Kekerasan yang Lembut

Kalo misalnya di rumah tetangga sampeyan ada suara suami istri lagi berantem, adu kenceng teriak lantas ditutup dengan suara banting-bantingan piring, besoknya sampeyan liat mata kiri sang istri biru lebam, apa yang akan sampeyan lakukan?

“Pura-pura ndak liat Le, mosok ya aku nglabrak suaminya. Itu kan urusan rumah tangga orang.” Kata Kang Noyo sambil klecap-klecep nyruput kopi seribuannya Mbok Darmi. Sore tadi saya sengaja ndak mbawa rokok, jengkel sama temen saya yang ndak pernah mau ngerti, rokok selalu saja ndak modal. Kalo tanggal muda sih ndak papa, lha sekarang sudah tanggal tua renta bau tanah.

“Kalo misalnya kejadian itu berlanjut piye Kang? Tiap hari perang terus? Opo ndak terusik pikiran Sampeyan?” Tanya saya.

“Yo paling lapor Pak RT.” Ujar Kang Noyo.

Masalah seperti ini memang repot, kekerasan dalam rumah tangga seringkali berlangsung terus menerus tanpa ada pihak yang bisa menengahi. Tetangga mau cawe-cawe ya ndak enak wong itu urusan dalam negeri, bahkan kadang korban KDRT juga seperti ndak rela kalo ada orang yang ikut campur.

“Mosok tho Le?” Tanya Kang Noyo ndak percaya.

“Tenan iki Kang, pernah ada kejadian orang tua sang istri bermaksud menengahi tapi sang istri malah mbela si suami. Brarti secara ndak langsung dia ndak mau ada orang ikut campur tho?” Kata saya.

“Pendekatannya yang ndak pas mungkin.” Komentar Kang Noyo.

Bisa jadi memang pendekatannya yang ndak pas, atau bisa jadi kondisi psikologis pasangan tersebut memang sudah ndak normal. Jelas ada sesuatu yang salah tho kalo seseorang bisa melakukan tindak kekerasan pada seseorang yang dulu pernah dia puja-puja dan kagumi setengah mati, apalagi kalo kekerasan itu dilakukan secara sadar dan berkelanjutan.

“Ngomong-ngomong kalo misalnya Sampeyan melihat istri tetangga sebelah tiap hari dikasari dan Sampeyan diam saja itu salah lho Kang.” Kata saya.

Dalam Pasal 15 Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan, tiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk :

  1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
  2. Memberikan perlindungan kepada korban
  3. Memberikan pertolongan darurat; dan
  4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan

Dalam undang-undang itu juga disebutkan jenis-jenis kekerasan yang dilarang dalam rumah tangga, diantaranya meliputi : kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Sudah tentu ada konsekuensi pidananya.

Di antara beberapa jenis kekerasan itu, seringkali yang kurang bisa terdeteksi adalah kekerasan psikis. Padahal teror mental yang dilakukan dengan perlakuan dan kata-kata yang bersifat menindas sebenernya juga ndak kalah sadis dibanding kekerasan yang dilakukan secara fisik.

Lebih celaka lagi kalo ternyata orang yang mengalami kekerasan psikis ternyata mempunyai latar belakang yang ndak gitu bagus, misalnya tidak mengenyam pendidikan yang memadai, bukan berasal dari keluarga yang taat beragama, atau mungkin tidak berada di lingkungan yang bisa mendukung, membuatnya tahan banting dan selalu berpikiran positif.

Akibatnya muncullah kejadian seperti karangan saya kemaren, seorang ibu yang ndak kuat mental karena sering mengalami kekerasan psikis akhirnya mengambil jalan pintas dengan cara bunuh diri setelah sebelumnya membunuh anak-anaknya. Kejadian seperti itu nyata adanya, kalo ndak percaya silakan sampeyan tanya Paklik Gugel.

“Sik tho Le, kekerasan seksual itu termasuk kategori yang dilarang juga?” Kang Noyo menyela.

“Iya Kang, itu diatur di pasal 8 Undang-undang KDRT.” Cetus saya.

Kang Noyo manggut-manggut, “Kok aneh yo Le, padahal untuk melakukan aktivitas seksual kaum lelaki memang butuh kekerasan…”

Jiyan!

This entry was posted in Ndobos and tagged .

29 comments on “Kekerasan yang Lembut

  1. […] This post was mentioned on Twitter by mangkum, mas stein. mas stein said: Kekerasan yang Lembut: http://wp.me/ppZ5c-rV […]

  2. Chic berkata:

    kalimat terakhir ambigu banget 😆 😆

    #stein:
    ambigu piye tho? itu kan jelas :mrgreen:

  3. mawi wijna berkata:

    lha mosok kalao liyat tetangga keluar rumah berdarah-darah malah didiemin? ndak manusiawi banget,

    saya juga jadi garuk2 kepala di kalimat terakhir 😀

    #stein:
    ndak sampe berdarah-darah kok mas, cuma benjut-benjut 😆

  4. nana berkata:

    ohhh.
    jiyan.. lanjutanny opo mas?

