Asu Gede Menang Kerahe

Masih anget dalam ingatan saat sebuah panggung didirikan di senayan, lalu satu per satu pemain beradu teriak layaknya sinetron khas teve lokal. Pertunjukan reality show ala gank senayan kala itu menyoroti soal kebijakan yang diambil pemerintah, wabil khususon menteri keuangan, Sri Mulyani. Sungguh pertunjukan yang kumplit karena mulai penyelidikan, penuntutan, sampai penghakiman dihadirkan di satu tempat, dan lebih istimewa lagi karena dipertontonkan secara live!

Cerita berakhir anti klimaks karena para pemain kelas atas tersebut sepertinya sepakat bahwa membuka semua kartu yang dimiliki hanya akan membawa kehancuran untuk semua pihak yang bersengketa. Tetep harus ada yang dikorbankan, tapi pelan-pelan kartu yang sudah siap dilempar kembali ditutup, dan ritme pun kembali normal. Yang sidang ya sidang, yang nglencer ya nglencer, yang nganu ya nganu.

“Nganu ya nganu opo maksudmu?” Tanya Kang Noyo penuh selidik.

“Nganu itu yo nganu Kang.” Kata saya sambil nyeruput kopi yang rasanya makin hari sepertinya makin sepo di warung Mbok Darmi.

Nganu adalah saat kita memberi kesempatan seluas-luasnya kepada tiap orang untuk berimajinasi, menginterpretasikan sesuai apa yang dia mau. Nganu juga bisa berarti saya ndak tau kata apa yang bisa secara tepat untuk mendeskripsikan yang saya maksud. Nganu adalah kata kerja yang sifatnya universal, saat terlalu banyak yang harus disebutkan, sampeyan cukup mewakilkan pada satu kata, nganu!

Adem ayem saja DPR kan?

Sampai akhirnya yang biasa nganu-nganu itu kena batunya. Sebenernya biasa saja, ada yang terindikasi bermasalah dengan hukum, lalu dipanggil oleh penegak hukum. Yang ndak biasa adalah karena yang dipanggil oleh penegak hukum ini gantian manggil si penegak hukum, si penegak hukum ndak mau dateng, dan ngirim surat panggilan lagi, yang dipanggil juga ngotot ndak mau dateng, juga ngirim surat lagi. Mbulet!

“Pastinya ada alasan tho Le, wong mereka sama-sama pinter. Kalo memang ndak mau dateng pasti karena setelah diitung-itung mendingan ndak dateng.” Kata Kang Noyo.

“Saya juga mikirnya gitu kok Kang, mereka pasti pinter.”

Jelas pinter tho, wong saya ndak mudheng dengan jalan pikiran mereka. PokoknyaTM kalo saya ndak mudheng dengan sesuatu berarti ada ilmu mereka yang belum saya ketahui, berarti mereka memang pinter, paling ndak lebih pinter dari saya, seendak-ndaknya mereka lebih pinter dalam hal yang saya ndak mudheng itu.

Pletak!

Kurang ajar Kang Noyo, korek Zippo saya dilempar ke meja! Itu oleh-oleh gratisan dari Amerika je, salah satu benda mahal yang selalu saya bangga-banggakan!

“Ojo mbulet wae tho Le! Ngomong kok ngalor-ngidul ndak jelas arahnya.” Umpat Kang Noyo.

Asyem!

“Sekarang gini lho Kang.” Saya mencoba menjlentrehkan.

“Opo yo bener kelakuan anggota dewan itu, begitu ketuanya dipanggil trus mereka mogok ndak mau mbahas anggaran?” Tanya saya.

“Bukan mogok Le, mereka cuma mengembalikan mandat ke pimpinan dewan sambil menunggu adanya persamaan persepsi antara KPK dan DPR bahwa yang namanya kebijakan itu ndak bisa disalahkan.” Ujar Kang Noyo.

“Halah! Sampeyan itu kebanyakan mbaca koran, wong politisi itu kerjaannya memang mbolak-mbalik perkataan. Intinya mereka mogok, apapun istilah yang dipake.” Kata saya ngotot.

