Ada Apa di Balik Penghentian Film Impor?

….yang dipermasalahkan adalah: sejak Januari 2011 ini ada aturan dan penafsiran baru Direktorat Jenderal Bea Cukai atas UU/Peraturan tentang pajak bea masuk yang lama, yang diberlakukan per Januari 2011, yakni “BEA MASUK ATAS HAK DISTRIBUSI” YANG TIDAK LAZIM DAN TIDAK PERNAH ADA DALAM PRAKTIK BISNIS FILM DI SELURUH DUNIA!

Kutipan di atas saya ambil dari salah satu forum di Kaskus, tulisan aslinya konon dibikin sama Noorca M Massardi, juru bicara cineplex 21, menganggapi pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi yang konon baru diberlakukan per Januari 2011. Di forum tersebut juga sekaligus ada ajakan untuk bergabung dengan gerakan di facebook untuk menentang pemberlakuan bea masuk atas hak distribusi pilem impor.

Pinter banget si Noorca menulis berbagai macem alesan untuk memberikan kesan bahwa pemerintah, Bea Cukai dan Pajak khususnya, telah mendzolimi importir pilem dan pengusaha bioskop. Mulai dari cerita soal pajak-pajak yang telah dibayar, belum cukupnya produksi pilem nasional, sampe dengan nasib ribuan orang yang mburuh di cineplex 21.

Lebih celaka lagi beberapa media menulis bahwa peraturan ini konon dibikin setelah presiden SBY mendengar curhatan salah seorang sutradara muda Indonesia yang mengeluh bahwa pajak yang harus dibayar oleh importir pilem jauh lebih murah daripada pajak yang harus dibayar oleh produsen pilem nasional.

Klop sudah, sehingga rakyat menyimpulkan bahwa setelah presiden mendengar adanya ketidakadilan dalam pengenaan pajak antara pilem nasional dan pilem impor maka diperintahkanlah aparat Bea Cukai dan Pajak untuk mbikin aturan baru tentang pengenaan bea masuk atas hak distribusi pilem impor serta pengenaan royalti yang memberatkan importir pilem dengan tujuan meningkatkan daya saing produsen pilem lokal.

“Kamu kok jadi ribut ngurusi pilem hollywood tho Le? Wong nonton ke 21 juga belum tentu setaun sekali.” Kata Kang Noyo di sela-sela acara makan siang di warung sebelah pabrik.

Asyem!

Saya sebenernya ndak terlalu peduli apakah pilem hollywood mau tetep tayang atau distop peredarannya, karena seperti kata Kang Noyo, saya bukan termasuk penghobi nonton bioskop. Seringnya minder liat mbak-mbak sama mas-mas yang modis dan gawul di bioskop 21, maklum ndeso. Tapi saya mangkel dengan pernyataan beberapa pihak yang seperti mengadu domba antara rakyat (penikmat pilem-pilem hollywood khususnya) dengan pemerintah.

Untungnya masih ada orang-orang seperti Deddy Mizwar yang dengan lantang mengatakan bahwa semua kehebohan ini berawal dari ketidakpatuhan importir pilem dalam membayar pajak sesuai aturan. Aktor dan sutradara senior ini mengatakan “Saya jadi bingung dengan MPA (Motion Picture Association), kalau enggak mau masukin pilem kenapa jadi heboh. Padahal mereka tidak mau bayar pajak secara benar dan wajar.”

Jadi kalo digambarkan dalam bahasa sederhana cerita di balik semua kehebohan ini adalah sebagai berikut:

Kewajiban perpajakan kita menganut self assesment, artinya pajak dibayar sesuai itungan si pembayar pajak, dalam hal ini importir pilem. Selama ini importir pilem mengatakan kalo harga pilem yang mereka impor cuma Rp 1.000, dengan tarif bea masuk 10%, PPN Impor 10%, dan PPh Pasal 22 2,5% maka total pajek yang harus mereka bayar adalah Rp 225.

Setelah diperiksa sama Bea Cukai akhirnya ketahuan bahwa sebenernya harga pilem mereka ini bukan Rp 1.000 tapi Rp 15.000, sehingga pajak yang seharusnya mereka bayar Rp 3.375. Sesuai dengan ketentuan mereka juga harus membayar denda atas kecurangan mereka selama ini, denda ini menurut ketentuan Bea Cukai bisa mencapai antara 100% sampe dengan 1.000%.

Silakan sampeyan itung kalo angka Rp 1.000 yang saya tulis di atas nolnya ditambah. Berapa yang harus mereka bayar?

Maka berkicaulah mereka di media bahwa pemerintah telah berlaku sewenang-wenang. Dimana sewenang-wenangnya? Tarifnya lho ndak berubah. Yang berbeda di sini adalah mereka dulunya nilep pajak dan ndak pernah ketauan, sekarang terbongkar!

Mereka beralasan bahwa penghitungan nilai pilem yang diimpor dengan memasukkan nilai hak distribusi di dalamnya hanya ada di Indonesia.

