Berdagang Aspirasi

Kehebatan politisi dalam urusan mencari, mengumpulkan, menyolidkan dan memanfaatkan suara masyarakat memang ndak ada duanya. Mulai dari politisi tingkat kampung macem Pak Lurah sampai yang di level pusat macem presiden dan anggota DPR harus diakui kelincahan dan kelihaiannya dalam urusan ini. Sampeyan liat saja waktu mau ada pemilihan umum, begitu rapinya mereka mengkoordinasi masa dengan tim sukses yang terstruktur baik, yang jelas bila memang diperlukan dana berapapun selalu siap mengucur.

Makanya jangan terlalu percaya kalo ada politisi kita yang kebetulan berhasil terpilih lalu dengan senyum memalukan malu-malu bilang kalo jabatan yang diembannya adalah amanah. Amanah itu artinya titipan, dan biasanya orang cenderung menganggap titipan itu sebagai beban, sampeyan juga pasti sepakat lazimnya beban itu dihindari, bukan malah ngerayu-ngerayu dengan berbagai macem cara agar orang mau nitip.

Lha anehnya, kemampuan mereka yang hebat itu seakan-akan redup, kalo ndak boleh dibilang mati, saat mereka sudah terpilih jadi pejabat. Misalnya seorang calon bupati yang waktu kampanye pemilu sering jalan kaki blusukan ke pasar-pasar, nanya-nanya langsung ke rakyat kecil apa keluhan mereka, begitu sudah terpilih kemana-mana naik Toyota Fortuner yang kacanya selalu tutupan rapet, masih ndak cukup, semua orang harus minggir ngasih jalan karena ada mobil double cabin yang nguing-nguing di depan sebagai pembuka jalan. Mau ketemu saja harus melewati beberapa level pengawalan, gayanya sudah mirip raja kecil.

Atau mungkin sampeyan mau liat anggota DPR, mereka malah lebih hebat lagi. Anggap saja namanya Pak Darmo, lahir dan gede di Jakarta, mendadak waktu pemilu dicalonkan jadi anggota DPR mewakili daerah nun jauh di Jawa Timur sana, dan hebatnya beliau terpilih. Berarti beliau ini sangat hebat dalam urusan mengolah suara rakyat tho? Wong yang membuat dia terpilih adalah suara yang dibeli disumbangkan oleh rakyat.

Mungkin untuk menghargai dan memelihara kemampuan yang menakjubkan itu maka pemerintah memberikan bayaran yang berbau-bau komunikasi, misalnya tunjangan aspirasi yang besarnya sekitar 7jutaan dan tunjangan komunikasi yang berkisar 12jutaan tiap bulan.

Cukup?

Lha ini saya yang heran, ternyata itu ndak cukup. Maka bergulirlah usulan untuk meminta dana aspirasi yang konon mencapai 15 milyar per daerah pemilihan, tentu saja bukan demi anggota dewan, tapi demi rakyat, setidaknya itulah yang diakui para anggota dewan.

Dana aspirasi ternyata menimbulkan polemik dan akhirnya batal dikucurkan, diusunglah usulan yang juga berbau aspirasi, judulnya rumah aspirasi. Konon nilainya sekitar Rp 200juta untuk setiap anggota dewan. Lagi-lagi ini menurut para pengusungnya ini bukan untuk anggota dewan, tapi demi rakyat. Kalopun ndak demi rakyat yang jelas ada aturan legal sebagai alasan pembenar usulan ini.

“Kowe ki ngomong opo tho Le? Masih tanggal muda kok misuh-misuh.” Kang Noyo dengan kalem mengambil sebatang rokok saya dan menyulutnya.

Oalah kelakuan!

“Lha piye tho Kang, wong dulunya waktu menggalang masa begitu hebatnya mereka masuk sampe ke pelosok-pelosok kampung demi suara rakyat, lha kok sekarang begitu terpilih ngeluhnya macem-macem.” Kata saya anyel.

“Kamu yang ndak ngerti Le, itu memang sudah seharusnya. Kamu masih ingat pelajaran soal perkembangan budaya manusia?” Tanya Kang Noyo sambil menghembuskan asap rokoknya.

“Yang mana Kang?” Saya memandang bingung.

“Awalnya manusia itu berburu dan meramu, ya itu yang dilakukan calon anggota dewan, kelayapan kemana-mana berburu suara rakyat.” Ujar Kang Noyo.

“Trus?” Saya masih ndak ngerti.

“Setelah itu waktu pemilu mereka bercocok tanam, sudah mulai pinter ngaturnya, jadi suara ndak perlu diburu lagi, tinggal dikelola.” Lanjut Kang Noyo.

“Kalo sudah kepilih?” Tanya saya.

“Lha berhubung dulu sudah latihan berburu dan mengelola suara rakyat, sekarang waktunya level ketiga, berdagang!” Cetus Kang Noyo sambil terkekeh.

Heh? Mosok seh? Berdagang suara rakyat gitu?

Jiyan!

9 comments on “Berdagang Aspirasi

  1. arman berkata:

    Yah kan udh jelas mas… Kenapa mereka rela menghabiskan begitu banyak uang waktu kampanye? Ya tentu karena mereka mengharapkan dapet banyak uang setelah terpilih. Ya toh? :p

    #stein:
    otak bisnis yo mas, repot 😆

  2. mawi wijna berkata:

    politik campur bisnis itu campur aduk Kang! beh!

    #stein:
    kok beh? sampeyan kediri ta?

  3. Jauhari berkata:

    Kali ini saia ndak terlalu nangkep maksudnya tulisan ini… 😆

    #stein:
    ya sepenangkepnya sampeyan saja

  4. hanny berkata:

    ada juga orang yang dititipi barang, eh barang titipannya hilang 😀

    #stein:
    kalo saya seringnya lupa, sampe sih sampe tapi telat 😀

  5. Sayangnya kita diwakili oleh wakil2 seperti itu… Ironis…

    #stein:
    lha piye mas, wis kedadian 😆

  6. chocoVanilla berkata:

    Dari 15 milyar turun jadi 200 jt. Hmmm, tunggu aja ampek turun lagi jadi sejuta 😆 malu gak ya?

    #stein:
    eh konon dana aspirasi sekarang mau diperjuangkan lagi lho, kalo bener pancen kebacut!

  7. nDaru berkata:

    saya sebenerne mau tiru2 Pong Harjatmo itu, tapi yang dicoret jangan atap gedungnya..wong kata Pramono Anung, gedungnya ndak salah, yang salah itu oknum yang ngantor disitu…makanya coret2nya di jidat oknumnya itu aja kalok gitu yak?

    #stein:
    walah! :mrgreen:

  8. devieriana berkata:

    hooh, kenapa bisa gitu ya, ketika “butuh” mereka baik-baik sama rakyat, tapi pas udah menang/terpilih mereka kaya lupa sama yang memilih.. *sigh*

    #stein:
    sudah biasa tho mbak, habis manis sepah dibuang, ada uang abang disayang tak ada uang abang ditendang *iki opo tho??*

  9. patytonk berkata:

    dah dari bawaan orok, sbelum tempat kita berpijak jadi negara, nanak moyang kita sudah bikin praktek jual beli suara ! Artinya suap menyuap, money politik di negeri ini adalah merupakan kebudayaan! Jadi perlu dilestarikan ! Toh ngilangin juga susah, jdi sekalian saja dilestarikan biar jaya ! Hehehehehehehe!

Tinggalkan komentar