Kapasitas dan Urgensi di Level Warung Kopi

Peringatan: judul di atas menipu!

Sebenarnya saya males ngomong soal pilpres dan anak turunnya. Bukan apa-apa, yang pertama karena masalah itu berada di luar kapabilitas saya sebagai buruh pabrik yang lingkungan pergaulan paling jauhnya cuma warung Mbok Darmi, yang kedua males ribut. Bahkan pernah sebuah guyonan yang saya lempar tanpa mikir tentang pilpres pun ditanggapi serius, yang membuat saya akhirnya jadi ikut mikir, padahal ndak mampu!

Ciloko tenan…

Kalo sampeyan nanya apakah saya kemarin ikut nyoblos? Iya, saya nyoblos. Tapi saya nyoblos bukan karena alasan nasionalis yang mengharu biru, demi menegakkan syariat, atau karena berharap perubahan yang dahsyat, atau hal-hal lain yang butuh kontemplasi tingkat tinggi, ndak. Secangkir kopi di warung Mbok Darmi ndak cukup untuk membuat saya mampu berpikir sedahsyat itu. Saya nyoblos karena memang waktunya nyoblos. Seperti halnya misal di pabrik ada sebuah acara yang sudah disiapkan dengan susah payah oleh kawan-kawan, trus saya ndak dateng, ndak sopan itu namanya. Tinggal datang saja lho, susah bener. Dan ini pun sama, tinggal nyoblos saja kok, ruwet tenan.

Bahwa Indonesia butuh perubahan, iya, Indonesia harus menjadi lebih baik, saya setuju. Tapi saya ndak terlalu berharap keajaiban itu akan datang hanya karena seorang presiden. Saya lebih percaya bahwa Indonesia akan berubah saat sampeyan saya mulai menyimpan sampah di kantong baju sampai nemu tempat sampah, saat sampeyan saya ndak melempar puntung rokok ke jalanan, saat sampeyan saya naik motor pilih muter jalan agak jauh dibanding mlipir di kanan jalan, saat sampeyan saya walaupun dengan setengah gak ikhlas tapi jujur mbayar pajak…

Sesudah pilpres nanti kita akan tetap ngopi tiap pagi, setelah itu yang sekarang macul juga akan tetap macul, yang sekarang nguli akan balik nguli. jadi semoga yang sekarang ini sedang sibuk membela dan mencaci hanya semata karena mencari selingan di antara rutinitas ngopi, macul, dan nguli…

“Untuk ukuran orang yang ngaku ndak peduli pilpres, ocehanmu itu terlalu panjang Le…”

Kang Noyo, seperti biasa, langsung menusuk ke sasaran.

“Ndak popo Kang, wong cuma sekali-kali, lagian saya ngomongnya kan waton ngomong. Sekedar ngomong, ndak pake mikir…” Jawab saya ndak kalah sengit.

Ini sekedar obrolan warung kopi, ndak usah dipikir terlalu serius. Selain kasihan sama kapasitas otak saya yang ndak seberapa, terlalu serius mikir orang yang belum tentu serius mikirin kita juga ndak sesuai dengan asas imbal balik.

“Trus ada angin apa tiba-tiba kamu ngoceh soal pilpres? Wong sudah lewat.” Tanya Kang Noyo, setelah menyalakan batang kedua, dari bungkus rokok saya tentunya.

“Pilpresnya sudah Kang, buntutnya yang ra uwis-uwis…” Kata saya.

Konon yang terakhir kali adalah adanya wacana (atau jangan-jangan sudah usulan) agar dalam pilkada ndak lagi melalui pemilihan langsung, tapi cukup lewat DPRD. Alias kembali lagi seperti jaman dahulu kala, waktu Sampoerna Mild masih Rp 1.350, dan LA Light belum ada.

“Kok konon?” Pertanyaan basa-basi Kang Noyo, sekedar pengalih perhatian agar perampokan rokoknya ndak terlalu kentara.

Konon ya konon, karena saya males nyari referensi, masih dengan alasan yang sama lagi, kapasitas otak, tingkat urgensi masalah, dan level obrolan.

“Ini cuma obrolan warung kopi Kang…”

Mau ndak mau ingatan saya kembali ke beberapa tahun silam, saat suatu sore di bulan Ramadhan saya terdampar di sebuah restoran di Probolinggo. Buka puasa ditemani beberapa kawan, beberapa kaleng bir, duduk satu meja dengan seorang lelaki setengah baya yang memakai baju koko lengkap dengan pecinya. Pemandangan yang semi absurd.

Bapak-bapak setengah baya ini kebetulan pernah nyaris jadi bupati Probolinggo, tapi dalam pemilihan ada yang menelikung.

“Ya kawan-kawan DPRD, calon satunya ngasih lebih besar.” Cerita si Bapak, beberapa miliar ternyata ndak cukup untuk “mengkondisikan” para anggota dewan yang terhormat itu untuk memilih beliau.

