Mburuh di DPR

Sering saya bertanya dalam hati, menjadi seorang anggota dewan legislatif merupakan pekerjaan atau bukan. Kalo bukan pekerjaan berarti menjadi anggota dewan merupakan panggilan hati, dengan niat yang tulus pengen jadi penyambung lidah rakyat, atau bisa jadi memang didorong oleh konstituen untuk mewakili mereka. Kalo pekerjaan berarti menjadi anggota dewan ndak lebih mulia daripada buruh pabrik macem saya, sekedar melakukan apa yang sudah digariskan dan tiap bulan rutin dapet bayaran.

“Bedanya opo Le? Kan sama-sama dapet bayaran?” Tanya Kang Noyo.

“Yo bedanya di niat Kang. Segala sesuatu berawal dari niat karena konon manusia hanya akan mendapat sebatas yang diniatkannya.” Jawab saya.

Eva Kusuma Sundari, anggota DPR dari PDIP mengatakan bahwa gaji tiap bulan yang “cuma” berkisar antara 50-58 juta ndak cukup karena biaya politik sangat tinggi. Dari jumlah tersebut anggota dewan yang terhormat ini mengaku hanya bisa menabung tiap bulan 5 juta rupiah. Jadi selama 3,5 tahun menjadi wakil rakyat periode kemaren beliau hanya mampu menabung 200 juta. “Itu pun habis saat pemilu legislatif lalu,” Ungkap Bu Eva.

“Itu lagi ngeluh apa cuma cerita tho Le?” Tanya Kang Noyo dengan nada agak sengak.

Saya ndak tau Bu Eva lagi curhat atau sekedar ndobos saja, yang jelas beliau gembira dengan rencana kenaikan gaji pejabat negara. Bu Eva berharap seluruh kenaikan dialokasikan untuk komponen gaji pokok karena menurut beliau gaji pokok anggota DPR sangat kecil, “cuma” 4,2 juta. Ini penting karena gaji pokok terkait langsung dengan besarnya uang pensiun setelah beliau ndak lagi menjabat. “Bagaimana pun aku pengen secure setelah dari DPR.” Kata Bu Eva.

“Saya heran Kang, Bu Eva ini dulu nya kan jadi program officer di Asia Foundation, beliau bilang di situ setahun bisa beli mobil Taruna dan tabungannya banyak. Kalo memang di situ sudah nyaman kenapa ndak diteruskan? Kalo misalnya memang lebih milih jadi anggota DPR karena panggilan hati kenapa masih ngeluh soal bayaran?” Kata saya sambil nyebul asap rokok.

Kang Noyo mesam-mesem ndak jelas, “Susah Le jaman sekarang berharap wakil yang bisa njaga amanah, amanah apa yang mau dijaga? Wong dari awal kita juga ndak nitip apa-apa sama mereka, mereka yang maksa-maksa kita untuk milih pake iklan, janji manis, kalo perlu dengan imbalan. Nyaris ndak ada bedanya sama pengangguran yang rebutan lowongan.”

Mungkin ndak semua anggota dewan berharap dapurnya ngebul dari hasil kerja di gedung rakyat, tapi yang seperti ini membuat saya merasa semakin berjarak dengan mereka.

“Gimana kalo kita berhenti mburuh saja Kang, nyoba-nyoba nglamar jadi anggota dewan?” 😆

11 comments on “Mburuh di DPR

  1. mobil88 berkata:

    Tulisan yang menarik, teruslah berkarya…
    http://mobil88.wordpress.com

  2. novee berkata:

    batal buat jadi yang pertamaxx…se7!! teruslah berkarya & kritis terhadap sekeliling, kang…

  3. itikkecil berkata:

    wogh…. saya juga mau jadi anggota DPR kalau gitu…

  4. christin berkata:

    itu wakil partai kang, bukan wakil rakyat… 😆

  5. desty berkata:

    ada ga ya anggota dewan yg niatnya msh murni, bkn nyari obyekan di senayan?

  6. yuduto berkata:

    salut buat kamu bro…ditengah sibuk2nya mburuh di pabrik tetep bisa nulis (berkarya)

    #stein:
    wong tulisan dangkal gini saja kok, ndak sampe setengah jam juga jadi

    tinggal ngatur jadwal publish-nya wae tho 😆

  7. harikuhariini berkata:

    Emoh ah..duitnya sh banyak mas. tp sering d sumpahin orang. Bnyak godaan nya pulak. Mw memburuh d tempat yg lebh ‘aman’ sajalah.

  8. oglek berkata:

    jadi anggota DPR itu lebih enak daripada miara Tuyul, setidaknya itu kata teman saya 😀

  9. mbah joko berkata:

    ngapusi nek mung mangan gaji thok.. ra masuk akal babar blas

  10. […] This post was mentioned on Twitter by mas stein, mangkum. mangkum said: Mburuh di DPR: Sering saya bertanya dalam hati, menjadi seorang anggota dewan legislatif merupakan pekerjaan atau … http://bit.ly/aYH97q […]

  11. […] memang ndak mau dianggep buruh bayaran mestinya mereka juga tau diri Kang, wong bayaran tinggi saja masih merasa kurang kok, apa bedanya […]

Tinggalkan komentar