Bea Perolehan Hak atas Bangunan Sendiri

industri3Alkisah, Mbah Suto, juragan beras dari kampung sebelah ingin mengembangkan usahanya. Ndak sekedar ingin menjadi pemasok ke luar desa, beliau berangan-angan bisa menjadi eksportir beras. Mosok kalah sama Thailand, begitu pikir Mbah Suto.

Untuk mewujudkan keinginannya itu Mbah Suto membeli sebidang tanah yang masih kosong di sebuah kawasan industri. Ndak begitu luas, cuma 1,5 hektar. *satu setengah hektar ndak luas??!* 😯

Rencananya nanti beliau mau mbikin pabrik yang bisa memproses beras dari petani, menyimpan, sampai bisa dikirimkan ke luar negeri. Sukur-sukur ngirimnya nanti bisa ke Thailand. Biar kapok kalo harga di tingkat petani jadi jatuh, begitu pikir si Mbah. :mrgreen:

Menyadari kalau dirinya orang kampung yang kurang pengalaman, Mbah Suto membeli tanah itu melalui perantara, pokoknya Mbah Suto terima beres saja. Waktu dijelaskan kalau hak yang dimiliki tanah industri hanyalah Hak Guna Bangunan pun si Mbah mangut-manggut saja, pikir beliau waktu 25-30 tahun sudah cukup untuk membesarkan usaha berasnya.

Masalah mulai terjadi saat terjadi Perjanjian Penggunaan Tanah Industri, semacam perjanjian antara pemilik Hak Guna Bangunan sebelumnya dengan Mbah Suto di depan notaris. Oleh si perantara Mbah Suto diminta membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5% dari harga beli, dan beliau manut saja. “Pajak kan bukti darma bakti ke negara”, begitu pikir Mbah Suto.

Perjanjian Penggunaan Tanah Industri ditandatangani pada tahun 2007.

Merasa sudah beres urusannya, Mbah Suto mulai membangun pabriknya di tanah kosong itu sambil menunggu sertifikat yang katanya lagi diurus di BPN sama si perantara.

Ternyata oh ternyata, si perantara baru mendaftarkan kepemilikan tanah Mbah Suto di tahun 2009. Begitu Surat Keputusan Pemberian Hak dikeluarkan oleh BPN Mbah Suto diwajibkan untuk membayar BPHTB. Mbayar BPHTB? Saya kan sudah mbayar, batin si Mbah.

Dalam kondisi bingung datenglah Mbah Suto ke saya, “Piye tho mas? Mosok saya disuruh mbayar BPHTB lagi? Dulu kan sudah mbayar.”

Saya bilang mau liat-liat dulu aturannya, soale soal BPHTB saya juga sama ndak ngertinya seperti beliau. Dari mbaca-mbaca Undang-Undang No 20 Tahun 2000 saya jadi agak lebih pinter sedikit dibanding si Mbah. Saya jelaskan, “Makelar tanah sampeyan yang salah Mbah, seharusnya sampeyan mbayar BPHTB-nya waktu surat dari BPN keluar, bukan waktu tandatangan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri. Aturannya memang BPHTB untuk Peralihan Hak Guna Bangunan baru terutang saat Surat Keputusan Pemberian Hak ditandatangani, sementara makelar sampeyan makai pasal jual beli yang memang saat terutangnya BPHTB waktu penandatanganan akta jual beli di notaris.”

Saya jadi agak kasihan sama Mbah Suto, soale karena ngurus BPN-nya telat maka BPHTB yang harus dibayar juga mbengkak. Karena baru terutang di tahun 2009 otomatis Dasar Pengenaan BPHTB juga Nilai Jual tahun 2009, yang namanya nilai tanah kan naik terus. *ya kecuali sampeyan apes punya tanah di deket lumpur lapindo* πŸ˜†

Beberapa hari kemudian Mbah Suto dateng lagi ke saya, dengan muka makin bingung. Saya nanya, “Kenapa lagi Mbah?”

Mbah Suto menunjukkan selembar surat kepada saya, dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Mbah Suto terdaptar. “Coba sampeyan baca mas, di situ BPHTB-nya ndak cuma diitung dari nilai tanah, nilai bangunannya diitung juga. Piye tho?? Itu kan saya beli tanah kosongan, bangunan saya bikin sendiri, ada pajaknya juga waktu mbangun, mosok saya disuruh mbayar bea perolehannya juga? Bangunan itu saya ndak memperoleh, saya mbangun sendiri!” Waduh, si Mbah nesu.

Dengan agak bingung juga saya bilang sama Mbah Suto mau konsultasi dulu sama temen-temen orang pajek yang lebih ngerti soal beginian.

Dan ternyata kata temen-temen saya memang begitulah aturannya, Nilai Perolehan Objek Pajak maupun Nilai Jual Objek Pajak yang diatur di Pasal 6 Undang-undang No 20 Tahun 2000 ndak mungkin cuma dihitung nilai tanahnya tho, pasti sama bangunannya juga. “Apes saja sampeyan Mbah, harusnya jangan mbangun apa-apa dulu sebelum ada sertifikat atas nama sampeyan biar ndak ada Bea Perolehan Hak atas bangunan sendiri.” Kata saya sok menasihati.

“Jadi maksud sampeyan saya harus menganggurkan tanah itu sampai semua beres, ya rugi waktu, keburu pikun nanti saya!” Omel Mbah Suto bersungut-sungut.

5 comments on “Bea Perolehan Hak atas Bangunan Sendiri

  1. adipati kademangan berkata:

    owalah dasar nasib mbah suto. Nah ini jadi tugas mastein untuk mensosialisasikan pasal-pasal yang belum diketahui masyarakat tetapi sering digunakan. Kasihan orang-orang mbah suto habis di tangan makelar.

  2. Chic berkata:

    mau nyanyi: “itulah endonesaaaaaaah…” kok ya ndak tega.. πŸ˜†

    tapi BPHTB dan sertifikat itu emang selalu jadi masalah kok Mas. Ndak usahkan orang awam kayak Mbah Suto, lah saya yang praktek hukum 8 tahun aja sering missed kok. Masalahnya bukan karena ndak ngerti, tapi undang-undang itu abu-abu menimbulkan banyak interpretasi.

    Cilakanya, tiap BPN daerah punya interpretasi masing-masing dalam menerjemahkan isi peraturan. Jadi kok ya malah kayak hukum adat ujung-ujungnya..
    *doh*

  3. mzjiwo berkata:

    Walah kasian mbah Suto… Dikerjain makelarnya,btw BPHTB bervariasi tiap daerah ya mas?? Kurang ngerti juga ane walo orang agraria …

  4. Vicky Laurentina berkata:

    Ribet bener, Mas. Jadi kesimpulan saya, kalo mau mbangun apa-apa ya kudu konsultasi sama pengacara dulu dan tukang pajak dulu. Wah, ini ilmu baru buat saya..

  5. […] Sendiri SPT Tahunan Sampeyan Tadi malem sepulang dari warung Mbok Darmi saya ketemu sama Mbah Suto di prapatan deket pos kamling, beliau nanya, “Le, tadi waktu lewat Purwosari kok ada tenda […]

Tinggalkan komentar