Anomali

Anomali menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan. Ndak normal atau menyimpang biasanya berkonotasi negatif karena pada dasarnya manusia itu pengennya hidup dalam standard yang bernilai positif. Tapi dalam beberapa hal penyimpangan juga bisa berarti positif karena konormalan yang kita temui ternyata memiliki standard negatif.

“Mbok sekali-kali ngomong ndak usah pake mbulet tho Le.” Kata Kang Noyo di sela kepulan uap kopi bercampur asap rokok yang menemani obrolan kami di warung Mbok Darmi.

Saya akui ini memang salah satu penyakit yang menjangkiti saya dari dulu, yakni kebiasaan mengutarakan hal yang sederhana dengan kalimat yang muter-muter sehingga menimbulkan kesan seolah-olah saya ini pinter. Tapi saya pikir itu bukan anomali, seperti juga saya meyakini bahwa banyak orang masih menganut prinsip merendahkan diri meninggikan mutu.

“Lha tho, makin mbulet.”

Negara Indonesia tercinta ini butuh banyak anomali. Di saat banyak orang yang ndak nemu tempat sampah membuang sampahnya ke jalanan, ada satu dua orang yang rela mengantongi sampahnya berjam-jam sampe nemu tempat sampah, itu anomali. Juga kebanyakan orang menunggu bis di sembarang tempat, menyeberang jalan di titik terdekat, tapi ada juga yang rela berjalan puluhan meter menuju halte atau zebra cross, ini juga anomali.

Mungkin juga termasuk anomali di saat kebanyakan orang berusaha menyembunyikan penghasilannya sambil menghujat para pejabat yang ngemplang duit pajek, ternyata masih ada orang yang dengan sukarela mbayar pajek sebagai wujud berbagi, seanomali keikhlasannya mbayar zakat harta di saat kebanyakan orang cuma ingat mbayar zakat fitrah 2,5kg beras sekali dalam setahun.

Sampeyan mungkin termasuk golongan yang nyaris patah arang dengan kelakuan pejabat publik, tapi ternyata di sanapun ada anomali. Salah satu yang bisa dicontohkan adalah Walikota Solo, Joko Widodo, atau yang lebih terkenal dengan Jokowi, yang kemaren disebut sama Mbak Ndaru dalam komentarnya di blog jelek ini.

Saya tanya, penguasa macem apa yang sanggup berunding sebanyak 54 kali dengan rakyatnya membahas masalah yang sama?

Saya pun kalo berunding dengan Kang Noyo sebanyak itu bisa muntah. Tapi Pak Jokowi ini melakukannya. Demi memanusiakan warganya, yakni para pedagang kaki lima, beliau mengundang mereka makan sebanyak 54 kali sampai yakin bahwa mereka siap dipindahkan. Bandingkan dengan “kebijakan” bentrok antara Satpol PP (yang ironisnya juga terdiri dari rakyat kecil) dengan PKL yang sampeyan bisa temui di mana-mana. Konon pula beliau sampai menjual sebagian aset usaha pribadi demi ongkos sosial politik yang (tak seharusnya) ditanggung beliau.

Silakan sampeyan baca juga, di antara banyak pejabat publik yang berusaha menggali untung dengan honor dan uang saku lewat proyek awu-awu, beliau menyatakan ndak pernah sekalipun mengambil gajinya. Di saat banyak pemda menganggarkan pembelian mobil dinas setiap kali pergantian kepala daerah, beliau masih menggunakan mobil dinas warisan pejabat sebelumnya, toh masih lebih bagus dibanding mobil pribadi beliau yang sudah 14 tahun ndak ganti. Kalo itu semua benar, alangkah anomalinya.

Kita memang butuh banyak anomali, untuk menguatkan bahwa kita masih layak menyimpan harapan. Semoga saya dan sampeyan juga bisa menjadi anomali dan bisa menyebarkan semangat anomali sehingga nantinya standard kenormalan kita berubah.

Kang Noyo sudah menyalakan rokok ketiganya, yang dengan sikap senormal mungkin diambilnya tanpa basa-basi dari bungkus rokok saya. semoga yang semacam ini juga anomali.

Jiyan!

*Gambar diambil tanpa ijin dari sini

17 comments on “Anomali

  1. nDaru berkata:

    beruntunglah Wong Solo punyak walkot kayak Jokowi, doa saya..semoga saya segera ikutan nyoblos, sedari saya dapet KTP saya belon pernah sekalipun ikut coblosan je.. nanti kalok Jokowi ikut pilgub jateng saya tak ikutan ndukung beliyau

  2. harikuhariini berkata:

    Wah, salut untk pak jokowi. Smuga jd panutan buat yg laen.

    Mas stein..ada award plus bonus tugas buat sampean. Haha. Please check it out on my blog.

    #stein:
    ya mbak, makasih šŸ™‚

  3. chocoVanilla berkata:

    Tas saya kadang penuh dengan bungkus permen karena gak tega mbuang di jalan šŸ˜€

    Mastein, semoga berkenan menerima award dari saya ini yaa.
    Makasiy šŸ˜€

    #stein:
    matur nuwun mbak, nanti saya tak mampir šŸ™‚

  4. chocoVanilla berkata:

    Eee lhadalah, dah keduluan harikuhariini to šŸ˜€

  5. imroee berkata:

    jadi seperti itu toh yang disebut anomali

  6. yim berkata:

    rodo ra mudeng dengan dua paragraf terakhir, opo kebiasaan itu selalu jelek2 sehingga selalu butuh anomali Kang?

    #stein:
    coba sampeyan yang kasih tau saya dab šŸ™‚

  7. Abi Sabila berkata:

    terkadang kita butuh yang tidak biasa, apalagi bila biasa yang ada itu nyata-nyata tidak baik meskipun dianggap benar. Wah, ketularen mbulet, hehehe…

    #stein:
    šŸ˜†

  8. Sriyono Semarang berkata:

    Di bawah kepemimpinan beliau Solo maju pesat, bahkan kemaren melibas kemajuan ibukota jawa tengah sendiri…
    tapi okelah walikota kita walau belum seperti beliau sebentar lagi bakal membalikkan lagi keadaan…
    Majuuuuu….

  9. warm berkata:

    anomali itu tergantung dari sudut mana memandangnya,
    anoomali bagi sampeyan bisa jadi hal yang wajar di mata saya, terlebih ini menuntut persepsi yang bakal beda-beda
    sering dikira anomali padahal tidak
    *mbulet kan ?*
    šŸ˜€

  10. The-netwerk berkata:

    nice..
    sempatkan mengunjungi website kami http://www.the-netwerk.com
    sukses selalu!

  11. Princes_Tamina berkata:

    SAyang sekali saya warga Karanganyar, Bukan Solo

  12. Mudah2an orang spt pak jokowi semakin banyak jumlahnya, utk memimpin bangsa ini

  13. […] saya merasa masyarakat kita memang sakit, standard benar salah kadang kebolak-balik dengan standard normal atau menyimpang. Kesalahan yang sudah umum dilakukan lama-lama kelihatan normal, dan yang kelihatan normal akan […]

  14. eka aset berkata:

    temen temen gw juga nih. . . lagi ngalamin yang namanya anomali.
    semuanya berubah, jadi aneh

Tinggalkan komentar