Menggelitik, saya manggut-manggut waktu itu, mendengar bagaimana rencana untuk balik modal seandainya beliau benar-benar terpilih menjadi bupati.

“Kalo aku setuju Le, memang lebih baik kepala daerah dipilih sama anggota DPRD.” Celetuk Kang Noyo.

Lha? Balik jaman orde baru dong…

“Bukan masalah orde lama atau orde baru Le, tapi kalo mau jujur, yang usul agar pilkada cukup oleh anggota DPRD adalah orang-orang yang berpikir realistis.” Jelas Kang Noyo.

Menurut Kang Noyo ada beberapa keunggulan pilkada oleh DPRD dibanding pemilihan langsung, diantaranya:

  1. Lebih murah biaya. Untuk alasan yang sangat jelas, ndak butuh banyak kertas suara, ongkos pengamanan, pelaksanaan, pengawasan, dan tetek bengek pemilu.
  2. Ongkos politik lebih sedikit karena calon kepala daerah cukup mendanai orang-orang dalam satu gedung. Dengan ongkos yang lebih murah diharapkan nantinya balik modalnya juga lebih cepat dan ndak terlalu menghabiskan anggaran.
  3. Tim sukses lebih ramping. Dengan semakin sedikit orang terlibat dalam tim sukses, makin sedikit pula orang yang nantinya merecoki jalannya pemerintahan dengan nitip orang atau minta proyek.
  4. Transaksinya lebih jelas. Pada pilkada langsung, kepala daerah didukung rakyat tapi belum tentu didukung anggota DPRD, padahal dalam pemerintahan yang diperlukan adalah dukungan DPRD, bukan dukungan rakyat.

Stop, stop! Lhadalah, makin lama makin melantur si Kang Noyo ini.

“Sik tho Kang, alasan pertama sampeyan masuk akal, tapi setelah itu kok ngawur pol-polan.” Cetus saya.

Kang Noyo ngakak, “Ngawur piye tho Le? Itu fakta!”

“Kalo kamu ndak mengakui bahwa calon kepala daerah itu habis duit buanyak, dengan tim sukses yang nantinya bakal ngerepoti juga ndak kalah buanyak, berarti kamu pura-pura semuanya baik-baik saja. Palsu kamu! Kamu justru harus salut masih ada parpol yang jujur mengakui kondisi itu dan meminta pilkada cukup oleh DPRD.” Tegas Kang Noyo, dalam campuran nada satir dan sinis.

“Tapi kan ndak semua Kang…” Protes saya.

“Yang ndak semua itu ada berapa…?” Pertanyaan Kang Noyo alus, tapi saya ndak bisa njawab, pertama karena kapasitas otak saya, kedua… *sepertinya kalimat ini sudah saya ulang berkali-kali.

“Lalu soal DPRD tadi, anggota parlemen itu kan wakil rakyat Kang. Logikanya kalo kepala daerah didukung rakyat berarti dia juga didukung parlemen tho. Seharusnya begitu kan..?” Kata saya, ndak yakin.

“Sekarang aku nanya Le, ada ndak definisi anggota dpr di aturan hukum? Ndak bermaksud sinis, aku cuma pengen tau, anggota parlemen itu perwakilan rakyat atau perwakilan partai?” Ujar Kang Noyo.

“Kalo misalnya mereka perwakilan rakyat, harusnya partai cuma jadi formalitas, ndak ada jegal menjegal karena urusan dendam pribadi atau partai kan, apa kata rakyat yo itu kata parlemen. Ndak ada juga kutu loncat, wakil rakyat hanya loyal terhadap rakyat, partai cuma jadi stempel.”

“Tapi kalo misalnya mereka perwakilan partai, berarti rakyat sudah dimanipulasi lewat pesta mahal rutin lima tahunan yang ironisnya didanai dari duitnya rakyat juga. Rakyat cuma jadi stempel untuk melegalkan kekuasaan.” Kang Noyo meneruskan.

“Lebih celaka lagi kalo mereka ternyata bukan perwakilan partai, juga bukan perwakilan rakyat, tapi mewakili diri sendiri…”

Makin lama obrolan ini kok semakin ndak jelas.

“Trus kesimpulane opo Kang?” Tanya saya.

“Lho, kamu kok nanya kesimpulan…? Kang Noyo balik nanya.

“Ndak usah kesimpulan, pertama kasihan sama kapasitas otakmu, yang kedua, bagi buruh pabrik macem kita masalah ini ndak urgen sama sekali, trus ketiga…”

“Ya saya tahu Kang, level obrolan, ini cuma level obrolan warung kopi…”

Jiyan!

1 comments on “Kapasitas dan Urgensi di Level Warung Kopi

  1. […] Asyem… kok rasanya beliau ini lagi nyindir saya… […]

Tinggalkan komentar