Kembali ke Dasar

Suatu saat, bapak saya menanam beberapa tanaman hias di halaman. Ketika bapak sedang sibuk dengan cangkulnya, budhe saya lewat. Sambil menenteng jun (sejenis gerabah yang digunakan untuk mengambil air) ia bertanya, “Nandur ngono kuwi kanggo apa? Mbok ya nandur lombok utawa tomat.” Untuk apa menanam tanaman yang tidak bisa dimakan?

Adegan itu kembali terbayang di kepala saat tadi pagi saya mengantri di Warung Pecel Pincuk Bu Ida, Gading Serpong. Budhe–dan juga warga desa yang lain, saya rasa–mungkin geleng-geleng kepala kalau mereka tahu saya menempuh 17 kilometer untuk mengantri makan pecel. Makan di rumah sendiri, kan, bisa?

Saya, sebagai orang desa yang sudah keracunan gaya hidup ala kota, sudah mengenal makanan autentik, tempat instagrammable, warung hits, dan sebagainya. Budhe saya, di lain sisi, menempatkan kegiatan makan sebagai kebutuhan dasar untuk hidup. Apa bedanya makan sepuluh ribu dan seratus ribu? Sama-sama supaya gak mati, kan?

Saya pikir, ada saatnya saya harus kembali belajar dari budhe. Ketika hidup sudah mulai ruwet, hari-hari terasa panjang, dan waktu–juga duit–selalu terasa kurang, pertanyaan itu harus saya renungkan.

Budhe saya tak pernah memberikan pertanyaan spesifik, tetapi ada seorang kawan yang mewakilinya merumuskan dalam kalimat sederhana. “Mas, yang harus ditanyakan pertama kali itu bukan apakah hal itu bisa diwujudkan, tetapi apakah perlu?”

Selamat siang, Gita Wiryawan. Hari ini, sudah berapa hal tak perlu yang dilakukan?

Karena Duit Saja Ndak Cukup

Sekian waktu yang lalu Kang Noyo pernah menawari saya untuk menjadi orang tua asuh. Sampeyan mungkin pernah juga pernah membaca tawaran semacam itu. Untuk SD nilainya sekian rupiah per anak, SMP sekian, SMA sekian, dan seterusnya. Saya cuma nyengir.

Ndak, saya ndak bermaksud meremehkan tawaran semacam itu. Bukan pula karena yang menawarkan adalah Kang Noyo, seorang perokok yang memberatkan teman dan penggemar kopi gratisan. Apalagi sampai ingin membelokkannya ke arah, “Bukankah itu tanggung jawabnya negara?”

Sebagai seorang jarkoni –iso ngajar ora iso nglakoni- saya membalas penawaran itu dengan sebuah usulan, “Gimana kalo dana semacam itu dikelola sendiri, Kang.”

Ambillah contoh, misalnya seperti Direktorat Jenderal Pajak. Sebuah instansi pemerintah yang memiliki ratusan kantor dengan puluhan ribu pegawai. Dalam beberapa tahun terakhir mereka rutin mengumpulkan dana dari pegawai yang berkenan. Dana itu lantas disalurkan untuk membiayai pendidikan anak-anak yang membutuhkan di sekitar lokasi kantor masing-masing. Penyalurannya bukan atas nama instansi, tentu saja, melainkan atas nama paguyuban pegawai. Baca lebih lanjut

Patah Hati

After all you’ve said to me

You broke my confidence

Took it all. Why can’t you see?

It makes no difference to you, it seems

What happens to me

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan patah hati sebagai ‘kecewa karena putus percintaan; kecewa karena harapannya gagal’. Sementara dalam buku The Tattoo Encyclopedia: A Guide to Choosing Your Tattoo, Teresa Green membuat visualisasinya dalam bentuk hati yang terbelah di tengah.

Tak penting lagi untuk dibahas bahwa simbol yang terlanjur populer tersebut menurut sebagian besar pendapat sebenarnya berasal dari bentuk jantung. Patah hati adalah suatu metafora yang digunakan untuk menjelaskan sakit emosional yang dirasakan seseorang setelah kehilangan orang yang dicintai. Atau bagi beberapa orang: kehilangan seseorang yang bahkan belum pernah dimiliki.

