Lima Tahun, Lima Bulan, dan Tujuh Hari

Ada sebuah ungkapan di pabrik tempat saya mburuh

Mutasi adalah sebuah keniscayaan. Semua pasti akan pindah, hanya yang kuat yang bertahan, dan yang paling kuat akan bertahan paling lama.

Saya percaya bahwa sebuah ungkapan ndak akan muncul tiba-tiba, kalopun ndak ada teori-teori canggih di belakangnya minimal ungkapan itu sudah didasarkan pada ilmu titen, ndak sukur njeplak serta waton muni seperti pemilik blog ini. Tapi kalo sampeyan ndak percaya juga ndak papa, ndak haram, ndak bakal seharam cara beristrinya Eyang Subur atau hubungan Fathonah dengan Vitalia Sesha yang cantik nan semlohay serta mengilerkan itu.

Vitalia Sesha, mengilerkan tho…

Konon di jaman dahulu kala, bukan jaman Majapahit, sampeyan jangan membayangkan sekuno itu, apalagi jamannya pitecantropus erectus, ndak sejadul itu. Jaman dulu itu maksudnya sekitar 6 atau tujuh tahun yang lalu, daerah tertentu dan atau posisi tertentu sangat didambakan oleh sebagian buruh di pabrik tempat saya mburuh. Biasanya daerah dan posisi tersebut adalah tempat yang basah nyemek-nyemek, if you know what i mean.

Dahsyat tenan daya tarik tempat basah nyemek-nyemek ini, bisa membuat orang sampai rela menunda pangkat serta ikhlas menggelontorkan sembako dalam jumlah yang ndak kira-kira ke orang-orang yang dianggap mampu menentukan pergeseran posisi para buruh. Makanya ada ungkapan hanya yang kuat yang akan bertahan, lha wong kalo ndak kuat nahan pasti digeser.

Tapi itu dulu sodara-sodara, dulu itu maksud saya bukan jaman Majapahit lho ya, apalagi jamannya pitecantropus erectus, ndak selama itu. Oiya, itu tadi sudah ya?

Jaman sekarang ndak ada cerita orang menunda pangkat, soale kalo sampai tertunda akan ada orang yang dapet hukuman dari bagian kepatuhan internal yang suka wira-wiri dengan sok-sokan bergaya undercover itu. Juga ndak bakal orang mau menggelontorkan sembako dengan nilai yang ndak kira-kira, karena yang mau digelontorkan sumbernya sudah ndak ada, dan yang jelas ndak ada harapan bakal balik modal.

Paling kalo seseorang berharap bisa bertahan atau bergeser ke daerah tertentu pertimbangannya cuma satu, keluarga. Semakin dekat dengan keluarga berarti biaya akomodasi semakin murah, ndak butuh kos atau ngontrak, sukur-sukur bisa sarapan dan makan malam di rumah, irit. Dan biasanya alasan yang lebih masuk akal dekat dengan keluarga adalah untuk anak, percuma sampeyan kerja keras banting tulang peras keringat sampai dapet berember-ember tapi ndak bisa dekat dengan anak, memangnya sampeyan kerja untuk siapa?

Singkat kata, ungkapan yang tadi saya sebut di awal sepertinya sudah ndak relevan lagi di pabrik tempat saya mburuh, kalo tetangga sebelah saya bilang sudah ndak in, it’s so last decade.

Jadi kalo sekarang masih ada yang tertahan begitu lama di satu posisi atau daerah tertentu menurut ilmu kemeruh saya kemungkinannya cuma ada tiga:

1. Orang ini memang sangat dibutuhkan, kalo kata Marcel orang itu bukan sekedar indah tapi juga takkan terganti
2. Orang ini sangat tidak dibutuhkan, ditaruh di manapun cuma bakal ngrusuhi, sehingga yang mau memindahkan males, yang bakal ketempatan pun keberatan
3. Orang ini luput dari pemantauan, lha wong ndak terpantau sampeyan ada di mana dan sudah berapa lama, jelas saja ndak pindah.

“Kowe iki ngomong opo tho Le?” Tanya Kang Noyo yang sedari tadi bingung melihat saya meracau sampai kopi yang awalnya ngebul jadi ilang angetnya.

“Ora popo Kang, saya cuma sedang meracau”

Orang hidup memang kadang perlu meracau, ndak semuanya harus selalu dilakukan dengan serius, dengan latar belakang, tujuan, dan program yang serius setelah menimbang dan memperhatikan segala macam tetek bengek ala aturan perundang-undangan. Ada saat di mana orang ndak usah terlalu serius, ndak edan.

Saya bukan mengeluh, malu karena banyak teman-teman mburuh saya di luar sana yang lebih ngenes nasibnya, juga ndak ada jaminan kalo misalnya saya digeser dari posisi saya yang sekarang akan lebih nyaman menjalaninya. Tapi ijinkanlah saya meracau sejenak, untuk memperingati lima tahun, lima bulan, dan tujuh hari saya menempati meja yang sama.

“Kamu kok ngerti tho Le, caramu ngitung gimana?” Tanya Kang Noyo.

Halah, wong lagi meracau kok diajak mikir itung-itungan hari.

“Pake excel Kang, ada rumusnya.”

=datedif(A1;A2;”y”) untuk ngitung tahun

=datedif(A1;A2;”ym”) untuk ngitung bulan

=datedif(A1;A2;”md”) untuk ngitung hari

A1 adalah cell berisi tanggal awal masuk, sedangkan A2 adalah cell berisi tanggal sekarang.

“Ooo…” Kang Noyo manggut-manggut, dengan ekspresi ora nggagas.

“Berarti sudah lima tahun, lima bulan, dan tujuh hari? Trus kamu sudah menghasilkan apa buat pabrikmu?”

Lha kuwi masalahnya, saya sudah menghasilkan apa?

Eh tapi kan saya lagi meracau, dan bukankan meracau itu sudah cukup kacau tanpa dikacau?

Kang Noyo, untuk sekali ini tolong jangan mengacau.

Dan tulisan ini pun makin lama makin kacau.

Jiyan!