: ex dokter.

Bapak, ibu, hadirin sekalian yang berbahagia. Dokter itu dididik untuk mengenali gejala penyakit pada manusia, lalu sebisa mungkin membuatnya pulih seperti sedia kala. Sampeyan yakin dia bisa mengenali gejala kampas kopling habis dan radiator bocor lalu menyembuhkannya?

Saya kok malah ndak pernah nemu iklan yang bilang, “Motor mulus, mesin terawat, ex mekanik Ahass.” Atau, “Kondisi mesin tokcer, ex service advisor Auto 2000.” Padahal seharusnya keterangan semacam itu yang bisa membuat calon pembeli lebih percaya. Bukankah apabila suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya, ini termasuk urusan motor dan mobil kan?

“Le, ini rokokmu tinggal satu, sekalian tak habiskan ya.” Tanpa menunggu jawaban, Kang Noyo langsung mengambil batang terakhir, sekaligus membuyarkan lamunan saya.

Saya cuma bisa garuk-garuk kepala. Padahal tiap kali membaca tulisan, “Don’t raise your standard of living, raise your standard of giving,” saya selalu merasa jadi lebih bijak, tapi rasanya sekarang saya jadi paham bahwa teriak jihad memang lebih mudah dilakukan saat jauh dari medan perang.

Jiyan!

3 comments on “Kenapa Bukan Ex Mekanik?

  1. warm berkata:

    wakah waini saya lama pengen nulis ttg urusan barang bekas cewek ini, lha bagi saya malah mengerikan, wong cewek kalo naik motor kadang jauh lebih ugal2an, kadang lhoo. apalagi matic #halagh

    daaaan saya justru lebih tak percaya motor bekas mekanik Ahass, wong biasanye kata temenku yg kerja di ahas situ, mekanik yg kerja disitu jebolan yg baru lulus kursus mekanik, yg ahli malah biasaya buka bengkel sendiri hehehe

    soal paragraf terakhir saya ndak ikut2an, masih kueng elmu, serahkan pada ahlinya aja seperti saran orang bijak, sampeyan sdh bijak blm? anggap aja gitu dah ehehe

  2. ex wanita, dan ex dokter itu maksud dari penerawangan ane begini mas …

    jadi hikayat ex dokter itu asumsi yg berlaku adalah itu kendaraan hanya dipakai dari rumah ke rumah sakit p.p doang. secara dokter umumnya stand by sepanjang minggu jadi jarang dipakai jarak jauh, ke luar kota misalnya.

    kalo ex wanita, hampir sama sih, asumsinya kendaraan hanya dipakai dari rumah-kantor/pasar-rumah. Jadi keduanya terkait dengan mileage kendaraan sih. Kalo mileage semakin rendah diasumsikan kendaraan nggak bekas-bekas amat lah hehehe. cmiiw

Tinggalkan komentar