Lagian yang dulu mbikin reality show secara live membantai kebijakan Century di senayan yo sopo? Kok sekarang pake mutung saat kebijakan dipertanyakan. Pake acara menyandera kepentingan rakyat. Misalnya kita mau berpikir bahwa negara kita ini seperti rumah yang besar, sehingga kita seharusnya mikir yang besar-besar, masalah banggar mestinya cuma masalah kecil, mereka lho cuma segelintir orang yang ngrusuhi, bubarkan saja!

Kalopun sekarang sikap orang-orang banggar itu melunak saya yakin bukan karena mereka sadar untuk mengedepankan kepentingan rakyat, tapi lebih karena sikap mokong mereka ternyata ndak direstui partai dan kurang mendapat dukungan dari internal DPR.

Sebenernya dibikin sederhana kan bisa, biarlah penegak hukum bekerja sesuai prosedur dan setiap warga negara berlakulah santun, kalo dipanggil ya nurut, karena semua orang ndak peduli latar belakangnya mempunyai derajat sama di depan hukum. Kalo memang ndak merasa salah mestinya ndak perlu takut tho? Atau jangan-jangan pada mokong waktu dipanggil karena memang merasa punya salah?

“Asu gede menang kerahe.” Lho, ada Mbah Suto.

Dengan kalem beliau duduk di antara kami, lalu nada perintah ala juragannya pun muncul, “Mbok! kopi siji, seperti biasa, kopinya sesendok penuh, gulanya sakpucuk saja.”

“Dateng-dateng ngomong asu maksudnya apa tho Mbah?” Tanya Kang Noyo.

“Lha iyo, asu gede menang kerahe. Anjing itu ndak peduli salah benar, kalo dia besar ya menang kalo berantem. Ndak ada cerita anjing karena merasa salah trus ngalah waktu berantem.” Terang Mbah Suto.

“Sekarang kamu pikir sendiri, kalo cuma satu asu gede saja sudah menangan, lha ini ndak cuma asu gede, tapi asu-asu gede.” Mbah Suto ngakak.

Saya dan Kang Noyo berpandang-pandangan.

Jiyan!

11 comments on “Asu Gede Menang Kerahe

  1. yustha tt berkata:

    asu-asu gedhe kerah dewe2…
    payah!

    #stein:
    sudah kodratnya, asu rebutan balung

  2. mawi wijna berkata:

    saya yakin, mereka itu para pejabat bisa ada di posisi mereka saat ini karena mereka punya “kartu as” yang kalau diungkap posisi mereka bakal terancam dan bikin orang lain terancam pula…

    jiyan! ini memang kekuasaan yang saling tutup menutupi…

    #stein:
    kekuasaan yang diperjuangkan akan selalu seperti itu

  3. Chic berkata:

    jadi pejabat DPR = asu?
    *kesimpulan semena-mena*

    #stein:
    bukan asu mbak, tapi asu gede. dalam konteks kerahan alias berantem beberapa oknum DPR memang seperti itu, menurut saya lho ya

  4. agussupria berkata:

    obrolan di warung kopi memang menarik…

  5. nDaru berkata:

    belon tentu lho…saya itu di rumah ada beberapa asu…satu asu gedhene ora ilok,berat badannya hampir sama dengan wedhus gibas bunting, memang kelihatan kereng dan medeni bocah..tapi dia kalah kalo dikroyok sama anjing yang laen..makane nek merasa kecil..silakan golek bolo

    @mba’ chic..wah ya jangan samaken asu sama anggota DPR, saya mewakili para asu tersinggung je

    #stein:
    kalo yang kecil golek bolo trus musuh asu gede yang juga bolo-boloan kan sama saja mbak :mrgreen:

  6. chocoVanilla berkata:

    Pokoke WTS (waton suloyo) πŸ˜€

    (lhoh, nyambung gak to iki?)

    #stein:
    pokoke…

  7. budimakmur berkata:

    drama para politisi.. hmmmm

  8. ahmad berkata:

    ya,, gitulah, mereka bertransaksi saling menutupi kartu masing2…

  9. rully berkata:

    lho mas…, mesakne asu-asu kok dipitnah to?

    #stein:
    lha pancen asu kok mbak :mrgreen:

  10. […] Wis pokoknya[tm] saya ndak bisa kurban karena nganu. […]

  11. syariefuddien berkata:

    asu ya anjing, anjing ya segawon, segawon ya sego awon, sego awon ya ora berkah.

Tinggalkan komentar