Guru saya jaman SMP dulu pernah bilang kalo sistem pemerintahan Republik Indonesia adalah presidensial, yang artinya menteri-menteri bertanggung jawab pada presiden, bukan kepada parlemen. Saat itu guru saya juga bilang bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, panglima tertinggi angkatan bersenjata, presiden bisa menyatakan perang, presiden punya hak ini itu.
“Pokoknya dalam bayangan saya presiden adalah orang dengan kekuasaan yang luar biasa, gagah, disegani dan berwibawa.” Kata saya sama Kang Noyo tadi sore sambil nyruput kopi seribuan di warung Mbok Darmi.
Ndilalah kok ya yang jadi presiden itu Pak Harto yang memang disegani sekaligus ditakuti, pas banget sama bayangan saya tentang sosok presiden.
“Atau bisa jadi kebalik Le, karena waktu itu presidennya Pak Harto jadinya kamu membayangkan sosok presiden sesuai dengan karakter beliau.” Ujar Kang Noyo.
Waktu itu ndak pernah terlintas dalam pikiran saya sosok lembaga tinggi negara yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat, wong memang ndak pernah kedengeran suaranya. Atau mungkin karena suara mereka kalah oleh aura kekuasaan Pak Harto.
Semakin kesini saya baru menyadari sosok mereka, ternyata presiden itu ndak sendiri di atas sana. Untuk bisa menjalankan pemerintahan dia harus berjalan beriringan dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang berisi perwakilan partai-partai. Partai terdiri dari berbagai macam orang dengan membawa berbagai kepentingan. Berarti presiden harus siap berurusan dengan berbagai kepentingan.
“Sosok presiden di mata saya jadi ndak keliatan gagah, disegani, dan berwibawa lagi Kang. Yang terbayang malah sosok orang yang mumet karena ditarik kesana kemari oleh berbagai kepentingan.” Kata saya.
“Tapi sebagai pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat, selama jadi pemimpin yang memihak rakyat harusnya ndak perlu mumet tho Le?” Tanya Kang Noyo.
“Lha kuwi Kang repotnya, memihak rakyat yang sebelah mana?” Ujar saya.
Lebih repot lagi saat orang-orang yang dipercaya membawa suara rakyat ternyata ndak semuanya mampu mengemban amanah, dengan semena-mena telah menghilangkan makna Dewan Perwakilan Rakyat dan menggantinya dengan semangat Dewan Perwakilan Partai, atau mungkin Dewan Perwakilan Diri.
“Dan bisa jadi mereka ndak merasa salah Kang, karena toh anggota dewan juga rakyat.” Kata saya getir.
Akhirnya jadi repot plus celaka saat presiden ternyata ndak punya cukup kekuatan dan wibawa untuk membuat segan orang-orang tersebut, jadilah dagelan politik. Kata-kata guru saya bahwa menteri bertanggung jawab pada presiden ndak selalu benar, di sini seorang menteri kadang harus rela di-bully anggota dewan saat mereka kalah kemampuan intelektual.
Ndak peduli sampeyan salah atau benar, kalo sampeyan berani membakar buntut seorang petinggi partai, sampeyan harus rela dijadikan pesakitan dalam acara infotainment yang disiarkan secara langsung di tipi.
Bahkan setelah berusaha menyeragamkan berbagai kepentingan agar bisa jadi dukungan dalam bentuk sebuah koalisi pun ternyata ndak mampu mbikin presiden cukup gagah, berwibawa dan disegani. Jangan berharap keberanian dari presiden selaku pemimpin untuk maju ke depan dan bilang, “Dia anak buah saya, tanggung jawab saya, kalo memang Sampeyan mau cari perkara, sini hadapi saya!”
Satu lagi babak baru dalam dagelan di atas sana telah dimulai. Belum juga dingin berita salah seorang menteri terbaik mengundurkan diri karena jerih payahnya kurang dihargai, seorang petinggi partai yang selama ini berseberangan dengan sang mantan menteri diangkat menjadi ketua harian sekretariat bersama partai koalisi.
Saya termenung di antara hangat kopi dan hembusan asap rokok, pernahkah terbersit di hati petinggi-petinggi itu untuk sekali-kali ndak cuma mikir cara mengamankan posisi. Sayup-sayup terdengar alunan lagu Sonny Joss di kejauhan, “Ndang balio Sri… ndang balio…”
Mendadak saya merasa ngenes, ngenes tenan.
Jiyan!
pertamaxx..
Sisri ora bali, mas… π¦
Haha..lagu itu. Jd keingat jaman msh nge-bus kota di jogja.
Males ahh mikirin politik…pusing :((
dari dulu saya suka kerja aja, yang penting bisa berbuat kebaikan….
Aduh,… sungguh ironis ya menjadi presiden jaman sekarang. Namanya aja “presidensial”, presidennya sial. π¦
skip ah klo bahasannya berat
*kabur
hahaha
bingung juga nuyyy
topikna berat hehhehe
saya bukan petinggi tapi saya mengamankan posisi koment disini ajah dech hehe
capek mas kalo liat dagelan politik. aku udah nggak berani nyimpen opini mana yg bener, mana yg salah, krn terlalu banyaknya manipulasi info dan berita.
Pak Harto memang keren sih.. sampai sekarang masih enak aja kalau dibahas… kekuasaan dan kekuatannya itu π
Kalau presiden memang bisa punya hak veto gitu mah… bukan kepresidenan lagi ya, tapi diktator π tapi bagusnya ya itu lah, gak banyak demo2 gak mutu menghias jalanan.
Apa balik lagi aja ke jaman Majapahit ma sriwijaya..Nusantara ini bisa gede lho..Jadi balik lagi ke sistem monarki gitu
Betul itu paklek, itu anaknya presiden kita itu jugak ikut2an di partai bikinan bapaknya, agaknya memang di pemerintahan ini, transformasi dari demokrasi ke monarki akan terjadi.
etapi ngomong2 soal nonton berita soal dagelan2 itu, sensasi yang saya dapet ketika nonton berita senturi misalnya, itu lama2 persis sama ketika saya nonton PSIS maen sama tim gurem, ndilalah PSIS maennya jelek, ndak kunjung bikin gol..jan hawane pengin nesu, pengin ikutan maen, mbikin gol sendiri, tapi ndak berdaya to..wong cumak suporter, liyatnya di tipi pulak.
sri minggat walhah …
skip dhisik mas, mumet aku moco sing iki
Eh, kayaknya ada yg aneh:
Bukannya: “Ndang balio, Sri. Ndang balio…”
*sorry kalau ternyata kuping saya yg salah*