Suami Nyuruh Berhenti Kerja?

Suatu saat mbakyu saya yang berdomisili di Denggung, Sleman, Jogjakarta nelpon saya. Dia bilang kalo suaminya mengeluhkan perilaku anak mereka yang cenderung kasar. Suaminya ini berpendapat mungkin salah satu yang menyebabkan hal itu adalah kurangnya perhatian dari orang tua, si bapak kerjanya dapet tempat di luar kota, cuma bisa pulang seminggu sekali, dan mbakyu saya juga kerja yang walaupun dalam kota tapi pulangnya sering sampe jam tujuh atau jam delapan malam baru sampe rumah.

Suami mbakyu saya mengusulkan agar mbakyu saya berhenti kerja agar bisa mencurahkan waktunya untuk mendidik dan mengawasi anak. Mbakyu saya mengeluh, “Piye le? Enaknya mbak berhenti opo ndak? Pengennya berhenti trus kerja bikin usaha sendiri di rumah tapi ya masih bingung mau usaha apa. Kalo cuma ngandalin gaji masmu kayaknya kok berat.”

Waduh, mumet juga saya. Tapi saya mencoba memfokuskan pada pertanyaan utama, “Enaknya mbak berhenti kerja opo ndak?”

Saya bilang, “Kalo soal mau berhenti apa terus ini yang lebih tau sampeyan sendiri mbak, tapi mungkin dua pertanyaan ini bisa membantu sampeyan untuk memutuskan”.

Pertanyaan pertama, apakah bekerja untuk sampeyan merupakan pilihan atau keharusan?

Kalau misalnya sampeyan ndak kerja berakibat dapur sulit ngebul, berarti bekerja merupakan keharusan, kalau ini yang terjadi yo jangan berhenti, kasian keluarga tho. Sedangkan misalnya sampeyan berhenti pun kebutuhan keluarga terjamin berarti bekerja merupakan pilihan, silakan lanjut ke pertanyaan kedua.

Pertanyaan kedua, bekerja untuk sampeyan worth it ndak?

Beda dengan pertanyaan pertama yang jawabannya bisa dihitung make kalkulator, pertanyaan kedua ini sangat individual, jawaban tiap orang bisa berbeda-beda tergantung jenis pembandingnya. Mungkin ada yang membandingkan pekerjaan dengan bayarannya, mungkin dengan nilai waktu untuk keluarga, mungkin dengan susahnya dulu waktu sekolah, ada juga mungkin yang menghitung nilai aktualisasi diri.

Silakan sampeyan bertanya pada diri sendiri dan menghitung untung ruginya. Yang jelas jangan sampe sampeyan berhenti kerja hanya karena alasan disuruh suami, menurut saya itu ndak elegan.

20 comments on “Suami Nyuruh Berhenti Kerja?

  1. adipati kademangan berkata:

    saya dah mbaca tulisan ini di sebelah. Sebenarnya dalam rumah tangga itu, rejeki si mbak sudah dioper ke tangan suami. Melihat kedua pertanyaan di atas ternyata bisa membantu pengambilan keputusan tentang masalah yang dihadapi.

  2. […] Suami Nyuruh Berhenti Kerja? Suatu saat mbakyu saya yang berdomisili di Denggung, Sleman, Jogjakarta nelpon saya. Dia bilang kalo suaminya mengeluhkan perilaku anak mereka yang cenderung kasar. Suaminya ini berpendapat mungkin salah satu yang menyebabkan hal itu adalah kurangnya perhatian dari orang tua, si bapak kerjanya dapet tempat di luar kota, cuma bisa pulang seminggu sekali, dan mbakyu saya […] […]

  3. big sugeng berkata:

    Saya kira jawabannya sudah sangat bijaksana. Istri saya sejak awal memang nggak boleh kerja formal. Alhamdulillah semuanya lancar. Sekarang saya malah kasihan karena harus mengasuh 7 anak sedangkan saya kan “mudiknya” seminggu sekali. Kalau pagi bayangin 6 orang harus sekolah…. tegangnya seperti perang yaaa?

