Sekian waktu yang lalu Kang Noyo pernah menawari saya untuk menjadi orang tua asuh. Sampeyan mungkin pernah juga pernah membaca tawaran semacam itu. Untuk SD nilainya sekian rupiah per anak, SMP sekian, SMA sekian, dan seterusnya. Saya cuma nyengir.
Ndak, saya ndak bermaksud meremehkan tawaran semacam itu. Bukan pula karena yang menawarkan adalah Kang Noyo, seorang perokok yang memberatkan teman dan penggemar kopi gratisan. Apalagi sampai ingin membelokkannya ke arah, “Bukankah itu tanggung jawabnya negara?”
Sebagai seorang jarkoni –iso ngajar ora iso nglakoni- saya membalas penawaran itu dengan sebuah usulan, “Gimana kalo dana semacam itu dikelola sendiri, Kang.”
Ambillah contoh, misalnya seperti Direktorat Jenderal Pajak. Sebuah instansi pemerintah yang memiliki ratusan kantor dengan puluhan ribu pegawai. Dalam beberapa tahun terakhir mereka rutin mengumpulkan dana dari pegawai yang berkenan. Dana itu lantas disalurkan untuk membiayai pendidikan anak-anak yang membutuhkan di sekitar lokasi kantor masing-masing. Penyalurannya bukan atas nama instansi, tentu saja, melainkan atas nama paguyuban pegawai. Baca lebih lanjut