Belum Jadi Kok Sudah Nyampah

Setiap menjelang pemilu seperti sekarang ini saya selalu bimbang, dilema. Galau kalo kata anak-anak sekarang. Teringat jaman masih sekolah dulu, tahun 1999, waktu pertama kali saya mempunyai hak pilih, saya diwanti-wanti Bapak untuk pulang kampung, “Lumayan Le, nambah-nambah satu suara untuk PKB.”

Saya pulang?

Tentu ndak, wong cuma urusan coblos mencoblos gitu aja, ndak penting pikir saya. Pun dalam dua pemilu sesudahnya, saya tetep ndak nyoblos.

Masih tetep berpikir urusan coblos mencoblos itu ndak penting?

Ndak juga, lebih tepatnya saya ndak mikir blas…

Bukan berarti saya belum pernah nyoblos pemilu. Saya ikut nyoblos, maksud saya nyontreng, waktu SBY terpilih sebagai presiden. Saya juga ikut milih waktu Abah Anton menang pilwali Kota Malang. Tapi kalo sudah ngomong soal pemilu legislatif ya balik lagi ke situ, bimbang, dilema, dan galau…

Kok?

Lha iya tho, misalnya Pemilihan Presiden, calon cuma ada berapa, walaupun ndak kenal-kenal banget paling ndak sampeyan pernah mendengar jejak-jejak masa lalunya. Nyoblos pun ndak sukur nyoblos, masih ada acara mengingat, menimbang, dan seterusnya.

Lha kalo pemilihan legislatif? Saya berani bertaruh ndak banyak wajah yang sampeyan kenal dari sekian puluh wajah yang gambarnya bertebaran di jalan, bahkan wajah yang mengaku asli putra daerah sekalipun.

Untuk menitipkan suara ke Pak Darmo yang masih tetangga sendiri saja saya masih mikir-mikir, apalagi nitip ke seseorang yang sama sekali ndak saya kenal.

Tapi kalo ndak nyoblos kok ya kesannya anti demokrasi, konon juga katanya nanti kalo negara ini ada apa-apa ndak boleh protes, “Sampeyan mau protes apa, wong pemilu saja ndak ikut nyoblos…”

Ciloko tho? Nyoblos rasanya salah, ndak nyoblos disalahkan juga.

Saya sempat sedikit berharap waktu ketemu relawan (atau apapun namanya) KPU yang membagi-bagi selebaran. Satu dari tiga selebaran itu meminta kita melihat rekam jejak para caleg di www.kpu.go.id (untuk calon anggota DPR), www.kpujatim.go.id (untuk anggota DPRD Provinsi), dan www.kpud-malangkota.go.id (untuk anggota DPRD Kota Malang).

selebaran KPU

Sayangnya di situ pun saya ndak nemu apa-apa…

di sebelah mana lihat profil caleg…?

(kalo ternyata saya yang ndak pinter nyari tolong saya dikasih tahu.)

Iseng-iseng saya mikir, mungkin karena pengaruh bosen liat gambar caleg bertebaran di hampir setiap sudut kampung tanpa ada satupun yang saya ingat namanya, timbul satu pertanyaan:

Adakah dana yang dianggarkan para caleg ini untuk melepas atribut kampanye mereka yang terpasang?

Pertanyaan yang wajar menurut saya, karena selama ini yang saya baca Satpol PP lah yang menurunkan atribut-atribut kampanye menjelang pemungutan suara.

Dan kalo ternyata memang ndak ada dana yang dianggarkan oleh para caleg, makin bimbanglah saya, belum juga jadi pemimpin, sudah lari dari tanggung jawab.

Pasal 17 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 menyebutkan:

Peserta Pemilu wajib membersihkan alat peraga kampanye paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari/tanggal pemungutan suara.

Tapi bisa juga ngeles sih, dengan menyitir pasal satu tentang definisi peserta pemilu. Peserta pemilu adalah partai politik, kecuali untuk pemilu anggota DPD. Yang artinya caleg tidak diwajibkan membersihkan atribut kampanye.

Kalo itu yang terjadi akan makin menjadi-jadi bimbang saya, lha wong belum jadi pemimpin, sudah lari dari tanggung jawab, ngeyel pula!

Jiyan!