    Saya setuju bahwa seandainya dia berhenti bekerja bukan karena suami (anggap saja pernyataan suami sebagai pemicu saja ) tetapi karena sudah dipikirkan masak2 segala aspeknya. Sehingga dikemudian hari tidak menyalahkan suami

  4. hehehhe baca kalimat terakhir mesem2 dewe…
    Ndak elegan 😉

    anw… pertanyaan2 sampeyan itu pas bgt mas !
    esensial sekali.

    Yook mari merenung 😉

  5. mawi wijna berkata:

    Memang repot mas ya, menjaga agar dapur tetap ngebul sambil ngemong anak. Tapi katanya Istri harus nurut kata Suami toh mas, nah klo suami nyuruh berhenti dan istri ndak mau, njuk piye?

  6. samsul arifin berkata:

    semoga dengan komunikasi yang baik antara suami dan istri, dua pertanyaan di atas dapat terjawab dengan baik pula. hanya istri yang didukung suami yang bisa menjawab dua pertanyaan di atas dengan cukup bijaksana.

  7. soewoeng berkata:

    semoga mboke rangga baca

  8. Gandi Wibowo berkata:

    Jadi mikir-mikir, gaji saya dah cukup Buat ngebulin dapur setelah nikah atau belom ya..

  9. Ferry ZK berkata:

    Sebagai muslim sudah sewajarnya kehidupan rumah tangga dikembalikan kepada norma keislaman, jika suami sudah melarang berarti kehalalan si istri keluar rumah untuk bekerja sudah hilang sehingga tentu secara syar’i sudah tidak halal lagi si istri keluar rumah untuk bekerja.

    CMIIW

  10. chocovanilla berkata:

    Yaah, memang sih bagi sebagian perempuan bekerja itu suatu pilihan. Tapi banyak faktor juga untuk mempertahankan pilihan itu bukan? Idealnya sih suami mendukung, keluarga tidak terlantar, anak-anak terpenuhi kebutuhan jasamani dan rohaninya. Hmmm, bisa kan?

    Salam kenal, Mas 😀

  11. asri berkata:

    belum keputusan final kan?
    mgkn si suami blg gitu krn liat kondisi si anak
    enaknya dibicarain lebih intens dl sepertinya & semua pertimbangannya
    tentunya antara kk & kk ipar mas donk
    … 🙂

  12. […] masih bersifat tradisional perlu atau tidaknya seorang perempuan bekerja bisa ditentukan dengan menjawab beberapa pertanyaan, tapi mungkin saja dalam kasus tertentu wanita lebih baik berpenghasilan […]

  13. sabai berkata:

    Pilihan manapun yg diambil, yg jelas sang istri harus bahagia. Krn kebahagiaan ibu/istri akan menyinari seluruh keluarga & menjadikan rumah sbg tempat yg nyaman 🙂

  14. artz berkata:

    aku ndak bisa nulis banyak n bagus, tp aku punya pendapat yg sama dgn ibu satu ini yg nulis sesuai pikiranku :

    Working Mom

    Today 05:48:16
    by Agwina Dieta in Our Stories
    for Dads, Moms

    Terkadang ingin rasanya saya berhenti bekerja, mengurus sendirian Mika di rumah, mengurus sendirian segala sesuatu kebutuhan Mika dan suami, tetapi entah kenapa yang saya tetap saya pilih adalah bekerja. Bukan egois atau memaksakan diri untuk bekerja, lalu meninggalkan anak dan menyerahkan anak ke pada ART selama saya bekerja tetapi karena memang ini adalah pilihan saya dan kesempatan saya untuk mengetahui dunia lain selain rumah yang nantinya bisa saya bagi bersama Mika ketika Mika besar nanti, setidaknya ini menurut alam pikiran saya.