Sebagian orang mungkin akan mengatakan bahwa patah hati sebenarnya tak lebih dari sekadar omong kosong. Sebagaimana romantis adalah bagian dari romantika, sedih dan gembira pun hanyalah tentang kemampuan dalam mengolah rasa. Semua itu sebenarnya hanya ada di dalam kepala.

Benar kah demikian? Baca lebih lanjut

Menulis dengan Gawai

Pernah di suatu masa, saya ingin sekali memiliki gawai dengan layar sentuh. Yang terbayang waktu itu, layarnya lebar sehingga memudahkan saya untuk menulis komentar di blog teman-teman. Maklum lah, jaman itu blog masih berjaya. Jaman orang masih belum percaya bahwa makhluk bernama twitter, instagram dan kawan-kawannya akan mampu menenggelamkan tulisan-tulisan panjang.

Sempat terbayang juga, dengan gawai yang papan kuncinya berbentuk qwerty, saya bisa menulis di mana saja. Tanpa harus terpaku di depan komputer. Waktu itu senjata andalan saya “cuma” Sony Ericsson K810 yang baterainya sudah menggembung dan sebuah komputer rakitan dengan prosesor Celeron, hasil kredit pula.

Namun, sesuatu memang akan selalu terlihat indah saat berada di luar jangkauan. Setelah android menggurita dan hampir semua gawai yang beredar di pasaran menggunakan layar sentuh, dua hal yang dulu saya bayangkan hampir tak pernah terjadi.

Saat ini saya menggunakan gawai keluaran Oppo, sebuah merk yang beberapa die hard fans-nya sering meledek Xiaomi. Mungkin mereka sedang membayangkan iphone dengan penggemar setia yang rela tidur di tenda demi mendapat antrian pertama saat sebuah produk baru dirilis. Jangan tanya apa kelebihannya, ini iphone, cukup itu saja. Dan Oppo sekilas memang terlihat seperti Iphone wannabe, bukan?

Apakah dengan gawai berlayar sentuh lantas menjadikan saya rajin menyambangi blog untuk kemudian meninggalkan jejak di sana? Tidak. Sama halnya dengan tingkat kerajinan menulis saya yang sama sekali tak bertambah. Sekali lagi, sesuatu akan terlihat lebih indah saat berada di luar jangkauan.

Bahkan kalau pun gawai yang saya miliki adalah Samsung Galaxy Note yang harganya setara (bahkan lebih mahal) komputer jinjing, saya tak yakin produktivitas menulis akan meningkat. Saya bukanlah Puthut EA, kepala suku Mojok, yang menghasilkan beberapa buah buku dari gawainya. Terlalu jauh kalau saya melihat ke sana. Sekadar status facebook atau cuitan twitter yang bermutu saja, saya tak mampu membuatnya.

Tulisan ini memang tak jelas jeluntrungannya. Ini lantaran Bang Pay, yang dalam seminggu ini mengunggah dua buah tulisan. Keduanya ditulis dengan gawai. Saya penasaran ingin mencoba, sudah, itu saja.

Yang Penting Pantas

“Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F° adalah ketiadaan panas sama sekali. Semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”

Mungkin sampeyan sudah cukup akrab dengan kutipan di atas. Salah satu cerita yang ada dalam buku “100 Kisah Motivasi yang Paling Banyak Tersebar di Grup Whatsapp.” Bukunya belum ada, sih. Siapa tahu sampeyan berminat membuatnya. Namun saya ndak janji bakal beli. Soale saya paling males membaca kisah-kisah hasil forward dari grup sebelah macam itu. Masa-masa menggebet perempuan dengan bermodal kata bijak sudah lewat. Mario Teguh saja prei, mosok sampeyan ndak?

Kebetulan dulu saya anak IPS. Jadi sah-sah saja kalau saya ndak ikut hukum fisika. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dingin itu ada. Kalau ndak ada mosok dicantumkan di daftar kata?

Dingin menurut KBBI artinya bersuhu rendah apabila dibandingkan dengan suhu tubuh manusia; tidak panas. Persis seperti suhu udara di Malang beberapa hari terakhir ini. Dinginnya jiyan gak santai. Konon kalau pagi menjelang bisa mencapai 14°C.

