Sareh, Sumeh, Sumeleh

Dalam filosofi Jawa, ada istilah sumeleh, yang berasal dari kata seleh, dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah meletakkan. Semacam apabila kita memiliki sesuatu, kemudian kita meletakkannya, kita akan berusaha memastikan bahwa sesuatu tersebut terletak dengan sebaik-baiknya, seaman-amannya. Setelah itu kita memasrahkan pada alam, menyadari bahwa selalu ada sesuatu yang berada di luar kuasa kita.

Beberapa dari sampeyan mungkin menyebutnya tawakal, “Saya sudah berbuat semampu saya untuk menjaganya, sekarang giliran sampeyan, alam, untuk menjaganya.”

Hari itu, Rabu minggu yang lalu, saat beberapa dari sampeyan sedang bersiap melakukan coblosan pilkada, sebenarnya saya sedang ingin menyenangkan anak-anak saya, jalan-jalan ke pantai selatan Malang. Tapi, rencana tinggal rencana, pukul 05.30 pagi, Nokia 1280 saya berbunyi, tertera nama mbakyu saya yang tinggal di Jogja. Bukan pertanda bagus, mbakyu saya jarang nelpon, apalagi jam segini, “Dek, tadi pagi jam setengah tiga ibu jatuh waktu tahajud, sampai sekarang kondisinya gak sadar…”

Dan separo dunia saya runtuh.

Ibu saya punya riwayat diabetes dan tekanan darah tinggi. Dengan waktu yang sudah berlalu beberapa jam dan ibu saya belum sadar, di otak saya langsung bergema satu kata, stroke.

Dengan persiapan ala kadarnya saya berangkat ke Cepu, lengkap dengan istri dan duo precil. Sareh, sumeh, sumeleh. Petuah orang tua dulu mengatakan, tenang, tetap tersenyum, dan pasrah, karena manusia hanya sekedar berjalan di garis yang sudah ditentukan. Walaupun dalam kondisi ini kata sumeleh sebenarnya kurang pas untuk digunakan, lebih tepat memakai kata patrap, kepasrahan total, menyerahkan nasib dengan nyaris pasif.

Di rumah sakit barulah saya mendapatkan sedikit keterangan, ada pembuluh darah yang pecah di otak kanan. Gumpalan darah dan cairan tersebut menekan otak yang mengatur banyak hal, dua hal yang paling vital diantaranya adalah fungsi jantung dan pernafasan. Harus segera dilakukan operasi untuk mengambil cairan tersebut, karena semakin lama otak akan makin tertekan, dan kesadaran ibu saya akan semakin turun. Efek lainnya adalah: tubuh sebelah kiri lumpuh.

Operasi tidak bisa dilakukan di Cepu karena keterbatasan alat serta petugas medis. Tempat terdekat adalah Bojonegoro, itupun batal dijadikan tempat rujukan karena tidak ada kamar. Lamongan akhirnya menjadi pilihan, setelah dokter tidak berani mengambil risiko untuk mengirim ibu saya ke Jogja, tempat yang kami minta.

Saya tetap tersenyum, pun setelah dijelaskan berbagai macam risiko yang mungkin akan terjadi. Hebatkah saya? Bukan, saya tersenyum karena saya tidak punya harapan. Apa yang terjadi, terjadilah.

Besoknya saya pulang dulu ke Malang, anak-anak masih harus sekolah, sambil menunggu proses pemindahan ibu ke rumah sakit yang di Lamongan. Jumat pagi saya berencana berangkat ke Lamongan.

Dan hari Jumat pagi datang lebih cepat. Jam setengah tiga pagi adik saya nelpon, “Mas, kata dokter, ibu gak bisa dioperasi. Tingkat kesadaran ibu cuma level tiga, sementara untuk bisa dioperasi minimal level 6. Sekarang level kesadaran ibu semakin turun, gak tau bisa bertahan sampai kapan. Sampeyan bisa ke sini jam berapa?”

Sareh, sumeh, sumeleh.