    Selain itu, saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang memang perjuangan untuk menjadi seorang PNS itu sulit, banyak sekali orang yang berlomba-lomba dan berharap bisa menjadi PNS, dan Alhamdulillah saya dapat melaluinya dengan mudah, mengikuti tes dengan mudah dan akhirnya diterima dengan mudah, sekali lagi Puji Syukur kepada Sang Satu. Tuhan memberikan kemudahan itu semua bagi saya. Saya mulai berfikir, jika saya keluar, komitmen saya sebagai abdi negara yang berusaha mencoba untuk memberikan kontribusi dan pemikiran baru kepada lembaga akan hilang, walaupun sampai saat ini pemikiran-pemikiran tersebut mentok di birokrasi (yang ini hanya curhatan). Selain itu, saya berfikir saya sudah aman disini, sudah aman menjadi PNS, yang kelak saya akan tetap di gaji sampai kelak saya meninggal.

    Saya terus befikir dan berfikir, yakin apa saya ingin berhenti bekerja? Kalau saya berhenti bekerja, saya tidak mempunyai penghasilan, bisa saja sih saya usaha jualan, tapi untuk yang ini saya memang tidak berbakat jualan. Kalo saya tidak mempunya penghasilan, saya tidak bisa membelikan mainan, baju buat Mika dan tidak bisa menambah penghasilan dari suami. Walaupun penghasilan suami lebih besar dari saya, tetapi kebutuhan hidup kami juga besar. Dengan saya mempunyai penghasilan, saya bisa membelikan kebutuhan Mika dari keringet saya sendiri tanpa harus minta pada suami. Rasanya berbeda, ketika membelikan mainan atau baju untuk Mika dari uang saya sendiri dibanding dari uang suami, kepuasan tersendiri yang tidak bisa diungkapkan denga kata-kata dan tidak takut suami marah kalo saya menghabiskan uang untuk membeli mainan atau apapun untuk Mika.

    Saya pun berfikir, menjadi seorang ibu yang bekerja memiliki tantangan sendiri yang berbeda, yaitu:
    Tetap harus bekerja, dan memikirkan pekerjaan. Alhamdulillah saya tidak berangkat terlalu pagi dan tidak pulang terlalu malam. masih punya waktu yg cukup lumayan dengan keluarga.
    Tetap harus mengurus rumah. Walaupun punya ART, tetapi tetap saja ART harus diajarkan dan diberi tahu.
    Tetap harus ngurus suami.
    Masak. Masak buat Mika dan Masak buat saya, suami dan ART. Untuk urusan masak, saya tidak menyerahkannya ke ART.
    Mengurus Mika. Ketika pulang kerja, my time is for Mika. ART sudah tidak boleh megang Mika. Waktunya bersama Mika sampai Mika tidur dan bangun lagi. begitu juga weekend, Mika hanya dipegang sama saya, karena saya tidak ingin Mika tidak kenal ibunya.

    Tantangan itu tetap harus saya jalanin entah sampai kapan. Mungkin sampai saya berubah fikiran dan menjadi ibu rumah tangga biasa yang tak kalah mulianya atau sampai saya sudah tidak mampu lagi.

    Tetapi yang jelas dan pasti, saya tidak pernah menyesal menjadi seorang istri, seorang ibu dari Mika, dan menjadi seorang PNS . Ini adalah pilihan hidup saya, dan saya sangat tahu suami saya begitu mendukung apa yang saya pilih dan saya berharap Mika nantinya juga akan mengerti dengan pilihan saya saat ini.

    Ya, Saya adalah seorang ibu yang bekerja dan saya adalah seorang ibu dari Mikail Shira Aydin Hadi. Apapun yang saya lakukan dan kerjakan, pasti untuk kebaikan Mika dan keluarga saya.

Tinggalkan komentar