Dengan suhu udara sedingin itu, hanya butuh waktu beberapa menit sebelum kopi di warung Mbok Darmi yang sebelumnya kemebul menjadi benar-benar dingin. Untungnya, saya bareng Kang Noyo, teman yang selalu memanaskan suasana. Maksudnya, kalau sampeyan di deket Kang Noyo bawaaannya itu panas terus. Baca lebih lanjut

Dream Theater di Jogjarockarta

Dalam beberapa hal, saya termasuk orang yang konservatif. Tipikal pemain aman yang membosankan. Termasuk dalam hal musik. Saya adalah penggemar dangdut.

Mungkin lantas sampeyan ada yang nanya, memangnya dangdut itu konservatif? Hooh, paling ndak menurut saya. Di jenis musik apalagi sampeyan bisa memainkan banyak lagu cukup dengan modal chord Am, F, dan G? Sudah chord-nya begitu-begitu saja, ketukannya juga konstan.

Setelah berkenalan dengan dangdut, saya juga suka dengan lagu-lagu Malaysia. Lha mereka memang mirip, kok. Chord-nya standard, nada-nadanya pun mirip dangdut. Kalau ndak percaya, silakan sampeyan cari lagu Malaysia versi dangdut, pasti banyak. Eh, tapi dangdut memang musik omnivora sih, dari The Final Countdown sampai Despacito pun diembat sama mereka.

Lalu suatu saat datanglah temen saya, membawa kaset Yngwie Malmsteen, The Seventh Sign. Saya langsung terkagum-kagum, jelas salah satunya karena kecepatan main gitarnya yang blukutuk-blukutuk itu. Namun yang lebih menyenangkan lagi adalah, jenis musik yang baru saya dengar itu bisa langsung masuk ke kuping saya, karena dia mirip, errr, dangdut! Baca lebih lanjut

Pilihan yang Diwajibkan

Sebut saja namanya Ngadiman. Lelaki umur tigapuluhan yang menghabiskan masa kecilnya di sebuah dusun kecil pelosok Jawa Tengah. Tempat di mana Ngadiman kecil terbiasa berangkat sekolah sambil menenteng sepatu. Melewati pematang sawah yang hampir mustahil dilalui kendaraan saat musim hujan, sekelas sepeda pancal sekalipun. Di sana, malam-malam dihabiskan tanpa penerangan listrik. Dan tak ada jaringan telepon juga, tentu saja.

Sekian tahun berlalu. Dusun itu sekarang telah menikmati percik peradaban. Anak-anak berangkat sekolah tanpa harus menenteng sepatu. Walaupun jalan yang dilewati masih berupa campuran pasir dan batu yang berhias kubangan lumpur saat musim hujan. Televisi dan kulkas pun sudah jadi barang yang jamak semenjak listrik mengalir di sana. Namun tetap belum ada satu pun tiang telepon tertanam. Jaringan selular yang masih berada di tingkat 2G juga sering timbul tenggelam.

Namun lupakan sejenak dusun itu. Sekarang Ngadiman sudah jadi orang kota. Sekolahnya gak tinggi-tinggi amat, tapi lumayan. Penghasilannya pun tak tinggi-tinggi amat, tapi cukupan. Satu hal yang jelas membedakan dengan orang-orang di dusun asalnya: akses online untuk banyak hal yang dia butuhkan. Baca lebih lanjut

Klakson

Konon katanya, salah satu perbuatan yang diharamkan saat berada di jalan adalah mengklakson angkot. Bukan apa-apa, berbeda dengan kebanyakan orang yang akan bereaksi saat diklakson, sopir angkot seakan sedang berada pada ruang dan waktu yang berbeda. Mereka seperti tak mendengar apapun, dengan mata tetap fokus mencari penumpang. Sungguh, mengklakson angkot adalah perbuatan sia-sia, mubazir. Dan sampeyan tau, mubazir itu temannya setan.

Jalanan adalah pabrik kesia-siaan yang luar biasa produktifnya. Misalnya, saat ada kendaraan dari arah berlawanan sedang menyalip, sampeyan akan langsung reflek ngedim atau minimal menyalakan sein kanan. Walaupun jaraknya masih aman. Atau saat motor di depan sampeyan tau-tau belok kiri dan berhenti, sampeyan akan mengklakson. Sekadar untuk meluapkan kekesalan. Kadang sampeyan juga mbengok, “Wooo!” sambil mulut mecucu setengah meter saat ada perilaku yang sampeyan anggap ngawur. Masalahnya, sampeyan mecucu di dalam mobil yang tertutup rapat dengan kaca film 80%.

