Semoga Bukan Ritual Semata

Ada seorang ustad dalam pengajian yang pernah saya ikuti bercerita, beliau punya langganan warung soto di daerah Wajak, sekitar 35 km arah tenggara dari Malang. Pemilik warung soto ini pasangan suami istri yang sudah berumur. Suatu saat waktu beliau datang ke sana si bapak pemilik warung ternyata sudah meninggal, dan yang menarik perhatian ustadz saya adalah (menurut cerita sang istri) si bapak pemilik warung ini bisa tau kapan beliau akan meninggal.

“Hari Minggu yang akan datang, jam tujuh pagi, nyawaku akan dicabut Gusti Allah.” Kata bapak pemilik warung.

“Jangan guyon tho Pak.” Sang istri ndak terlalu menanggapi.

Selama seminggu itu si Bapak pemilik warung pamitan dan minta maaf ke sanak famili serta tetangga. Sampai akhirnya datanglah hari Minggu pagi.

“Ajalku ditunda sampai nanti ba’da maghrib Bu.” Kata si Bapak pemilik warung.

Beliau bilang ada seorang familinya akan datang dan beliau belum sempat meminta maaf. Sang istri masih berpikir kalo bapak pemilik warung lagi ngelantur.

Seusai menjalankan sholat Maghrib si bapak bilang, “Sekarang ajalku akan tiba, aku ndak mau merepotkan orang lain, biar aku tiduran madep kiblat sambil sedekap.”

Setelah mengucap dua kalimat syahadat si bapak pemilik warung pun meninggal.

Ustadz saya penasaran, amal apa yang biasa dilakukan si bapak kok bisa mendapat “kesaktian” semacam itu. Istri pemilik warung menjelaskan kalo wirid, sholat malam, puasa, dan berbagai macem amalan yang dilakukan bapak pemilik warung ndak ada yang istimewa, biasa-biasa saja.

“Bapak cuma biasa mengundang tetangga yang lewat untuk sekedar mampir ngopi dan ngobrol, juga sering mengajak penjual keliling untuk mampir makan di rumah. Bapak senang membuat senang orang lain.”

Terserah sampeyan percaya atau ndak sama cerita itu, tapi waktu dulu saya sempet nyantri sebentar ada satu ajaran yang selalu diulang-ulang oleh guru saya, sebaik-baik manusia adalah manusia yang berguna bagi sesamanya. Bukan yang paling pinter ngajinya, paling rajin puasanya, atau paling lama wiridannya, tapi yang berguna untuk sesamanya.

Mungkin ada baiknya sesekali kita meluangkan waktu untuk merenung, manakah yang wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Bukan hubungan ke langit semata, tapi juga dengan orang sekitar kita.

Kadang dalam kegiatan yang bernuansa ibadah kita ndak sadar sudah melanggar hak orang lain. Tadarus Al Quran itu baik, tapi mungkin lebih baik tidak dilakukan semalam suntuk dengan pengeras suara. Puasa itu mulia, tapi mungkin ndak perlu dibarengi perintah untuk menutup warung. Berpakaian ala Nabi itu baik, tapi alangkah baiknya kalo bukan cuma pakaian dan jenggot yang ditiru dengan meninggalkan sifat welas asihnya.

Mungkin agak telat, selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon dimaafkan segala dobosan dan kenyinyiran saya. Semoga saya dan sampeyan ndak cuma makin rajin dengan amalan ke langit, tapi juga makin berguna bagi sesama. Semoga bukan ritual semata, tapi ibadah dalam arti sebenarnya.

8 comments on “Semoga Bukan Ritual Semata

  1. risdania berkata:

    Astagfirullah,,masih ada ya orang kaya gitu,,orang yang belum kemakan jaman kaya qt (atau tepatnya saya),,

    Dan andai, org ga melihat perbedaan sbagai hal yang utama, asal saling bermanfaat,,saling tenggang rasa,,pasti ndak perlu ada bentrok2 makan korban,,

  2. christin berkata:

    Selamat idul fitri juga mas stein, makasih buat semangatnya berbagi 🙂

  3. mawi wijna berkata:

    kisahnya menarik Kang, si bapak pemilik warung juga menghadapi kematiannya tanpa gugup

  4. ndaru berkata:

    wah..saya malah bingung mau kaget apa takut

  5. wongiseng berkata:

    Pemilik warung sotonya itu ternyata Senopati Pamungkas, lelananging jagat yang weruh sadurunging winarah :).

    Sisan sowan lebaran mas, mohon maaf lahir batin 🙂

  6. sugiman berkata:

    sugeng riyadi.

    wes wani pasang photoik.

  7. Rossa berkata:

    nyimak dulu ah.
    eh sekalian, mohon maaf lahir bathin yaaa

Tinggalkan komentar