Tulisan untuk Abang

Konon katanya, pemimpin itu cuma satu, sedangkan anak buah itu banyak. Sehingga, pemimpin bisa mengerti anak buah itu sunnah, sedangkan anak buah mampu menyesuaikan diri dengan pimpinan adalah wajib. Silakan berargumen bahwa pemimpin haruslah bisa mengayomi semua anak buah, yang masing-masing mengandung keunikan individu. Tapi, sampeyan akui atau ndak, setiap pemimpin, yang juga merupakan individu unik, bakal lebih menuntut untuk diikuti jalan pikirannya, dan ini wajar, inilah yang membuat mereka disebut pemimpin.

Jadi ceritanya, pabrik tempat saya mburuh kedatangan juragan baru, laki-laki, Batak, dan masih muda. Sempat rada kecewa sebenarnya, karena saya sempat berharap yang datang Batak perempuan, semacam Nadya Hutagalung, Atiqah Hasiholan, Astrid Tiar, atau sukur-sukur mirip Raline Shah. Oke, abaikan nama terakhir, Raline Shah memang bukan Batak. Tapi, menyebut kata Batak, di pikiran saya mau ndak mau terlintas kata Medan, dan memikirkan Medan, sungguh berdosa bagi lelaki pecinta keindahan seperti saya kalo ndak nyebut nama Raline Shah.

Waktu ketemu pertama kali dengan juragan baru ini, sebut saja si Abang, saya ndak terkesan. Beliau menyampaikan sambutan di depan kami, anak buahnya, dengan suara pelan, nyaris ndak terdengar oleh saya yang duduk di baris belakang. Batak asli lho, masih muda pula, seharusnya minimal volume suaranya ndak kalah sama Indro Warkop, yang cuma bergaya Batak. Harapan saya akan pemimpin yang berani dan tegas jadi agak menurun, lha wong di depan anak buah saja begini, gimana di depan orang lain?

Tapi kemudian, saat diadakan acara pisah sambut dengan juragan lama, ada adegan yang sampai sekarang masih membekas di benak saya. Di acara tersebut, si Abang meminta agar sebelum menyerahkan kenang-kenangan ke juragan lama, yang kebetulan perempuan, dia diberikan waktu memberikan sepatah dua patah kata. Dan, dalam waktu yang singkat itu si Abang berhasil menguntai kata yang bakal membuat perempuan manapun meleleh.

Bajingan betul si Abang ini, saya misuh dalam hati. Sungguh contoh sempurna kalimat “bertanam tebu di pinggir bibir”-nya Siti Nurhaliza. Setiap kata dipilih dengan cermat  dan disusun dalam kalimat yang tertata apik, jelas hasil latihan bertahun-tahun menggombali banyak wanita. Simpulan yang di kemudian hari terbukti kurang tepat, karena ternyata bukan hanya bahasa verbal si Abang yang bagus, gesture dan mimik muka pun diatur sedemikian rupa. Kurang bajingan apa coba? Saya kagum, beneran kagum, tapi tetep misuh, bajingan tenan.

Setelah beberapa waktu, barulah saya menyadari, si Abang ini memang Batak beneran, bergerak cepat, tanpa takut, minim sungkan. Salah satu hal yang pertama beliau lakukan adalah berkunjung ke petinggi-petinggi Kota Batu, baik petinggi formal maupun petinggi non formal. Mulai dari Kepala Kejaksaan Negeri, Kapolresta, Walikota beserta eselon-eselon satu yang ada di jajarannya, termasuk beberapa tokoh non formal yang konon bisa menentukan hitam putihnya Kota Batu. Bukan hanya sekali dua kali kunjungan ini dilakukan, dan saya termasuk beruntung bisa sesekali ikut mempelajari praktik ilmu komunikasi di lapangan.

Ini penting dilakukan, karena agar pabrik tempat saya mburuh ini bisa bergerak lancar memang butuh koordinasi dengan petinggi-petinggi itu. Tapi sungguh, hal yang si Abang lakukan ini butuh nyali yang cukup lumayan. Saya yang jadi anak buahnya jadi agak ketar-ketir, kuatir suatu saat bakal disuruh mengikuti gayanya.

Dan akhirnya kekawatiran saya jadi kenyataan, suatu saat beliau menyuruh melakukan satu hal. Saya, pemuda jawa sejati yang penuh sungkan ini berusaha membelokkan, tapi si Abang dengan cueknya bilang, “Masak gak bisa? Bisa lah…”

Selain berani, si Abang ini juga berdedikasi. Contoh paling gampang, beliau selalu datang ke pabrik paling pagi, dan pulang paling malam. Dan bahkan juga agak-agak keterlaluan, misalnya karena saking pengennya beliau mengenal wilayah kerja, pernah suatu saat si Abang nyetir mobil, istrinya duduk di sisi kiri, anaknya di sisi kanan, masing-masing merekam video sepanjang perjalanan. Alasannya, “Biar kita tahu ada potensi apa di sepanjang jalan.”