Jangan mau dibohongi sodara-sodara, aturan ini berlaku secara umum di dunia, monggo dicek di situsnya WTO yang mengatur tentang penghitungan nilai barang oleh bea cukai. Itu aturan lama yang sudah diadaptasi oleh bea cukai kita. Importir pilem selama ini hanya memasukkan nilai media pilemnya, padahal yang mereka bayar ke bule-bule di LA sana bukan cuma itu tho?

Sah-sah saja kalo sampeyan ngedumel karena menghadapi kemungkinan bakal cuma disuguhi pilem-pilem berbau horor yang cenderung esek-esek, tapi jangan sampe sampeyan mau diperalat sama orang yang sedang berusaha menghindari kewajiban mbayar pajak.

“Menurut sampeyan piye Kang?” Tanya saya pada Kang Noyo yang dari tadi cuma manggut-manggut ndak jelas.

“Terserah wae lah, pokoknya selama yang jualan pilem di pojokan alun-alun itu ndak kegusur.”

“Ealah…”

Jiyan!

14 comments on “Ada Apa di Balik Penghentian Film Impor?

  1. Vicky Laurentina berkata:

    Saya rasa solusinya gampang, Mas. Bikin perusahaan bioskop baru dengan nama baru, dan mulailah mengimpor film dengan membayar pajak yang benar.

    Eh, itu namanya ngajakin para penilep pajak buat ganti baju ya?

    *kabur*

  2. deteksi berkata:

    saya sangat setuju dengan pemerintah. enak aja ngeruk bathi sak ndayak tapi gak gelem bayar pajek. dengkule kui!

  3. Ferry ZK berkata:

    Nek lawan koboy kang biasanya jarang menang, lha wong mereka pake bedhil kita cuma pake ketapel, hampir semua media mereka kuasai, benar atau salah kan tergantung bagaimana media menggiring opini publik dan menjejalkannya sesering mungkin, cari pengamat binti narasumber yang sesuai agenda lalu labeli mereka dengan istilah keren dan glamor beres deh urusan hehehe jaman dah edan koq ya masih aja dimonopoli MPA…

    Pelem-pelem hutan suci selain untuk mengeruk laba dari ceruk pasar yang besar di indon ini juga merupakan sarana kendaraan mereka dalam program perubahan budaya dan kultur sosial sesuai agenda mereka…

  4. ndaru berkata:

    Jadi yang jahat siapa?

  5. suwung berkata:

    lha itu baru bener… mosok dalam negeri dipajeki luar kagak

  6. chocoVanilla berkata:

    Iya siiiyy, tapi kan Harry Potter nya masih setengah lagi? Trus piye iki… šŸ˜¦

  7. hajarabis berkata:

    nice..
    sempatkan mengunjungi website kami http://www.hajarabis.com
    sukses selalu!

  8. ferry berkata:

    nice posting,
    thanks for sharing… ^^

  9. Wah, begitu to cerita aslinya. TRims yo, kang.

  10. yuduto berkata:

    bagus bro ulasannya…sebenarnya gak ada yang baru mengenai bea masuk atas impor film ini, yang namanya nilai impor itu ya semua biaya yang diminta oleh penjual atau produsen di luar negeri termasuk kalo ada royalti atas hak ataupun keunikan suatu produk. Selama ini yang dihitung baru nilai copy film, untuk royalti belum dimasukkan dalam perhitungan nilai impor.

    emang orang-orang importir film ini pada lebay aja, memprovokasi masyarakat supaya mendukung mereka..

  11. cuk berkata:

    haha oke lah kalau bicara masalah pajak dan kalian salut sama pemerintah cuma emang tar pajak tu ujung2nya sapa yang nikmatin?kalian pikir kenapa banyak wp (wajib pajak) yang berusaha melakukan tax avoidance sebisa mungkin karena pemanfaatan pajak sendiri masih banyak yg bocor bung dan anda bisa liat sendiri lah realitanya.sementara pajak gencar2nya berusaha menaikkan pendapatan timbal baliknya yang riil apa coba?klo film impor sekarang siapa yang mau nonton film indonesia bung?no offence,film kaya arwah goyang,kuntilanak kerasukan,dan setan2 yang lain??halloo kalian mau buang duit 15-25 k buat nonton film ginian??perbaiki dulu deh kualitas filmnya jangan menyalahkan film impor yang memang secara rata2 kualitasnya jauh lebih baik,sangat disayangkan era perfilman indonesia yang sempat menanjak di era AADC sampai daun di atas bantal diganti film2 ga bermutu

    #stein:
    jadi poin yang mau sampeyan sampekan itu apa?

  12. […] paling gampang dilakukan adalah menulis yang ndak perlu banyak mikir. Misalnya postingan saya soal kontroversi penghentian film impor, itu tulisan yang nyaris ndak perlu mikir, cukup mencomot tulisan di sana-sini, tambahi sedikit […]

Tinggalkan komentar