    #stein:
    sampeyan masih mau lanjut tho?

  5. Asop berkata:

    Saya ngakak mbaca kalimat terakhir. 😆
    Emangnya ga bisa laki2 melakukan-“nya” dengan lembut? :mrgreen:

    #stein:
    tentu bisa, nanti kalo sampeyan sudah kawin nikah saya kasih tau

  6. hitamputih berkata:

    saya adalah laki2 yang tidak suka kekerasan,saya lebih suka kekenyalan …Huh..

    #stein:
    halah! :mrgreen:

  7. ardee berkata:

    kalo dah kekerasan fisik, tetangga2 harusnya jangan sungkan2 utk menengahi… kasian kan si korban

    #stein:
    kadang ndak cuma sungkan, bisa jadi takut, lha suaminya serem 😆

  8. Dewa Bantal berkata:

    Aku masih gak habis pikir opo maksude mas noyo di kalimat terakhir itu…

    Cowok untuk beraktifitas seksual membutuhkan kekerasan? … aku baru tau kalo kang noyo itu golongan S … @_@

    #stein:
    komen gak jelas, S itu apa?

  9. Dewa Bantal berkata:

    Dan Oh… ini kayaknya judulnya gak pas deh. Mungkin lebih cocok Kekerasan Yang Menggairahkan piye? WAKAKAKA!

    #stein:
    welhadalah! ini tentang kekerasan! dasar sampeyan ini ngeres… 😈

  10. adipati kademangan berkata:

    Meski kekerasan termasuk urusan dalam negeri tapi kalau sudah ke arah kekerasan fisik ya saya turun tangan mas. Untuk kekerasan psikis kadang saya hanya bisa melerai kekerasan dengan alasan berisik, saya mau tidur.

    Menurut saya kekerasan dalam rumah tangga itu hanya satu yang diperbolehkan, yaitu kekerasan seksual. Kalau tidak keras … terusno dhewe

    #stein:
    kalo tidak keras ya dikeraskan dulu tho om :mrgreen:

  11. hamidah berkata:

    saya juga pernah baca artikel tentang KDRT di blog bangaip.org. akan tetapi memang akan sangat sulit bagi orang luar untuk masuk ke ‘dalam’ kecuali memang salah satu pihak sudah mengajak orang lain untuk ‘masuk’.
    halah komentarku malah tambah ambigu. saya ngomentarin paragraf2 yang di atas yaaa bukan paragraf yang terakhir.

    salam kenal, saya tau blog ini dr mukabantal.com.

    #stein:
    saya juga baru tau blog jelek saya ini diripiu di mukabantal, terima kasih! *menjura kepada mas mukabantal*

  12. delia berkata:

    wekekeke…..tulisan terakhir cuma bisa dibalas dengan 😆 😆

    dr blog muka bantal

    #stein:
    … 😆

  13. orange float berkata:

    maksud tulisan paragraf terakhir itu apa ya mas….???? *masih 17 tahun* 😆

    #stein:
    saya sendiri juga ndak gitu paham

  14. nDaru berkata:

    Saya jadi ngimpi pengin menjabat jadi Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.Kalok sudah jadi mentri itu, saya pengin membuat sebuah biro propaganda, nanti tugas biro propaganda ini adalah mengajak semuwa wanita di Indonesia ini, agar mampu berdaya dan punyak bargaining position yang sama ketika di rumah tangga, jadi istri2 di republik ini endak cumak hidup dibawah ketiak suwami saja, tapi juga mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai Ibu Rumah Tangga,yang memang bisa nyambi kerja ya silakan kerja, tapi yang memang nganggur di rumah dan ngasuh anak, ya ngasuhlah yang baek dan jadi ibu rumah tangga yang yahuud.Kalok perlu biro ini jugak mbikin kontes Ibu Rumah Tangga Teladan Se-asia tenggara misalnya…Na kalok wanita2 ini terdidik dan terberdayakan, sepertinya KDRT bisa kita kikis

    #stein:
    salah satu yang harus dilakukan adalah memperluas wawasan, biar tau bahwa setiap orang berhak mendapat perlakuan terhormat. wong kadang ada orang yang pasrah karena menganggap dirinya memang layak ditindas

  15. html1155 berkata:

    izin berkunjung mas

    salam kenal

    #stein:
    sampeyan tentara yo mas? berkunjung saja kok pake ijin 😆

  16. yimz berkata:

    yang terakhir terasa dipaksakan Kang. biar bisa berakhir “jiyan”? hehehe

    #stein:
    jiyan! 😆

    asline ono satu paragrap lagi di situ cak, tak hapus soale kok ketok metuwek

  17. Vicky Laurentina berkata:

    Saya sedih kalo liat perempuan jadi korban KDRT dan ndak mau ditolong. Kesannya kok ndak punya harga diri banget.. 😦

