Jorok Itu Setan

Beberapa waktu yang lalu anak saya sendawa, atau lebih tepatnya menyendawakan diri, wong sendawanya disengaja dan diulang berkali-kali. Mungkin dia merasa itu keren, maklum anak TK. Ibunya yang mengetahui kelakuan anak saya pun menegur, “Mas Barra jorok ah, mosok sendawa disengaja.”

Jawaban anak saya lumayan mengejutkan, “Ibu, tidak boleh berkata jorok. Karena jorok itu kata-katanya setan.”

Lhadalah!

“Kata siapa?” Tanya istri saya.

“Kata Bu Guru.” Jawab anak saya mantab.

Saya langsung mesam-mesem. Terbayang waktu si guru bermaksud menyampaikan kepada anak-anak bahwa ndak boleh menggunakan kosakata yang jorok dalam percakapan, sedangkan pesan yang diterima anak-anak adalah ndak boleh menggunakan kata jorok. Mungkin juga ditambah imajinasi dua sosok makhluk berwarna merah dengan ekor dan dua tanduk di kepala sedang bercakap-cakap menggunakan kata jorok.

Saya jadi kuatir nanti bakal ada somasi dari setan kepada Bu Guru, dengan alasan telah terjadi upaya pembunuhan karakter. Sayangnya saya belum sempat ketemu sama guru yang bersangkutan, kalo ketemu ada satu hal yang ingin saya tanyakan, “Bu Guru, memang sampeyan liat di mana waktu setan ngobrol dengan kata-kata jorok?”

“Memangnya ada yang salah Le? Sudah bener tho yang diomongkan guru anakmu.” Kata Kang Noyo waktu ketemu saya di warung Mbok Darmi.

“Ndak salah Kang, kalo yang jadi lawan bicaranya saya atau sampeyan.” Jawab saya.

Saat seseorang bilang, “Tidak boleh berkata jorok, karena itu kata-katanya setan.” Saya akan langsung berpikir bahwa kata-kata jorok adalah kata-kata yang diucapkan tidak sesuai dengan tempatnya, misalnya bangsat, yang seharusnya nama binatang tapi diucapkan untuk merendahkan seseorang. Sedangkan penggunaan setan hanyalah untuk menegaskan tujuan kalimat tersebut, karena setan selalu dianalogikan untuk sesuatu yang sifatnya ndak baik. Tapi lain halnya saat yang mendengar kalimat tersebut anak TK, sangat mungkin yang terjadi adalah salah pengertian, seperti yang terjadi pada anak saya.

Secara umum komunikasi bisa diartikan sebagai proses penyampaian informasi kepada orang lain melalui simbol-simbol, tanda, atau tingkah laku. Dengan kapasitas otak buruh pabrik yang pas-pasan saya menyimpulkan bahwa komunikasi dianggap berhasil apabila pesan atau informasi yang diterima sama dengan pesan atau informasi yang disampaikan, hal itu bisa diukur dari feedback yang diberikan oleh si penerima pesan.

Seperti yang mungkin sudah sampeyan ketahui, ada lima unsur dalam komunikasi, diantaranya:

  1. Komunikator/Pengirim Pesan
  2. Komunikan/Penerima Pesan
  3. Pesan
  4. Media/Sarana Komunikasi
  5. Umpan Balik

Kalo sampeyan mau pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik, yang pertama harus dikenali dengan baik adalah si penerima pesan. Informasi yang sama bisa disampaikan dengan bermacam cara dan media tergantung siapa yang menjadi penerima.

“Kamu itu kok pasti ngelantur kalo ngomong, guru anakmu itu salahnya di mana?” Potong Kang Noyo.

Asyem! Mbok ya sekali-kali saya itu dikasih kesempatan ndobos agak panjang, biar keliatannya agak pinter gitu lho.

“Kesalahan pertama menurut saya adalah penggunaan kata yang terlalu umum Kang, jorok itu yang seperti apa kan anak-anak ndak semuanya ngerti.” Jawab saya.

Misalnya saya bilang titit, jorok ndak? Yo ndak, wong titit itu artinya kemaluan, kata benda. Kalo ada yang bilang jorok berarti sampeyan tiap hari bawa tempat sampah di selangkangan. Titit baru bisa dibilang kata jorok waktu dipake buat ngatain orang misalnya, “Dasar titit, Lu!”

Jelasnya pada saat berkomunikasi dengan anak pergunakanlah bahasa yang sederhana dan spesifik.

“Trus kesalahannya apalagi?” Tanya Kang Noyo.

“Penggunaan sosok setan Kang.” Jawab saya.

Memang ndak mudah menjelaskan kepada anak bahwa penggunaan kosakata dipengaruhi dan dibatasi oleh norma dan etika dalam masyarakat, tapi bukan berarti sampeyan boleh menutup pintu pertanyaan dengan menghadirkan sosok setan. Sudah ndak jaman lagi pengajaran yang berbasis pokoknyaTM. Memang penting mengajarkan anak pelajaran praktis, tapi yang jauh lebih penting adalah pemahaman tentang konsep yang mendasarinya.

