Langit Sudah Merah

Dua orang sahabat, Suto, mantan preman yang kini kesantri-santrian, dan Noyo, mantan santri yang cenderung keabang-abangan bertemu. Tanpa membawa label santri atau abangan, hanya dua manusia biasa, seorang santri yang kadang memendam syahwat dan seorang preman yang kadang menangis penuh sesal di tengah malam. Karena tidak pantas seseorang menaruh prasangka pada hati orang lain.

Suto mengawali percakapan, “Sampeyan tau apa yang paling menakutkan buat saya kang?”

Noyo mengerutkan dahi, “Ono opo?”

Mantan preman itu melanjutkan, “Saya dengar kemaren ceramahnya Mbah Tholib di mushola, tiap manusia adalah pemimpin, dan tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”

“Memang begitu tho, kalo anak buah salah komandan ya harus ikut ditendang”, Sahut Noyo, “Trus masalahmu di mana?”

Suto mengambil sebatang rokok, dinyalakan dan dihisap dalam-dalam, “Kalo sekedar masalah di dunia ini ndak begitu jadi pikiran saya kang. Uang bisa dicari, hukuman bisa ditanggung, masalah bisa dinego.”

“Sampeyan pernah merhatikan ndak? Apakah anak istri sampeyan sudah tertib sholatnya, sudah penuh puasanya, sudah baik sama tetangga, sudah berusaha menyempurnakan agamanya?”

Suto menghisap rokoknya lagi dalam-dalam, “Ini beneran kang, saya takut suatu saat saya tidak mampu menjawab saat ditanya sama Yang Di Atas apa yang sudah saya lakukan untuk membimbing keluarga saya. Takut kalo ditanya kenapa saat azan berkumandang tipi di rumah saya ndak dimatikan, saya ndak mungkin menjawab karena acaranya lagi seru. Saya takut ndak bisa njawab waktu ditanya kenapa tiap hari penghuni rumah saya bangun pada saat hari sudah terang. Takut kalo ditanya kenapa gampang sekali menggunjing orang,…”

Noyo memotong omongannya, “Dan kamu ndak bisa mengatur keluargamu dengan baik karena selain kamu takut istrimu ngambek karena kamu sok ngatur juga karena ibadahmu sendiri masih ndak jelas? Atau mungkin kalo kamu mau melihat lebih dalam lagi kamu cuma malas bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak kamu lakukan, sesuatu yang masih dalam lingkup kekuasaanmu”

Suto mesem, “Kurang lebih seperti itulah adanya.”

Noyo ikut menyalakan rokok, “Kalo begitu mari kita habiskan rokok ini, lalu pulang dan tidur.”

5 comments on “Langit Sudah Merah

  1. suryaden berkata:

    maksudnya, mau masuk surga, neraka atau manapun adalah menurut kemampuan dan pikiran masing-masing, syukur kalo milih yang baik, kan demi kepentingan sendiri to ya 😀

  2. luvaholic9itz berkata:

    xixiixixixii *ngikik sambil tutupin mulut belo gosok gigi,

    lucuuuuuuu :(( :(( :((

    makasi panjenengan udah mengigatkan buat diriku makhluk yang punya status dipimpin di kerajaan ku, jangan sampe ngeyel2 banget lah biar ndak nyusahin si pemimpin ntar, hufffffttt

  3. Gandi Wibowo berkata:

    Tanggung jawab… sebuah kata yang gampang diucapin, tapi susah dilaksanain.

    Saya gak ikut nyalain rokok **Udah berhenti** Tapi ikut pulang dan tidur aja :p

  4. esdoger berkata:

    wahh, kenapa renungan yang buagus, awalnya musti ngudut (merokok) dulu ??

    🙂

  5. “Langit Sudah Merah mas stein” was a splendid
    article, cannot help but wait to look over more of ur
    blog posts. Time to waste a little time on the internet lolz.
    Thank you -Ronny

Tinggalkan komentar