    Eh, tapi saya jadi penasaran, Mas Stein, apakah panjenengan juga sering melakukan “kekerasan” seksual? 😀

    #stein:
    itu bukannya masuk KDRT? *eh*

  18. warm berkata:

    pandangan yg bijak soal KDRT,
    memang di satu sisi, itu urusana orang lain
    di sisi lainnya, sebagai tetangga ga bisa tinggal diam ya

    musti belajar lebih banyak sama sampeyan soal urusan serius gini, nih

    #stein:
    saya? serius? guyon sampeyan ini…

  19. itikkecil berkata:

    kekerasan?
    kalau berdasarkan undang-undang tersebut, kekerasan seksual termasuk marital rape dilarang.
    tapi masalahnya, kultur di sini beranggapan kalau istri harus selalu siap melayani suami kapanpun. jadi agak susah juga kalau mau melaporkan marital rape ke polisi misalnya.

    #stein:
    selalu ada yang pertama untuk segalanya tho mbak, paling ndak pemerintah sudah tanggap dengan memuatnya dalam sebuah undang-undang

  20. devieriana berkata:

    aku mbaca awalnya serius lho mas..
    Pas mbaca endingnya lha kok.. 😀 :mregreen:
    *nyengir dewe*

    #stein:
    jadi sampeyan pendukung kekerasan? :mrgreen:

  21. ossmed berkata:

    suka ama judulnya.. kekerasan yang lembut, hehehe

    mampir dulu
    penyakit GO:yang menular melalui hubungan seksual

    #stein:
    yang mau jadi raja, monggo mampir… 😆

  22. lekdjie berkata:

    Aneh ya,orang yg dulunya dipuja puji setengah hidup kok sehabis nikah bisa dikamplengi…dgn sadar lagi…walah,jiyan…

    (Satuhatikitasemestinya-dewa19arilasso)

    #stein:
    semestinya memang satu hati Lek

  23. nengratna berkata:

    memberi tugas pekerjaan rumah melebihi kapasitas siswa adalah sebuah kekerasan yang lembut

    #stein:
    dan sadis itu mbak 😆

  24. RyZack berkata:

    Pernah saya mendengar teriakan sepasang suami istri yang mengganggu disaat sedang terlelap, ingin sekali saya berteriak mengalahkan teriakan mereka yang bertengkar karena waktu istirahat saya terganggu. Mau melerai rasanya sulit, takutnya mencampuri urusan orang lain. Malam itu pun saya terpaksa bersabar menjadi pendengar setia teriakan mereka, karena mau melerai juga rasanya sulit, selama gak ada tindak kekerasan saya gak akan ikut bertindak. *paling gak mau mencampuri urusan orang lain padahal kita padahal kita yang berada disekitarnya merasa terganggu* 😦

    #stein:
    mungkin enaknya sampeyan ngomong, maap mas mbak, bisa dipelanin gak suaranya :mrgreen:

  25. Riri Yamachan berkata:

    Buat muda-mudi yang belum nikah kayak saya, tulisan ini benar-benar bagus untuk dijadikan pelajaran. Duh, jangan sampai kayak gitu deh… yang terakhir itu juga… 😀

    #stein:
    memang sampeyan masih muda mbak? *curiga*

  26. zee berkata:

    Hahahhaaa…. hueh ini cerita dengan humor segar.
    Anyway mas, kalau ada kekerasan di samping kita, biarpun hanya sekali kita lihat kita harus laporkan ke RT. Memang wajib, karena kekerasan bisa mengakibatkan hilang nyawa loh.

    #stein:
    sepakat, kalo ada apa-apa nanti ikut nyesel

  27. chocoVanilla berkata:

    Waduh, nek tetanggaku ribut gitu ya mending masuk kamar, nyetel musik keras-keras soale takut anak-anak denger. Kalo gak insap-insap ya laporin Pak RT aja.

    Tak nyanyi sik ah..

    Wanita dijajah pria sejak duluuuuu
    Sejak dulu wanita dijajah priaaaaa

    #stein:
    kata siapa? banyak kok pria terjajah sekarang 😆

  28. laelah.a berkata:

    sy punya tetangga sblh rumh.satu hari teriak2 minta tolong dan keluar dng hidung berdarah.sy tanya kenapa?dy cma jawab ga apa2 dngan wajah lebam,lalu msk lagi dan kunci pintu. dy jg takut keluar rmh. tadi mlm sy dengar ribut2 dan bunyi pukul2 hanya sj tdk terdengar minta tolong. sy hrus gmana y? suami blang itu urusn orang. dan si prm tdk mw mengakui. hti sy mrasa ini tdk benar,tp sy takut jg dianggap pahlawan kesiangan…jd gimana dong? lapor pa Rt? nanti malah d siksa lg prmpnya.

Tinggalkan komentar