Yang Penting Pantas

“Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F° adalah ketiadaan panas sama sekali. Semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”

Mungkin sampeyan sudah cukup akrab dengan kutipan di atas. Salah satu cerita yang ada dalam buku “100 Kisah Motivasi yang Paling Banyak Tersebar di Grup Whatsapp.” Bukunya belum ada, sih. Siapa tahu sampeyan berminat membuatnya. Namun saya ndak janji bakal beli. Soale saya paling males membaca kisah-kisah hasil forward dari grup sebelah macam itu. Masa-masa menggebet perempuan dengan bermodal kata bijak sudah lewat. Mario Teguh saja prei, mosok sampeyan ndak?

Kebetulan dulu saya anak IPS. Jadi sah-sah saja kalau saya ndak ikut hukum fisika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dingin itu ada. Kalau ndak ada mosok dicantumkan di daftar kata?

Dingin menurut KBBI artinya bersuhu rendah apabila dibandingkan dengan suhu tubuh manusia; tidak panas. Persis seperti suhu udara di Malang beberapa hari terakhir ini. Dinginnya jiyan gak santai. Konon kalau pagi menjelang bisa mencapai 14°C.

Dengan suhu udara sedingin itu, hanya butuh waktu beberapa menit sebelum kopi di warung Mbok Darmi yang sebelumnya kemebul menjadi benar-benar dingin. Untungnya, saya bareng Kang Noyo, teman yang selalu memanaskan suasana. Maksudnya, kalau sampeyan di deket Kang Noyo bawaaannya itu panas terus.

Setengah jam berlalu, Kang Noyo masih misuh-misuh soal janji bayaran di pabrik mau dinaikkan. Janji yang sebentar lagi berulang tahun. Tapi yang bikin emosi bukan soal janji itu. Jadi begini, orang kalau lagi misuh-misuh itu ngerokoknya kenceng. Mending kalo dia bawa sendiri. Tobil anak kadal, rokok saya yang tadi masih penuh sekarang tinggal separo.

“Kang, khotbah Jumat itu apa, tho?” Tanya saya. Menjelang Jumat ini, mosok misuh-misuh terus.

Kang Noyo melirik sambil garuk-garuk.

“Maksud saya gini lho, Kang…” Kali ini saya yang garuk-garuk, ndak nemu kalimat yang pas.

Belasan tahun yang lalu, pertanyaan yang sama pernah saya ungkapkan kepada bapak saya. Di mesjid kampung saya, hanya butuh dua sampai tiga menit sejak khotib naik mimbar sebelum saya terlelap. Dan ndak cuma saya. Kalau pas lagi kriyep-kriyep di tengah khutbah, saya perhatikan jamaah yang lain sama saja.

Saya jadi bertanya-tanya, khotbah Jumat itu sebenarnya nasihat atau cuma ritual kosong belaka? Pokoknya waton ada. Dalam bahasa pabrik tempat saya mburuh, yang penting memenuhi syarat formal.

Di jaman yang kadang antara khotbah dan kampanye susah dibedakan seperti sekarang, mungkin pertanyaan saya sudah ndak pas lagi. Namun ingatan saya selalu kembali ke pertanyaan itu setiap kali melihat ucapan-ucapan di grup whatsapp.

Ketika ada yang mengabarkan seseorang sedang sakit, sampeyan akan menemukan satu orang menuliskan ucapan disertai doa. Tulisan yang kemudian akan di-copy-paste hingga berpuluh kali oleh orang setelahnya.

Itu ucapan betul kah? Atau sekadar kepantasan belaka?

Hal yang sama akan sampeyan temukan pada setiap momen ulang tahun, kenaikan pangkat, mutasi, sunatan, undangan nikah, sampai berita kematian. Kadang yang ditulis adalah doa panjang dalam tulisan Arab yang saya ndak yakin dipahami oleh semua orang yang menyalinnya.

Lagi-lagi timbul tanya di benak saya. Itu doa betul kah? Atau basa-basi semata?

“Modelanmu, Le. Koyo iso moco pikirane wong ae!” Cetus Kang Noyo, sinis.

Lho, bukan. Tentu bukan kapasitas saya untuk menilai niat orang. Hanya saja, bagi saya pribadi, doa yang baik adalah doa yang dipanjatkan, bukan doa yang dituliskan. Sebagaimana ucapan yang baik adalah ucapan yang dilambari tulusnya perasaan, bukan hanya sekadar kepantasan.

“Woo, lha nek mikirmu koyo ngono yo ndak bakal ada orang sedekah, Le. Semua-muanya kudu nganggo perasaan, bener tur pener lahir batin. Bubar ndonyane.” Kata Kang Noyo.

“Kok larinya ke sedekah tho, Kang?” Saya protes.

Tapi bener juga, sih. Kalau semua basa-basi dan kepantasan dihilangkan, betapa sepinya. Misalnya ulang tahun saya yang jatuh di salah satu akhir pekan bulan kemarin, sepi. Hanya dua orang yang mengirim ucapan selamat ulang tahun.

“Kapok!” Kang Noyo ngakak.

“Jadi gini yo, Le. Ndak semua hal itu harus dilakukan dengan sempurna. Kurang satu dua hal itu wajar, namanya juga manusia. Kadang sesuatu cukup dilakukan karena memang harus dilakukan. Seperti misalnya sekarang, warungnya kan mau tutup, aku mau pulang. Seperti biasa, kamu yang harus mbayari. Kamu ndak ikhlas tho? Jelas. Tapi kan tetep harus dilakukan. Karena kalau kamu ndak mbayari, trus yang mbayari sopo?”

Saya manggut-manggut. Kutipan di awal tulisan ini sepertinya benar belaka, dingin udara membuat partikel-partikel di otak saya menjadi lamban geraknya. Saat saya berhasil mencerna semua kalimat, Kang Noyo sudah jauh di sana.

Jiyan!

8 comments on “Yang Penting Pantas

  1. Warm berkata:

    Serial jiyan kang Noyo kui pantes dibukuin lho kang, saya pre order satu yo

  2. Saya jadi ingat dengan ungkapan bahwa gelap itu tidak ada, yang ada adalah ketiadaan cahaya. Istilah itu membuat saya berpikir bahwa orang jahat itu tak ada, yang ada adalah ketiadaan Tuhan dalam diri mereka sehingga mereka terdorong untuk berbuat jahat..

  3. Slamet berkata:

    Satu kata, “Aseeem!!!”

  4. Sukotjo berkata:

    Oalah tak pikir salah moco ulang taune Sampeyan,tibake tulisan taun wingi😅 jane yo ra tau kirim ucapan selamat ultah se😀

Tinggalkan komentar