Hargailah Sebuah Nama

Orang kulon kali sana pernah bilang, ”We only see what we wanted to see.” Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, karena konon katanya melihat sebenarnya lebih merupakan pekerjaan otak. Mata hanya berfungsi untuk menangkap gambar, sedangkan yang memaknai gambar tersebut adalah otak. Dalam proses pemaknaan tadi hasil yang diperoleh akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan. Maka sangat mungkin terjadi, sesuatu yang sama bisa terlihat sama sekali berbeda, tergantung pengalaman dan tingkat pengetahuan.

”Kesambet opo kowe Le?” Jujur, saya ndak pernah menyangka saya bisa kangen suara itu, salah satu orang paling skeptis dan nyinyir sekaligus perokok yang paling memberatkan teman yang pernah saya kenal, Kang Noyo.

Jadi ceritanya, setelah sekian lama akhirnya saya berhasil menyelesaikan buku profil pabrik yang ditugaskan juragan ke saya. Buku yang ndak selesai-selesai karena saya selalu mikir apa yang harus ditulis dan bagaimana cara menulisnya, padahal buku takkan pernah selesai dengan dipikir, harus ditulis. Dengan selesainya buku itu, saya berharap bisa seperti dulu, menghabiskan waktu ndlahom sambil menyesap nuansa di warung Mbok Darmi.

Melihat status-status di facebook, bantah-bantahan di twitter, tulisan nyinyir di sana sini, mau ndak mau saya teringat pilpres tahun 2014 lalu. Mungkin serupa tapi ndak sama, atau sama tapi ndak serupa, tapi pokoknya mirip. Unfriend dan unfollow balik jadi trend lagi. Untungnya di grup whatsapp yang saya ikuti adem-adem saja, dan itu cukup membuat saya merasa beruntung karena teman sebelah habis nyetatus dia keluar dari 10 grup gara-gara pilkada DKI kali ini.

”Trus kamu mendukung yang mana?” Tanya Kang Noyo lagi, tentu setelah mengambil dua batang rokok saya, satu dinyalakan, satu masuk kantung. Selalu ndak cukup satu, harus ada cadangan, masih seperti dulu.

Lha ini, mendukung yang mana? Pertanyaan yang sungguh ajaib, mengingat saya bukanlah penduduk Jakarta. Dan memang sungguh ajaib, di tempat yang jauhnya ndak kira-kira dari tugu monas ini, tiap hari saya harus sarapan, makan siang, dan makan malam segala status dan berita nyinyir baik dari pihak sini maupun pihak sana. Ada beberapa yang mengangkat berita baik dari kubunya tanpa berusaha menjatuhkan kubu satunya, tapi rata-rata ada unsur nyinyirnya, atau bahkan seringkali isi beritanya hanya nyinyiran tanpa ada berita bagusnya. Capek hati juga kadang bacanya.

Saya ndak mau mbahas tentang toleran dan intoleran, kasian otak pas-pasan saya yang kapasitasnya cuma sebatas mikir kerjaan pabrik. Pun saya ndak mampu membahas apakah Tuhan perlu dibela, sama ndak mampunya saya membahas apakah memilih jadi cicak atau semut, apakah saya punya ghirah, ataukah saya seorang munafik. Sudah cukup berat untuk berpura-pura bahagia, ndak perlu ditambah pura-pura jadi ahli tafsir.

Seringnya malah saya berpikir sudah ndak perlu lagi kita bermain dialektika, ndak bakal ketemu. Saya mungkin ndak cukup mampu untuk melihat yang sampeyan lihat, sama halnya mungkin sampeyan ndak bisa melihat apa yang saya lihat. Dan celakanya, kadang bukan sekedar ndak mampu, tapi memang bener-bener ndak mau.

Dulu mungkin saya dan sampeyan berpikiran sama saat melihat seorang George W. Bush bilang, “Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists.” Ediyan! Ini orang kok begini amat, mosok seisi dunia ini isinya cuma dua macem, kalo ndak masuk golongan sini berarti situ golongan sana. Eh, sekarang kita melakukan hal yang sama.

”Jadi menurutmu A Hoax menistakan agama opo ndak?”

Lha ini, ini adalah salah satu hal yang saya perhatikan beberapa waktu terakhir, pemlesetan nama.

Silakan sampeyan simak penuturan orang-orang itu, baik yang di kubu sini maupun kubu sana. Begitu entengnya mereka memlesetkan nama. Mulai Jokowi, Ahok, sampai Felix Siauw dan Yusuf Mansyur mereka plesetkan sesuai tingkat kekesalan hati mereka. Dan yang memlesetkan nama ini bukan cuma orang awam, yang ditokohkan dan dipandang berilmu pun kadang melakukannya.

Pemlesetan nama bagi saya adalah bentuk bully, cara rendahan untuk merendahkan derajat orang lain. Dan saya heran, apakah mereka berpikir dengan melakukan perendahan semacam itu bisa membuat derajat mereka naik? Atau mungkinkah mereka berpikir itu bisa membuat derajat seseorang yang mereka rendahkan jadi turun?

”Halah wong cuma gitu aja kok” Kata Kang Noyo.

Ya mungkin memang cuma gitu aja. Seperti orang kulon kali tadi bilang, orang hanya melihat sesuatu yang memang ingin dia lihat. Bisa jadi yang terlihat sama saya ndak terlihat sama Kang Noyo, atau sebaliknya. Memang akan terlalu vulgar kalo menilai seseorang hanya dari perilakunya memlesetkan nama, tapi satu perilaku yang ndak pas bisa membuat saya terpancing untuk meragukan tabiatnya yang lain.

Bagi yang punya anak, pasti pernah merasakan betapa merumuskan sebuah nama bukanlah pekerjaan sepele. Sebuah nama harus terlihat elegan, memiliki arti yang baik, tanpa harus membuat si anak gagal ujian gara-gara kelamaan menebalkan bulatan dengan pensil 2b di lembar jawaban komputer.

Monggo saja kalo sampeyan mau memlesetkan sebuah nama, tapi seharusnya itu dilakukan bukan demi memuaskan syahwat sampeyan. Silakan lakukan kalo dengan itu bisa lebih mengakrabkan atas nama persahabatan, dengan keridhoan yang punya nama tentu saja. Lebih afdhol lagi kalo sampeyan siapkan bubur merah putih buat syukuran.

”Kalo kayak kamu ini, memlesetkan nama sendiri, gimana?”

Lho kan, ini kan…

Jiyan!

5 comments on “Hargailah Sebuah Nama

  1. nunik99 berkata:

    Selalu suka dengan tulisan pakdhe yang satu ini.. Btw kapan bisa ngopi2 bareng mas noyo?

  2. Warm berkata:

    Saya setuju sama kang Noyo, pokmen

  3. Mesin oven berkata:

    nama dikasih pasti ada maksud tertentu

Tinggalkan komentar