Membumi

Sampeyan pernah mendengar nama Dolores Jane Umbridge? Dia adalah salah satu karakter fiksi yang ada di novel Harry Potter karangan J.K. Rowling. Umbrigde ini mengajar di sekolah sihir Hogwarts sebagai Guru Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, selain itu juga menjabat Inkuisitor Agung Hogwarts, sebelum akhirnya menjadi kepala sekolah.

Jamannya Umbridge di Hogwarts adalah jaman penuh kekerasan bagi murid-murid di sana, terutama bagi murid non Slytherin. Mungkin dalam istilah sekarang bisa disebut bullying yang dilakukan secara masif dan terstruktur. Dan sampeyan boleh percaya boleh ndak, tokoh Umbridge ini lebih dibenci oleh kebanyakan penggemar Harry Potter daripada karakter antagonis utama, Lord Voldemort.

Kenapa? Konon katanya, bagi kebanyakan orang, kejahatan yang dilakukan oleh Dolores Umbridge ini lebih membumi.

Bagi saya, mungkin juga buat sampeyan, kejahatan membunuh orang dengan kalimat “avada kedavra” kurang terasa menakutkan. It’s so unreal, sesuatu yang ada di awang-awang. Tapi disetrap guru, dibully senior, merasa terancam dengan berbagai macam peraturan, adalah hal-hal yang mungkin pernah sampeyan rasakan. Itulah yang membuat Dolores Umbridge terlihat lebih jahat dibanding Lord Voldemort. Orang lebih dapet feel-nya saat cerita itu menyerupai, atau minimal mendekati pengalaman pribadinya.

Konon pula hal ini yang membuat beberapa orang merasa lebih salut saat Ahok (yang dalam tanda kutip berasal dari golongan minoritas serta lebih rentan ancaman) mengaku siap mati, bahkan juga siap apabila anak dan istrinya dibunuh oleh orang-orang yang ndak suka sama dia. Dibandingkan ungkapan siap mati dalam rangka menumpas kejahatan yang diteriakkan oleh orang-orang tertentu dari golongan mayoritas.

Saat sampeyan menang jumlah dan kekuatan, ungkapan siap mati itu rasanya cuma di awang-awang. Gampang diucapkan karena ya itu tadi, it’s so unreal… ndak ada serem-seremnya.

Begitu juga saat sampeyan pengen menulis sebuah cerita, horor misalnya, sesuatu yang mendekati kenyataan serta menyentuh kehidupan sehari-hari akan terasa lebih menakutkan.

Ambil contoh misalnya,

Sudah kepalang tanggung, kami berlima sudah terlanjur masuk ke dalam kastil. Sekilas saya melihat sosok berjubah hitam melesat melalui pintu. Dengan setengah gemeteran saya beranikan diri melompat ke ruangan itu, dan benar saja, sosok drakula dengan senyum dingin telah menanti di ujung sana.

Kastil, drakula, jauh bener mas, Mbok Darmi paling cuma melongo kalo sampeyan ceritakan. Terlalu jauh dari kemungkinan hal itu akan dialami orang-orang kampung sini.

Beda misalnya,

Paling males malem hujan rintik begini lewat kuburan. Apalagi kuburan kembar kayak yang di sebelah perumahan Widya Gama ini, komplek kuburannya ada di sebelah kanan dan kiri jalan. Hujan rintik artinya jalanan akan sepi, yang berarti juga ndak ada lampu kendaraan lain yang bisa saya pake untuk mengalihkan pandangan saya dari sedikit tanah kosong di pojok kuburan itu, yang gelapnya ndak ketulungan. Sabtu kemarin Mbak Sri dibunuh di situ.

Bagi saya contoh kedua lebih terasa horornya, karena terasa lebih nyata, paling ndak buat saya yang dalam seminggu pasti beberapa kali melewati komplek kuburan dalam cerita itu.

Tapi ya itu tadi, pada akhirnya semua akan balik ke persepsi yang baca. Saya termasuk orang yang percaya bahwa tulisan itu cocok-cocokan, cocok bagi sebagian orang, dan ndak cocok bagi sebagian yang lain. Saat saya ndak mudheng akan isi sebuah tulisan, saya kan mundur teratur sambil bilang, “Tulisan ini bukan buat saya.”

Walaupun saya percaya, pembaca yang lain mungkin paham maksudnya, paling ndak penulisnya pasti paham.

Jadi kesimpulannya?

Nah itulah, karena tulisan ini dibuat sambil lalu, tanpa draft sama sekali, jadinya saya bingung kok isinya cuma ngalor ngidul gak jelas.

Tapi kalo boleh saya simpulkan (ya boleh lah, wong ini blog saya sendiri, tulisan saya sendiri), pengalaman dan latar belakang masing-masing orang yang sangat beragam akan membuat standard “membumi” itu juga menjadi beraneka ragam.

Mungkin saya memang ndak akan pernah tau pasti standard tulisan yang membumi bagi orang lain, tapi paling ndak saya tahu standard saya. Sampeyan juga kan?

Jadi, mari menulis sesuatu yang membumi, tentu saja, membumi sesuai standard kita sendiri.

4 comments on “Membumi

  1. warm berkata:

    membumi mungkin ekuivalen dengan mainstream
    sayangnya, saya justru tak begitu terkesan dengan sesuatu yg mainstream
    oke dibalik, saya kadang lebih terkesan dengan orang yg berani anti-mainstream
    toh itu membuat bumi ini lebih berwarna jadinya

    apalagi terkait persepsi, ya tiap orang punyanya beda, walaupun ada term : menyamakan persepsi, tetep tak bisa sama plek

    jadi saya ini barusan ngomong opo? 😐

  2. potrehkoneng berkata:

    megang banged

  3. Kimi berkata:

    Bagi saya tulisan yang membumi adalah tulisan yang bisa saya pahami. Tulisannya tidak dipenuhi dengan jargon-jargon yang hanya dia sendiri yang paham dan terasa asing bagi orang awam. Ya kira-kira begitulah…

  4. Penari Hujan berkata:

    ikutan mbak chopi. “megang banget”

Tinggalkan komentar