Marah Itu Mudah

Jaman masih SMP dulu ada temen saya yang ndableg setengah hidup untuk ukuran anak seumurannya, begadang, mabuk, dan tawuran sudah jadi menu sehari-hari. Meskipun begitu saya mengingatnya sebagai teman yang baik, bukan sosok yang menakutkan, di sekolah juga ndak berlaku sebagai raja kecil, alias dia ndak pernah menindas teman. Malah dia pernah jadi ketua kelas waktu masih kelas satu. Tabiatnya yang cenderung liar terbentuk karena lingkungan pergaulan di kampungnya memang seperti itu, di luar lingkungan itu dia masih seorang anak SMP yang menyenangkan.

Saya ndak tau bagaimana didikan orang tuanya, apakah orang tuanya tipe yang menakutkan, atau tipe yang mengakomodir semua keinginan, atau tipe yang sudah putus asa sehingga lepas tangan. Yang jelas temen saya ini masih tetep seorang anak yang punya rasa takut, kalopun dia sudah ndak takut sama orang tua dan guru paling ndak dia masih takut sama polisi.

Polisi?

Ya, polisi. Saya masih ingat waktu itu ada tawuran antar kampung di depan bengkel tempat saya biasa nitip sepeda pancal. Walaupun TKP sudah dibersihkan setelah kejadian saya masih bisa melihat sisa-sisa bercak darah dan potongan rambut karena konon salah seorang pelaku tawuran dibacok membabi buta oleh orang-orang kampung temen saya, mengerikan.

Saya ndak yakin temen saya ikut mbacok dalam tawuran itu, paling dia cuma ikut ngumpul-ngumpul, mungkin ikut berpartisipasi dua tiga pukulan. Yang jelas beberapa hari kemudian ada polisi datang ke sekolah, dan saya masih ingat ekspresi ketakutan yang tergambar di wajahnya saat temen saya dibawa oleh bapak-bapak berseragam itu.

Setelah sempat semalem menginap di kantor polisi temen saya pun keluar. Dan kata-kata yang pertama saya dengar dari mulutnya adalah, “Ternyata tamparan polisi rasanya cuma segitu, kecil…”

Saya ndak pernah denger lagi kabarnya, yang saya tau dia sudah ndak takut lagi sama polisi.

Saya baru mengerti ucapan temen saya itu beberapa tahun kemudian. Suatu saat waktu saya sekolah di asrama, sekitar jam 11 malem saya nongkrong di balkon bersama dua orang kawan. Kita ngobrol santai sambil merokok sebungkus marlboro yang sungguh terasa mewah saat itu, sampai kemudian datang seorang anggota keamanan asrama menyeret kami bertiga ke kantor pengasuh karena melanggar aturan yang ditulis besar-besar di gerbang masuk: dilarang merokok.

Saat paling menakutkan adalah waktu menunggu tamparan pertama mengenai wajah saya, setelah itu rasanya biasa saja, “Ternyata rasanya cuma segitu.”

“Jadi setelah itu kamu ndak pernah takut lagi sama pengasuh asrama Le?” Tanya Kang Noyo waktu saya ceritakan kisah masa lalu tersebut di warung Mbok Darmi.

Ndak juga, ternyata saya masih takut. Bukan sama orang yang pernah nangkep saya ngerokok itu, tapi sama ketua asrama. Aneh, karena mulai saya masuk asrama sampe lulus ndak pernah saya liat beliau nampar atau mukul orang. Jadi apa yang saya takutkan?

Masih perlu beberapa tahun lagi bagi saya untuk perlahan mengerti bahwa kemarahan dan ketegasan adalah dua hal yang berbeda. Bahwa kemarahan yang ditahan lebih membuat kita segan dan takut daripada kemarahan yang diumbar.

Saat melihat teriakan-teriakan penuh nada kekesalan dari seorang kerabat mulai ndak punya pengaruh sama anaknya perlahan saya mengerti bahwa marah itu seperti antibiotik. Ampuh untuk mengobati tapi ndak baik untuk digunakan dalam jangka panjang, karena bisa menimbulkan resistensi.

Saat anak saya belum pernah mendengar bentakan mungkin sekali bentakan akan cukup membuatnya menurut. Setelah dia cukup kebal dengan bentakan mungkin saya perlu menambah volume suara, tekanan emosi, dan nada yang semakin meninggi untuk membuatnya tetap menurut. Tapi kalo ternyata dia sudah kebal dengan itu berarti saya perlu menambah variasi, mungkin sedikit cubitan. Berikutnya mungkin akan perlu jeweran, atau bisa jadi sebuah tamparan kecil.

Tapi kalo nantinya dia sudah kebal dengan semua itu, apa yang harus saya lakukan?

“Hehehe! Tumben ngomongmu rodo pinter Le.” Kang Noyo pringas-pringis sambil menghembuskan asap rokoknya.