“Halah, kamu juga sok tau.” Cetus Kang Noyo sinis.

Kok?

“Kamu bilang sosok setan cuma akal-akalan si guru karena kamu bilang dia belum pernah liat setan ngobrol pake kata-kata jorok. Memangnya kamu pernah liat setan ngobrol dengan kata-kata ndak jorok?”

Lho, kok pertanyaannya jadi begitu?

Jiyan!

*Silakan yang ingin membaca lebih lanjut tentang teknik berkomunikasi dengan anak klik di sini

10 comments on “Jorok Itu Setan

  1. Asop berkata:

    Sendawa kan gak bisa ditahan, jadi kalo sendawanya alami ya gak masalah. πŸ˜€
    Lain soal kalo disengaja, bukan masalah joroknya, tapi suaranya mengganggu. 😐

    #stein:
    saya pikir agak njijiki kok mas

  2. Vicky Laurentina berkata:

    Iya, bersendawa itu njijiki!

    Salah satu media tempat rawannya salah paham atas kata-kata adalah kolom status di Facebook/Twitter. Status orang disalahpahami coz sebenarnya orang yang membacanya bukanlah sasaran status tersebut. Makanya dalam menulis status, kita juga mesti paham siapa aja yang bakal baca status kita dan meramalkan persepsi mereka atas status kita.

    #stein:
    kok saya jadi ingetnya bahasa orang iklan, kalo sampeyan ndak paham suatu iklan berarti sampeyan memang bukan termasuk pasar yang disasar iklan tersebut πŸ˜†

  3. memang untuk menerangkan ke seorang anak tidak segampang yang kita kira,salah sedikit aja,bisa salah pemahamam,butuh kesabaran dan pemahaman akan kemapuan mencerna dari seorang anak terhadap perkataan yang kita ucapkan.

    #stein:
    tiap anak adalah pribadi yang unik, ndak bisa disamakan, kira-kira gitu tho? πŸ™‚

  4. chocoVanilla berkata:

    Mas, jorok sama saru sama gak to? :mrgreen:

    (aku kan temennya Mas Barra lhoo)

    #stein:
    lain mbak, saru itu ra pareng, kalo jorok itu menonjol. misalnya “tebing itu menjorok ke laut” :mrgreen:

  5. kafka berkata:

    sejak kapan “Malang pasuruan PP” menjadi “Menulis selayaknya berbicara” saya baru nyadar kali ini

    #stein:
    sejak saya sudah mulai apal jalan malang-pasuruan πŸ˜†

  6. mandor tempe berkata:

    Naah iki, anak TK langsung disuguhi definisi, spesifik, komunikasi .. langsung mumet. Saya kan juga masih TK

    #stein:
    apalagi saya, malah luwih mumet πŸ˜†

  7. rully berkata:

    jadi si guru harusnya ngomong gimana donk?
    “Anak-anak, kalo bicara, jangan pake kata ban**at, baj***an, dan lain-lain”. jangan-jangan, anak-anak didik guru itu akan berpikir kalo kata “dan lain-lain” itu tidak boleh dibicarakan hehehehe….
    komunikasi dengan anak memang susah susah gampang. harus lugas, dan riil.

    #stein:
    siapa bilang ndak boleh make kata bangsat atau bajingan? selama kata-kata dipergunakan sesuai konteks ndak masalah tho mbak. biasanya bukan kata-kata yang bermasalah, tapi penempatannya yang ndak pas.

    • rully berkata:

      bajingan itu sakjane penyebutan dari supir pedati sapi (kalo gak salah ya…). tapi kok bisa jadi kata yang kasar gitu yak..

      #stein:
      mungkin berawal dari penempatan pada konteks yang salah dan berujung pada perubahan makna yang lebih rendah daripada aslinya, peyoratif jenenge yo mbak? πŸ˜† *jawaban kemeruh*

  8. mawi wijna berkata:

    1. Tentang Sendawa. Sebenarnya saya juga nggak suka sendawa. Kalau ada orang yang bersendawa kesannya jorok. Tapi toh saya pernah merasakan benar-benar butuh bersendawa Kang.

    Saya pernah masuk angin dan saya coba untuk menahan untuk tidak buang angin dan sendawa. Yang terjadi, saya cegukan dan disusul muntah-muntah. Wedalah, mending saya sendawa kalau gitu. >.<

    #stein:
    sendawa itu ndak jorok kok, asal penempatannya pas

    2. Kata-kata jorok. Yang ini pun jelas masih memicu perdebatan. Jorok menurut saya relatif menurut sampeyan, demikian juga sebaliknya. Untuk anak TK yang masih berkutat di dunia hitam dan putih, yaah…mungkin bisa dibuat daftar "Ini lho kata-kata jorok, jangan diucapkan yah!" πŸ˜€

    #stein:
    menurut saya sih sama saja, jorok ndak jorok itu tergantung penempatan πŸ˜€

Tinggalkan komentar