Bukan Tentang Gitar dan Piano

Kalo dalam beberapa tulisan saya kadang mengaku ndeso, itu bukan karena saya pengen menerapkan prinsip merendahkan diri meninggikan mutu, sok-sok marjinal biar orang memandang dengan melas dan mengharu biru, yang kemudian ditutup dengan sedikit drama, “Wow, ternyata walaupun ndeso tapi bisa begitu ya…” Bukan semacam itu.

Saya memang ndeso dari sananya. Jalan di kampung bapak saya sampai detik ini masih makadam, tanah berlapis batu ditutup pasir yang kalo musim hujan selalu ambles. Yang secara aneh malah membawa berkah, paling ndak setiap tahun warga kampung harus kerja bakti lagi, melupakan sejenak remah-remah pertengkaran antar tetangga demi punya jalan yang bisa dilewati minimal pick up pengangkut gabah.

Mungkin bapak kasian liat saya yang tiap kali diajak ke jalan raya sudah berasa tamasya, duduk ndepipis sambil terkagum-kagum liat banyak bis lewat, sehingga tiap kali liburan kenaikan kelas SD saya dikirim ke Jogja, Kalasan tepatnya, ke tempat bulik saya. Selain biar lebih akrab sama sepupu-sepupu, juga minimal saya merasakan yang namanya listrik, iya listrik, keajaiban yang belum ada di kampung saya jaman itu.

Percaya ndak percaya, dulu tiap kali orang ngomong menyalakan lampu, saya pikir bohlam listrik itu dibakar pake korek sekian detik supaya nyala. Waktu mbakyu saya bilang, “Enak ya kalo ada listrik, nanti tak suruh kipas angin ngipasi terus, biar ndak panas.” Dan yang terbayang di benak saya adalah kipas ala tukang sate yang ngipas-ngipas sendiri mengikuti kemanapun saya pergi. Bukan karena saya berkhayal sihir ala Harry Potter, itu adalah bayangan ilmiah maksimal saya, dan lagi waktu itu belum ada Harry Potter. Dan masih teringat waktu dengan sombongnya saya cerita ke temen-temen di kampung, “Di Jogja itu ndak perlu nimba, tinggal muter keran, airnya langsung mancur…”

Kebetulan suaminya bulik saya itu seorang PNS yang juga merangkap musisi keroncong. Jadi alat musik di rumah dia lumayan kumplit, ada biola, gitar, keyboard (atau piano saya nyebutnya waktu itu), sampe drum ada semua. Favorit saya adalah piano, bukan favorit sebenarnya sih, lebih karena hanya itulah instrumen yang boleh kami mainkan, yang lain dikunci di ruangan belakang. Itulah pertama kali saya praktek nada do re mi fa sol mi do, la do si la sol…

Ada yang tau? Itu pembuka bait pertama lagu Ibu Kita Kartini.

Sampai akhirnya datanglah saat itu, gitar om saya tergeletak manja di ruang tamu. Penasaran dong, lalu saya mainkan, ala piano tentunya, satu-satunya referensi alat musik yang saya tahu. Dan… baru beberapa menit saya sudah ndak minat lagi. Gitar adalah sebuah produk gagal, dengan gagahnya saya berkesimpulan.

Lha ndak gagal piye, nada itu kan ada tujuh, do re mi fa sol la si, sedangkan gitar itu cuma punya enam senar, dan waktu saya bunyikan dari yang paling gede sampe ke yang paling kecil bunyinya ndak urut do re mi fa sol la si do. Saya tinggal gitarnya, balik ke piano. Gitar adalah sebuah alat musik yang ndak bisa dimainkan, bahkan untuk sekedar lagu Ibu Kita Kartini.