Konon marah itu manusiawi, marah itu gampang, tapi harus dilakukan karena alasan yang tepat, ditujukan pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan kadar yang tepat, dan untuk tujuan yang tepat. Bener-bener mirip antibiotik tho? Ndak boleh digunakan sembarangan. Tapi praktek memang ndak segampang teorinya.

Saya berharap anak saya nanti bisa tetap memposisikan diri saya sebagai orang tua, bukan sebagai polisi atau penjaga asrama yang menakutkan. Tapi ternyata ndak semua orang sependapat sama saya.

Kata Kang Noyo, “Kalo yang modelnya kayak kamu ini sepertinya memang susah diharap bisa sadar sendiri, harus kejar pukul kejar pukul, lama-lama kan nyadar.”

Jiyan!

15 comments on “Marah Itu Mudah

  1. mawi wijna berkata:

    Variasi. Diperlukan suatu variasi dalam bentuk-bentuk ketegasan, agar ketegasan tersebut tetap terasa tegas (halah bahasanya!). Yang jelas tempatkan marah sebagai Kartu As sebab efeknya tidak begitu mendidik.

  2. orriza berkata:

    membaca tulisan anda seperti mendengar anda berbicara πŸ˜€

    http://storyza.wordpress.com/2011/03/21/remember-my-sweet-moments/

  3. Chic berkata:

    oh ya.. agak susah memang kalo sudah menyangkut anak. Apalagi diusia-usia yang di mana dia mulai mbangkang, semau sendiri, belum tau kalo perbuatannya nakal atau bukan. Apalagi ditambah sudah lah pulang kerja capek, eh ya mesti denger laporan segala kebandelannya sepanjang siang atau liat sisa-sisa kerusakan yang ditimbulkannya πŸ˜† πŸ˜†

    saya sih menerapkan sistem reward dan punishment selama ini. Nakal dihukum, pinter dikasih hadiah.

    Cuma sih emang kadang-kadang lupa, trus bawaannya pengen ngamuk-ngamuk aja πŸ˜†
    masih belajar laaah… *ngeles*
    :mrgreeb:

  4. susisetya berkata:

    memang agak sulit untuk mendisiplinkan anak, apalagi anak sekarang yang kalo dikerasin kabur dilembekin ngelunjak, mungkin kalo menurut aku kita harus melakukannya dengan contoh bukan dengan kekerasan, kita harus memposisikan sebagai figur yang patut dicontoh sekaligus disegani dengan cara kita pun harus mendisiplinkan diri…(tapi jujur susah banget prakteknya..hehehe..)!

  5. ndaru berkata:

    betul kata babe saya barti..marah itu candu

  6. Pendekatan ke anak bisa jadi berbeda antara 1 dgn yg lain.

  7. sabai95 berkata:

    saya sangat ingin bisa tidak marah pada anak. oh..

  8. bond suwarno berkata:

    kang noyo jurus tampar dan bentak lha ko yo pas untuk anak2 yg sering di gituin (maksudnya opo tho di gituin)!!!!!….
    marah dan memukul bukan solusi utk menyadarkan anak2 dan ank didik kita,, nasehat yg benar lebih bersifat jangka panjang dan menghasilkan hal yg positip… salam kang……

  9. bowo berkata:

    Menahan marah ditempat satu dan melepasnya di tempat berbeda,salah satu variasi juga ya. Masalahnya ada potensi energi pelepasan yg sumbatnya udh dol nih

  10. secercahkata berkata:

    Rasanya, kalau sudah emosi keluar susah menerapkan konsep2 tersebut. Apalagi soal anak, ada ayah dan ibu, dua sosok yg bisa jadi berbeda sikap dlm menghadapi anak… Tapi, hidup kan perjuangan. Jadi mesti dicoba kan?

  11. Heru Purwanto berkata:

    Marah pangkal Parah. hehehehe…
    marah membuat segalanya menjadi makin parah

  12. chocoVanilla berkata:

    Hiks…hiks… saya juga sering menyesal kalo habis marahin anak. Takut resisten:(

    #stein:
    tapi kadang kalo “penuh” masih tetep muntab juga tho mbak πŸ˜†

  13. jati berkata:

    marahlah dengan bijak, so masing-masing pihak sama-sama diuntungkan.

  14. mendidik dengan amarah memang bisa jadi kebal,mendidik dengan kasih sayang itu yang terbaik,karena saya yakin,didalam hatinya masih ada suara hati yang membisikan kebenaran,dan kebaikan,dan kebaikan itu akan tetap muncul apalagi didorong oleh orang2 yang mengasihi dan menyayanginya

    #stein:
    nice comment om (atau tante?) πŸ™‚

  15. […] Mbak Sabai tentang ancaman pada anak, saya jadi tau apa yang saya mau tulis, dan jadilah tulisan Marah Itu Mudah. Atau tulisan Instan yang terispirasi postingan Mbak Devieriana dan Mbak […]

Tinggalkan komentar