Duh, kebacut kowe pak!

Salah satu hal yang bikin celaka lagi adalah, si Abang ini tiap kali ada kerjaan di luar job desc, maunya sukarelawan. Repot, lha ini pabrik yang bernuansa jawa dan cenderung birokratif je. Di tempat kami berlaku sebuah idiom, konsultasi, koen sing usul koen sing ngatasi, kamu yang usul kamu juga yang harus menyelesaikan. Bahkan kalaupun kami ndak keberatan menyelesaikan, unggah ungguh jawa yang mengajarkan untuk selalu rendah hati akan membuat kami sungkan menjadi terlihat menonjol.

Mungkin si Abang belum pernah membaca, suatu saat Kolonel Sintong Panjaitan, Asisten Operasi Kopassandha, diperintahkan menyiapkan pasukan untuk membebaskan sandera dalam peristiwa Woyla. Sintong meminta sukarelawan, meniru Kolonel Bull Simon yang juga meminta sukarelawan dari green berret saat hendak memimpin penyerbuan ke Vietnam Utara.

Hasilnya? Yo ndak ada yang ngacung. Sampai akhirnya salah seorang prajurit menyampaikan, “Pak, kami ini menjalankan tugas berdasarkan perintah. Kalo kami mendapatkan perintah, kami siap melaksanakan.”

Tapi balik lagi ke paragraf pertama tulisan ini, anak buah lah yang harus menyesuaikan diri dengan gaya pemimpin, bukan sebaliknya. Si Abang pernah bilang, kalo mau menyenangkan semua orang, jangan jadi pemimpin, jadilah tukang jual es krim. Saya jadi agak kasian, ternyata si Abang belum tau kalo tukang jual es krim pun sebenarnya ndak bisa nyenengin semua orang.

Proses penyatuan gaya antara si Abang dan kami selaku anak buahnya ini beberapa kali menimbulkan konflik. Dan seringkali menimbulkan kelucuan tersendiri. Ada beberapa insiden di mana si Abang mengalami ledakan sesaat, saat mengevaluasi suatu pekerjaan, beliau marah, dhuar! Ndak lama, paling beberapa menit, dan ditutup dengan kalimat permintaan maaf yang panjang kali lebar kali tinggi, berkali lipat dari waktu yang digunakan untuk marah. Lucu saya melihatnya, minta maaf kok ra uwis-uwis.

Satu hal yang juga membuat saya salut adalah, meskipun, dalam tanda kutip, si Abang ini agak tega ke anak buah, tapi kalo ada evaluasi dari atasan, beliau selalu membela. “Kalo soal pekerjaan, temen-temen ini sudah top lah pokoknya, saya jaminannya,” begitu si Abang bilang.

Ngomongin si Abang kita satu ini ndak bakal ada habisnya, mulai dari gayanya yang cenderung egaliter, sindirannya yang membuat kami sungkan untuk pulang on time, hobinya pura-pura miskin dengan makan siang indomie di warung depan pabrik, ceritanya yang menolak uang sogokan sekian miliar, sampai hal remeh temeh yang kadang menjengkelkan semacam rewelnya si Abang saat kami hendak foto bareng dengan mengatasnamakan komposisi visual.

“I don’t stop when i’m tired, i stop when i’m done.” Begitu kata si Abang, yang sering mengibaratkan pengabdiannya bagaikan semangat perjuangan dalam film The Last Samurai. Si Abang memang ndak ada capeknya menyiapkan pondasi demi pencapaian target-target kami di tahun 2017.

Sayangnya, dalam proses menyiapkan pondasi tersebut si Abang harus pindah tugas ke pulau seberang. Cukup mengejutkan, karena beliau belum lama bertugas di tempat kami. Yo, sebenarnya ndak mengejutkan-mengejutkan banget sih, paling ndak bagi saya yang selalu diajari untuk ojo kagetan, ojo gumunan, sareh, sumeh, sumeleh. Lebih ndak mengejutkan lagi bagi sampeyan yang bisa membaca gerak halus tangan dewa-dewa di negeri kayangan.

Satu pesan terakhir sebelum tulisan panjang ini terasa makin membosankan, “Jaga hati Bang, janganlah sampai orang lain berdosa, kita yang mati.”

Iya saya tau, itu bukan kata-kata saya, itu kata-kata Abang. Tapi berhubung saya ndak bisa bikin kalimat penutup yang lebih bagus, saya pakai kalimat Abang saja lah. Ingat selalu kata-kata itu ya Bang, bisa kan? Bisa lah…

5 comments on “Tulisan untuk Abang

  1. warm berkata:

    seneng sekali membaca profil pimpinan keren dan rada anti mainstream seperti si abang itu. Wah kalo njenengan jadi pimpinan di unit kerja saya yakin tak kalah kerennya sama si abang itu, mas. Yakin saya, top lah pokoknya, saya jaminannya hehe

  2. moprima berkata:

    Tulisan tentang seorang pemimpin yang sungguh memotivasi mas, terima kasih

Tinggalkan komentar