Sekitar jam delapan pagi, dokter menerangkan pada kami yang berkumpul di ruang perawatan. Kalimat yang kurang lebih sama seperti yang tadi pagi diucapkan adik saya. Sulit, tapi memang tidak ada cara yang mudah untuk mengatakannya, “Dengan kondisi seperti sekarang, ibu bisa meninggal kapan saja, jadi mohon untuk selalu didampingi.”

Sedih, pasti. Tapi lagi-lagi, saya berusaha mengingat petuah lama itu, sareh, sumeh, sumeleh. Walaupun saya sempat berurai air mata juga, saat saya teringat sebuah keinginan sederhana. Bulan sebelumnya, saya sempat pulang kampung, dan dalam obrolan ringan di rumah, terbersit keinginan saya untuk membelikan ibu saya sandal. Iya, cuma sandal. Duh Gusti, bahkan untuk hal yang sesederhana itu pun saya ndak sempat melakukan, dan saya nangis.

Tapi konon, dalam hidup kadang memang terjadi keajaiban. Lepas sholat Jumat, dokter spesialis syaraf datang mengecek kondisi terakhir ibu, “Sepertinya ibu mengalami kemajuan, ini tadi saya saya ngetes ada respon walaupun lemah. Keputusan tetap ada di dokter bedah syaraf, tapi sepertinya masih memungkinkan untuk dilakukan operasi.”

Alhamdulillah. Jujur, saya merasa bukan orang yang sangat religius, tapi mendengar hal semacam itu rasanya seperti menemukan setitik cahaya di ujung lorong gelap, dan saya bersyukur. Walaupun dokter tetap memberi aba-aba, “Operasi ini tidak menjamin apapun.”

Paling tidak, saya bisa mencoba belajar menghayati sumeleh yang sesungguhnya, bukan sekedar menyerah pada nasib.

Sudah tujuh hari sejak ibu menjalani operasi, sepertinya sudah mulai ada kemajuan, walaupun beliau masih belum sepenuhnya sadar. Tapi, dalam beberapa hari ke depan, saya sungguh berharap beliau menjawab pertanyaan saya, “Ibu, maunya sandal yang model apa?”

10 comments on “Sareh, Sumeh, Sumeleh

  1. Warm berkata:

    Smoga ibunya cepet pulih ya, mas

    (Njenengan btw tega bikin postingan yg bikin saya brambang mili sesore ini)

    ๐Ÿ˜ฅ

  2. Semoga Ibunya segera kembali diberikan Nikmat Sehat dan dapat beraktifitas sebagaimana setiap hari. Amin

  3. mzjiwo berkata:

    ..sareh dan sumeleh selalu..
    ..mugi ibu enggal pulih om, semangat dan sehat selalu mendampingi beliau..

  4. Simbok berkata:

    Sampai kurang lebih setahun yang lalu, aku masih sering mangkel sama sifat dan perilaku bapakku. Tapi belakangan pas beliau mulai sering gerah, rewel kayak anak kecil, rasanya seperti ditampar. Dosa banget selama ini marah dan banyak kesal. Piye2, beliau bapakku. Manusia pertama yang nggendong waktu aku baru lahir, setelah ibuk. Yang doain dan bacain adzan di telingaku. Yang berjuang nyari nafkah buat nyekolahin aku dan adik2. Yang gak pernah bilang ‘gak punya uang’ waktu kami bertiga butuh atau minta sesuatu.

    Sekarang bisanya mbales cuma dengan sering2 nelpon, sms, dan niliki sesering mungkin, sebisanya dan seadanya rejeki.

    Ya ampun :((

    Mudah2an ibunya mas stein cepet pulih. Amin.

  5. mas stein berkata:

    itulah, sudah waktunya mbok, mumpung masih ada kesempatan. makasih doanya

  6. Pug Warudju berkata:

    Pengalaman batin yang mengharu biru, dan inspiratif, matur suwun Mas sesorahnya. Gusti Allah boten sare

  7. surya amanda berkata:

    Tutur kata pinutur yg santun …tetap semangat

Tinggalkan komentar