Yang Penting Ganti

Kampung halaman saya yang ndeso nan terpencil itu ternyata bisa juga punya cerita. Kemaren bapak saya nelpun, soal kemelut kol tepak, atau yang oleh orang-orang kota sering disebut mobil pick-up.

Harap maklum, kampung saya itu ndak ada angkutan umum, mbah-mbah saya dulu terbiasa jalan kaki berkilo-kilometer ke pasar untuk jualan barang yang kadang nilainya ndak sampe 20 ribu rupiah, jaman itu memang adanya cuma jalan pematang sawah. Seiring berjalannya waktu sekarang hasil gotong royong warga sudah menghasilkan jalan makadam, kalo lagi musim kemarau truk pun bisa lewat.

Warga mikir, kalo saja kampung saya punya kendaraan yang bisa ngangkut hasil panen ke kota, tentu ndak perlu bersusah payah mbawa berkarung-karung gabah make sepeda pancal. Dari mulut ke mulut usul berkembang dan mulai membentuk kubu-kubu. Mbah Dirjo, yang paling kaya di kampung usul supaya mbeli truk saja, biar ndak nanggung, muat lebih banyak kan lebih baik. Sementara Kang Dadap, teman sepermainan saya waktu kecil dulu usul beli pick up saja, soale lebih kecil, lebih lincah, perawatan juga relatif lebih murah.

Karena eyel-eyelan terus berkelanjutan akhirnya diadakan coblosan, semua warga disuruh milih, pick up atau truk. Setelah diitung hasil pilihan warga ternyata mayoritas milih pick up.

Harga pick up bekas sebenernya ndak terlalu mahal, ndak sampe 20 juta, tapi kemampuan warga kampung kan terbatas. Akhirnya disepakati tiap panen warga diharuskan menyisihkan hasil panennya, tak lupa warga kampung yang sukses di perantauan juga dimintai urunannya. Butuh waktu hampir hampir dua tahun sebelum akhirnya dana terkumpul.

Awalnya semua warga seneng dengan adanya pick up ini, walaupun bekas tapi sangat membantu. Ndak cuma untuk ngangkut gabah, misalnya ada mantenan atau pengajian warga pun memanfaatkan pick up untuk angkutan. Untuk ngawasi penggunaan mobil ini dibentuk semacam kepengurusan yang diketuai Kang Dadap tapi juga mewadahi kubunya Mbah Dirjo, biar ndak ada iri-irian.

Tapi yang namanya kendaraan, apalagi milik bersama, lama-lama timbul masalah juga. Mulai dari yang sepele kayak busi mati, atau sekring putus, sampai ribut masalah gabah siapa yang harus didahulukan untuk diangkut. Pengurus yang dulu kompak pun sekarang mulai pecah. Kubu Mbah Dirjo walaupun ndak secara terang-terangan mulai menyindir bahwa ini semua akibat kesalahan warga sendiri yang lebih memilih beli pick up dibanding truk. Kalo yang dibeli truk paling ndak antrian gabah yang diangkut bisa diminimalisir wong muatannya banyak.

Sindiran lama-lama berubah jadi tudingan, suasana kampung jadi agak panas. Terakhir yang bikin panas gara-gara pick upnya didiagnosa klepnya bocor, harus turun mesin dan diperkirakan habis ongkos sejutaan. Mbah Dirjo konon berkomentar, “Daripada ngurusi mobil satu rusak-rusak terus mbok mending dibakar saja, wong dijual yo paling ndak ada yang mau beli saking bobroknya.”

Kang Dadap selaku penggagas ide beli pick up tentu saja ndak terima dengar komentar Mbah Dirjo, apalagi  walaupun terkenal paling sugih tapi konon kalo soal urunan Mbah Dirjo ini terkenal pelit dan sering ngemplang. Situasi makin panas karena berkembang isu kubunya Mbah Dirjo sengaja pengen ngrusak mobil, yang air radiator ndak diisi, oli ndak diganti, macem-macem isu yang beredar.

Waktu saya cerita sama Kang Noyo beliau ngakak, “Lha kok bisa kampung terpencil berintrik kayak gitu. Opo memang mobilnya sudah ndak bisa ditolong lagi? Trus kalo misalnya itu mobil beneran dijual kira-kira kuat ndak beli gantinya? Atau harus nunggu duit terkumpul dua tahun lagi? Lha trus nasib warga yang selama ini sudah biasa make angkutannya gimana?”

Yang penting ada angkutan? Yang penting ganti? Mbuh lah, mumet saya.

12 comments on “Yang Penting Ganti

  1. JR berkata:

    wakh bagus dong kalo sudah di ganti

  2. itikkecil berkata:

    di manapun, intrik itu pasti akan selalu ada….

  3. budiono berkata:

    hakakakaka… kampung yang sangat dinamis, mirip sebuah negara! kwkwkww

  4. Vicky Laurentina berkata:

    Wah..ck ck ck, cuman di kampung aja engkel-engkelannya bisa sampai ruwet gitu ya, Mas? Lha keluarga di kampung Mas Stein gimana? Ada kesulitan nggak dengan rusaknya si pikep?

  5. mawi wijna berkata:

    Di komunitas sepeda saya juga ada intrik. Pokoknya yang urusannya sama hajat-hidup orang banyak pastilah penuh intrik.

  6. yustha tt berkata:

    Kang Noyo i lho, nek kon nyindir pinter tenan. Iku pikep’e wis beroperasi 100 hari durung Kang?

  7. nd berkata:

    Hmmm, hmmm *ikut mikir*
    Ah saya jadi ikut mumet hoh

    Blogwalking mas 🙂

  8. warm berkata:

    kampungnya keren

    suka sekali saya 🙂

  9. marshmallow berkata:

    ya allah, padahal niat awalnya baik sekali ya, mas.
    memang memiliki harta bersama selalu tersandung masalah seperti ini, iri dan dengki serta saling menyalahkan kalau ketemu masalah, bukannya mencari solusi untuk kebaikan bersama.

    saya cuma bisa titip doa aja deh buat para warga desa agar masalah ini segera diselesaikan dengan baik.

  10. yuduto berkata:

    kok ora mbok talangi wae bro…mesti wong nggonmu setuju kabeh, wkwkwkkw

  11. rizda berkata:

    kampungnya lucu,,

  12. […] This post was mentioned on Twitter by mas stein, mangkum. mangkum said: Yang Penting Ganti: Kampung halaman saya yang ndeso nan terpencil itu ternyata bisa juga punya cerita. Kemaren bap… http://bit.ly/ahTZeW […]

Tinggalkan komentar