Bertahun-tahun kemudian, saat saya kelas dua SMA, baru saya tau ternyata bukannya gitar ndak bisa dimainkan, tapi saya yang ndak bisa memainkan. Saat itulah saya berpikir dengan pongahnya, gitar itu bukan piano, jadi janganlah memainkan gitar dengan cara piano, ndak bakal bisa. Tentu saja waktu itu saya ndak berpikir kalo lagi pongah, dan ini membuat kepongahan saya menjadi semakin sangit luar biasa. Kepongahan tertinggi adalah kepongahan yang ada di pikiran.

Kalo diibaratkan misalnya sampeyan ketemu orang, yang demikian susah dan alotnya untuk ditekuk, janganlah berpikir dia itu produk gagal, bisa jadi jadi sampeyan yang belum nemu cara nekuknya. Jangan mengukur orang dengan ukuran sampeyan sendiri, kecuali sampeyan pengen membuktikan bahwa sebenarnya sampeyan sama saja, sama-sama ndak bisa ditekuk.

Selesai? Ternyata belum.

Sebenarnya waktu pertama kali temen saya ngajari gitar, saya itu jengkel. Lha bayangan saya main gitar itu kan bernyanyi satu dua lagu romantis, lalu gadis-gadis akan terpesona, jatuh hati hingga terkintil-kintil. Tapi temen saya ndak mau ngajari lagu, yang diajari malah teori pembentukan chord, major scale, minor, pentatonic, beserta lick-licknya, lalu lanjut ke teknik semacam hammer on, pull of, tapping, harmonic tone, dan segala macem yang jauh dari membuat gadis-gadis tertarik.

Hal yang belakangan saya syukuri. Pertama, kalopun saya diajari nyanyi kemungkinan besar peruntungan saya dalam memikat gadis-gadis ndak akan lebih bagus dari Agus Mulyadi. Yang kedua, saya jadi belajar konsep bermain gitar. Penting lho ini, minimal saya ndak gampang menyalahkan orang yang taunya cuma nyanyi sambil genjrang-genjreng. Ndak perlu eker-ekeran bagaimana bentuk sebuah chord, yang penting harmonisasi nadanya bener.

Kadang untuk memudahkan dibuatlah sebuah bentuk praktis dari sebuah konsep, yang seringkali bentuknya akan berbeda antara satu dengan lainnya. Kalo yang paham konsepnya, ndak akan sibuk menyalahkan hanya karena beda bentuk. Paling ndak, sampeyan ndak akan sedikit-sedikit bilang kafir, yang lalu dibalas dengan ndak kalah sengit, situ wahabi! Karena konon, yang ngaku toleran dengan yang ngaku intoleran sebenarnya sama, hanya saja yang mengaku intoleran lebih jujur.

Dan setelah belajar segala macem konsep gitar itu saya baru tau, ternyata piano itu sebenarnya secara konsep ndak jauh dari gitar. Minimal kalo sampeyan ngomong chord major, minor, diminished, augmented, dan semacamnya. Atau scale semacem pentatonic, blues, harmonic minor, dan sebagainya, sama.

“Jadi kesimpulanmu salah tho Le.” Sambar Kang Noyo yang dari tadi dengan sabar menghabiskan batang demi batang rokok saya.

“Kamu bilang jangan memainkan gitar dengan cara piano, ndak bakal bisa, ternyata bisa tho.” Sambung Kang Noyo makin nyinyir.

“Berarti kalo kamu bilang jangan mengukur gelas orang dengan gelas sendiri salah juga tho?”

Mosok ya gitu?Artinya saya ndak perlu repot-repot memahami jalan pikiran sampeyan, gitu tho Kang. Sampeyan ki ancen kampret kemaki medit njalukan tur intoleran kok.

Jiyan!

4 comments on “Bukan Tentang Gitar dan Piano

  1. mzjiwo berkata:

    Kalasan yang itu sudah pernah kesana…
    Kelas 2 SMA sudah pernah bareng…
    Selanjutnya yang lain entahlah…
    #ngopiwae

  2. frozzy berkata:

    mbacanya mbulet awalnya, tapi di akhir bisa menarik kesimpulan, bahwa otak saya yang mbulet…. hahahahaha….

Tinggalkan komentar