Dream Theater di Jogjarockarta

Dalam beberapa hal, saya termasuk orang yang konservatif. Tipikal pemain aman yang membosankan. Termasuk dalam hal musik. Saya adalah penggemar dangdut.

Mungkin lantas sampeyan ada yang nanya, memangnya dangdut itu konservatif? Hooh, paling ndak menurut saya. Di jenis musik apalagi sampeyan bisa memainkan banyak lagu cukup dengan modal chord Am, F, dan G? Sudah chord-nya begitu-begitu saja, ketukannya juga konstan.

Setelah berkenalan dengan dangdut, saya juga suka dengan lagu-lagu Malaysia. Lha mereka memang mirip, kok. Chord-nya standard, nada-nadanya pun mirip dangdut. Kalau ndak percaya, silakan sampeyan cari lagu Malaysia versi dangdut, pasti banyak. Eh, tapi dangdut memang musik omnivora sih, dari The Final Countdown sampai Despacito pun diembat sama mereka.

Lalu suatu saat datanglah temen saya, membawa kaset Yngwie Malmsteen, The Seventh Sign. Saya langsung terkagum-kagum, jelas salah satunya karena kecepatan main gitarnya yang blukutuk-blukutuk itu. Namun yang lebih menyenangkan lagi adalah, jenis musik yang baru saya dengar itu bisa langsung masuk ke kuping saya, karena dia mirip, errr, dangdut!

Monggo saja kalo sampeyan mau protes. Tapi sebelum protes, tolong sampeyan googling dulu “Rudysta”. Setelah sampeyan nonton mereka, mau ndak mau sampeyan harus mengakui, neo classic metal dengan dangdut itu masih ada hubungan kerabat. Ada sentuhan harmonic minor di situ.

Selera musik saya pun akhirnya ndak jauh-jauh dari dua hal: ketukan yang konstan dan pola nada yang cenderung minor. Banyak kaset yang dulu saya koleksi, sebutlah Helloween, Stratovarius, Blind Guardian, Dark Moor, Rhapsody, Luca Turilli, Sonata Arctica, Edguy, Impellitteri, Avantasia, dan beberapa yang lain, semata karena saya merasa mereka masih memiliki pertalian darah dengan dangdut.

Hingga akhirnya suatu ketika saya dipinjemi kaset sama teman saya, “Rungokno iki, apik.”

Kaset itu adalah album Images and Words, dari band yang namanya baru pertama kali saya dengar, Dream Theater. Dan reaksi saya waktu pertama kali nyetel kaset itu, “Orang macem apa yang sanggup mendengarkan lagu berantakan macam ini?”

Saya ndak bohong, mumet saya dengarnya. Tempo yang berubah-ubah, juga banyak nggandhulnya. Di mana-mana itu ya, pasangan drum dan bass lah yang bertugas jaga tempo, diisi dengan kebrutalan gitar campur keyboard. Lha ini? Duh Gusti, belum pernah saya mendengar musik seberantakan ini. Sungguh tidak dangdut sekali.

Namun lama-lama kok ya saya bisa menikmati. Dentuman dobel pedal di intro lagu Under a Glass Moon, ketukan ganjil di awal lagu Learning to Live, interlude berkepanjangan pada Metropolis Part I, hingga akhir lagu Pull Me Under yang rada geje.

Setelah Images and Words, album Dream Theater yang saya dengarkan adalah Metropolis Part II, Scenes from a Memory. Kasetnya minjem, tentu saja. Jiyan, album ini theater sekali! Masih jadi favorit saya sampai sekarang. Hampir semua bagian bisa saya nikmati, kecuali bagian awal lagu Beyond This Life, yang entah kenapa terasa agak gatel di kuping saya. Mungkin karena terlalu tidak dangdut.

Album yang bercerita tentang sebuah tragedi ini sempat jadi tragedi juga buat saya. Entah kenapa waktu saya setel kasetnya mbulet. Dan mbuletnya parah sampai ndak bisa digulung lagi. Celakanya, di toko kaset waktu itu ndak ada. Beberapa toko kaset yang saya datangi cuma memajang album Images and Words. Ciloko tenan.

Sambil memohon-mohon maaf, akhirnya saya ganti kaset itu dengan album yang masih anget: Six Degrees of Inner Turbulence.

Setelah kondisi keuangan saya agak lumayan, saya sempat berburu album Dream Theater. Dapet beberapa kaset bekas dengan harga pukul rata, Rp 35.000 per biji. Cukup mahal, mengingat saat itu harga kaset baru berkisar di angka Rp 20.000. Harap maklum, waktu itu jangankan Joox atau Spotify, MP3 bajakan saja belum musim.

Sebenarnya saya nggedabrus dari tadi itu cuma mau ngasih tau, Dream Theater mau datang lagi ke Indonesia. Tanggal 29 September 2017 di Stadion Kridosono, Yogyakarta. Yang mau rada ngirit, silakan beli tiket presale di Legend Coffee, Jl Abu Bakar Ali, Yogyakarta, tanggal 3 Agustus 2017. Mau yang harga 350 ribu atau 750 ribu, monggo sampeyan sesuaikan kondisi kantong. Kalo buat saya harga presale segitu yo mahal, lha wong ongkos ke jogja bolak-balik ndak bakal cukup Rp 150.000.

Nanti sama-sama kita ber-head banging, sebelum besoknya kembali berdamai dengan secangkir kopi. Bagaimana pun, bagi saya, James Labrie itu fana, Via Vallen abadi.

Tinggalkan komentar