Membingkai Sensasi dalam Secangkir Kopi

Rasanya sudah lama sekali saya ndak mengunjungi warung ini, tempat saya biasa menikmati kopi seribuan yang pekat aroma jagungnya, sambil pelan-pelan mengunyah pisang yang baru diangkat dari wajan berisi minyak jelantah mendidih dengan level kekeruhan tingkat dewa. *saya lebay, memang…

Kangen, saya rindu menyesap nuansa, kangen dengan kemakinya Kang Noyo, kangen dengan bualan Pak Darmo, kangen dengan cerita-cerita Mbah Suto, kangen juga dengan keluguan Mbok Darmi.

“Mas, kopinya sekarang naik lho, jadi dua ribu!” Sambut Mbok Darmi dengan kejam, eh maksudnya bukan kejam, tapi mbok yao, saya kan sudah lama ndak ke sini, ada basa-basinya sedikit gitu lho…

“Lah Mbok, kalo jadi dua kali lipat itu namanya bukan naik, tapi ganti harga…”

Ngomong-ngomong ada alasan kenapa saya lama ndak ke warung Mbok Darmi. Salahkan temen saya dari Jakarta, yang dengan semena-mena sudah mengirimkan kopi luwak kemasan satu kilogram, dua kali. Dan kalo sampeyan mau tahu harga satu kilonya, Rp 3.400.000!

Ediyan!

Waktu pertama kali temen ini ngirim kopi, saya telpon dia, “Mbok kalo guyon jangan keterlaluan…”

Untuk buruh pabrik macem saya yang terbiasa menikmati kopi seribuan (waktu itu, sebelum ganti harga), Rp 3.400.000 untuk sekilo kopi jelas guyon, guyonan yang sangat mahal.

Taruhlah misalnya untuk membuat satu cangkir butuh 10 gram kopi, berarti satu kilo itu hanya cukup untuk 100 cangkir kopi, artinya tiap cangkir itu harganya Rp 34.000, artinya juga satu cangkir kopi luwak tersebut cukup untuk biaya minum kopi saya selama satu bulan!

Opo ndak wow itu namanya? Bukan cuma wow, tapi wow banget…

“Trus? Secangkir kopi itu kamu minum sedikit-sedikit biar sebulan baru habis?” Suara halus yang nyinyirnya nyaris tanpa cela. Kang Noyo masih belum kehilangan sentuhannya: mengejutkan, cepat, dan kejam. Bahkan saya belum sempat kaget waktu sebatang rokok saya sudah menyala di mulutnya.

“Yo ndak Kang, saya ndak seketerlaluan itu…”

“Tapi yang jelas itu berlebihan Le, mosok secangkir kopi harganya segitu! Pemborosan itu, ndak berguna. Apalagi untuk level buruh pabrik kayak kamu, ndak pantes!” Serang Kang Noyo, tanpa ampun seperti biasanya.

“Dan segala sesuatu yang berlebihan itu temannya setan!”

Modiyar!

Singkat, padat, dan jelas: temannya setan.

Saya cuma bisa garuk-garuk, lha mau ngomong apa? Saya pikir-pikir memang kopi luwak itu agak gimana gitu, mahal, terlebih dengan status saya yang cuma jongos di pabrik orang. Tapi yo mosok trus saya jadi temannya setan…?

Mahal dan murah itu kan relatif. Kopi dengan harga segitu jelas mahal bagi saya, tapi saya kan cuma dikasih, berarti vonis mahal dan murahnya ada di temen yang ngasih, dan mungkin bagi temen saya harga segitu ndak mahal. Wallahua’lam…

Sebenarnya menurut saya masalah utama di sini bukan murah atau mahal, melainkan label berlebihan dan temannya setan yang dilontarkan Kang Noyo. Minum kopi luwak adalah sesuatu yang berlebihan, dan setiap yang berlebihan adalah temannya setan, tapi ada embel-embel di sini, semua itu menurut Kang Noyo, sesuai persepsinya Kang Noyo.

Jadi konon katanya isu utama dalam setiap hal yang terjadi bukanlah pada kejadiannya, tapi pada persepsi kita atas sebuah kejadian.

Segala sesuatu yang terjadi pertama kali akan ditangkap oleh panca indra kita, itu disebut sensasi, sesuatu yang ditangkap oleh sense kita. Tapi itu belum berarti apa-apa, oleh otak sensasi tersebut akan diolah berdasarkan kebutuhan, suasana mental, suasana emosional, latar belakang budaya, dan frame of reference alias kerangka rujukan masing-masing orang. Hasil olahan tersebut adalah persepsi.

Kalo dibuat rumusan sederhananya adalah: sensasi + framing = persepsi.

“Jadi tergantung frame-nya sampeyan Kang, kalo sampeyan pengen membingkai kopi luwak dengan frame yang jelek ya persepsi sampeyan bakal jelek. Tapi kalo sampeyan mau membingkai dengan bingkai yang positif pasti reaksi sampeyan bakal bagus juga…” Kata saya.

“Mosok ndak ada hal positif yang bisa sampeyan tangkap dari kejadian seorang teman mengirim kopi luwak?”

Kang Noyo merengut, setelah menghisap rokok dalam-dalam dia berkata setengah bertanya, “Menangkap hal positif?”

“Iyo Kang…”

“Maksudmu dalam setiap kejadian seharusnya kita bisa melihat sisi baik dan juga mengeluarkan reaksi yang positif?” Dia kembali bertanya, dengan tingkat kenyinyiran dalam nada suaranya yang makin mengkhawatirkan.

“Iyo…” Jawab saya.

“Maksudmu seperti Mbah Suto waktu diperiksa sama kantor pajak kemarin?” Lanjut Kang Noyo.

Eh, maksudnya? Kok nyambungnya ke kantor pajak?

“Lha iyo, kemarin waktu laporan pajak tahunan, perusahaan Mbah Suto itu laporan usahanya rugi. Begitu hasil pemeriksaan dari kantor pajak keluar, ternyata perusahaan Mbah Suto itu untung, dan harus nambah lagi pajaknya.”

Trus? Mbah Suto bilang apa?

“Mbah Suto reaksinya positif Le, seperti katamu itu…”

“Luar biasa! Sampeyan-sampeyan dari kantor pajak ini adalah pegawai yang hebat. Piye misalnya sampeyan ndak usah kerja di pajak? Ikut kerja sama saya saja. Gimana ndak hebat, sampeyan lho bisa mengubah perusahaan saya yang rugi jadi untung…”

“Maksudmu seperti itu tho? Melihat sisi baik dan bereaksi secara positif?”

Mmm… mosok ya kayak gitu?

Jiyan!