Makanya, sampeyan jangan terlalu bangga kalo baru sampai pada level berhasil menjauhkan tangan dari klakson saat berada di belakang sopir angkot. Masih terlalu banyak kesia-siaan yang mungkin sampeyan buat di jalanan sana.

Baca lebih lanjut

Aku Berlindung dari Godaan …

Itu adalah Ramadan masa kecil, ketika di malam-malam harinya, aku mau berangkat mengaji dan ketakutan karena harus melewati sawah dan kuburan. Orang-orang bilang, “Ndak usah takut. Sekarang bulan puasa. Setan lagi pada dirantai, ndak bisa ke mana-mana.”

Aku bisa sedikit tenang. Dalam bayanganku waktu itu, segala jenis jin, setan, demit, prewangan sedang meratap dalam pasungan kayu. Kenapa pasungan kayu? Harap maklum, aku menghabiskan masa kecil di dusun yang juga kecil. Seberapa kecil? Jika kau pernah membaca Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari, kira-kira begitulah. Hanya ada enam puluh lima kepala keluarga di kampung kami yang bersahaja. Dan satu-satunya contoh manusia terbelenggu di kampong yang kutahu adalah Mbah Bodo. Ia dipasung dengan kayu karena sering mengamuk. Aku tak mengenal bentuk belenggu-belenggu yang lain.

Boleh-boleh saja jika pasungan kayu itu membuatmu ingin ceramah soal Hak Asasi Manusia, aku akan dengan senang hati mendengarkan. Kau bisa bercerita sambil kutraktir kopi hitam dan gorengan ubi, sembari melihat-lihat keluguan kampung kami. Barangkali kau akan berkenan memberi pencerahan kepada warganya bahwa pasungan kayu tidaklah manusiawi. Yang jelas, gambaranan pasungan kayu benar-benar membantuku saat itu. Aku tidak takut lagi melewati pojok kuburan yang jauh dari rumah penduduk. Aku tak lagi takut sesosok pocong atau kuntilanak akan muncul tiba-tiba seperti di film-film horor bikinan Raam Punjabi.

Beranjak remaja, pemahamanku sedikit berubah. Ternyata jin, setan, demit, dan prewangan itu banyak ragamnya. Dan tak semua dibelenggu di bulan puasa. Konon, cuma iblis kelas berat dan anak turunnya saja karena mereka suka menggoda manusia untuk berbuat dosa. Mereka dibelenggu supaya tak mengganggu umat Islam dalam berpuasa. Apesnya, itu juga berarti aku harus kembali waspada. Kembali terbuka kemungkinan setiap kali jalan sendiri malam-malam, aku bertemu mbak-mbak berambut panjang, berbaju putih dengan punggung berdarah, dan tertawa ngikik di bawah rumpun bambu.
Baca lebih lanjut

Tentang Jalan Paving dan 60 Lampu

Konon katanya, pemerintah merencanakan membangun jalan tol sepanjang 1.000 kilometer dalam lima tahun ke depan. Dari total tersebut, sepanjang 392 kilometer akan diselesaikan di tahun 2017. Penambahan ruas tol tersebut bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan mendorong pemerataan pembangunan di daerah.

Secara umum, jalan tol memang lebih nyaman untuk dilewati. Makanya agak janggal semisal ada orang yang memprotes kehadiran jalan tol, kecuali para makelar tanah yang sedang mencoba menggoreng harga tentunya. Namun sampeyan boleh percaya boleh ndak, hal semacam itu pernah terjadi.

Jaman saya kecil dulu, sekitar awal sembilanpuluhan, bapak sering membawa pulang majalah bekas dari rumah paklik saya di Jogja. Di salah satu majalah tersebut -kalo saya ndak salah, majalah Tempo- ditulis tentang protes sekelompok orang di Malaysia atas pembukaan jalan tol di salah satu daerah. Setelah ditelisik, penyebab kemarahan tersebut ternyata karena selain membuka jalan tol, pemerintah setempat juga menutup jalan arteri yang selama ini digunakan warga. Meskipun lebih nyaman dan tarifnya murah menurut klaim pemerintah, warga protes karena hilangnya jalur alternatif.

Baca lebih lanjut