Jiyan! Wong Indonesia itu ada-ada saja maunya. Saya merasa geli sekaligus miris waktu mbaca berita di Okezone, Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI) dipimpin oleh ketuanya Anwar Fuadi mendatangi gedung DPR/MPR, menuntut penurunan pajak penghasilan yang harus mereka bayar. Mereka menilai tarif pajak penghasilan sebesar 30% yang ditetapkan kepada artis sinetron sejak tahun lalu terlalu tinggi.
Permintaan itu mendapat dukungan dari Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang menilai artis butuh dana untuk pembinaan. Menurut Yenny Rachman, menjadi artis tidaklah mudah, tidak cukup hanya modal cantik dan ganteng saja. selain itu artis harus punya etika dan komitmen karena artis punya tanggung jawab moral pada masyarakat. Baik buruknya artis ada kemungkinan ditiru oleh masyarakat.
“Mungkin yang bener artis itu butuh dana lebih untuk beli kosmetik, baju, perawatan, juga untuk menunjang gaya hidup. Makanya mereka keberatan kalo harus mbayar pajek,” Sergah Kang Noyo di sela kepulan uap kopi warung Mbok Darmi.
Saya cuma nyengir. Tanpa menampik fakta bahwa banyak seniman yang hidupnya memang kesusahan, tuntutan penurunan tarif bagi artis menurut saya memang ndak masuk akal. Apa yang membuat mereka merasa istimewa sampe harus mendapat perlakuan hukum berbeda? Pajek kan juga ada undang-undangnya. Kalo pun merasa jadi artis ndak gampang, memangnya jadi buruh atau wiraswasta itu gampang?
“Menurutku yang diwakili oleh PARSI juga bukan golongan seniman susah kok Le. Mosok kamu pernah liat artis sinetron susah? Lagian sesusah-susahnya mereka ndak mungkin lebih susah dari Mbok Darmi atau buruh-buruh pabrik macem kita tho!” Kata Kang Noyo gemes.
Ngomong-ngomong benarkah klaim Anwar Fuadi bahwa tarif pajak penghasilan orang pribadi yang diterapkan sejak tahun lalu memang terlalu tinggi?
Kalo bicara soal tinggi atau rendah tentu harus ada bandingannya. Dalam kasus ini saya ngajak sampeyan untuk membandingkan tarif pajak penghasilan yang berlaku sekarang (diatur dalam Undang-undang No 36 Tahun 2008) dengan tarif yang berlaku sebelumnya (diatur dalam Undang-undang No 17 Tahun 2000).
Misalnya penghasilan Pak Anwar Fuadi setelah dikurangi zakat dan penghasilan tidak kena pajak berjumlah Rp 600.000.000 setahun. Itung-itungannya menurut tarif lama adalah :
5% X 25.000.000 |
1.250.000 |
10% X 25.000.000 |
2.500.000 |
15% X 50.000.000 |
7.500.000 |
25% X 100.000.000 |
25.000.000 |
35% X 400.000.000 |
140.000.000 |
Jumlah Pajak |
176.250.000 |
Sedangkan kalo dihitung menurut tarif yang berlaku sekarang adalah sebagai berikut :
5% X 50.000.000 |
2.500.000 |
15% X 200.000.000 |
30.000.000 |
25% X 250.000.000 |
62.500.000 |
30% X 100.000.000 |
30.000.000 |
Jumlah Pajak |
125.000.000 |
Berarti ada selisih Rp 51.250.000 lebih rendah dibanding tarif yang berlaku sebelumnya. Wajar tho kalo saya merasa geli mereka protesnya sekarang? 😆
“Jangan-jangan para artis sekarang merasa berat karena dulu mbayar pajeknya ndak tertib,” Ujar Kang Noyo.
Wajar juga saya merasa miris. Opo pantes artis-artis mengeluhkan “kesulitan” mereka membangun karir, serta kebutuhan dana untuk “pembinaan” sebagai alasan mendapat keringanan pajak? Bagaimana dengan pengusaha kecil yang setengah hidup mbuka pasar dan kesulitan modal? Atau buruh pabrik macem saya yang masih bingung nutup biaya dapur sampe akhir bulan?
“Mungkin faktor kedekatan juga berpengaruh Le, mumpung banyak artis yang sekarang ngantor di Senayan,” Ujar Kang Noyo sambil cengengesan.
Kenapa ndak mbikin sinetron saja, nanti ceritanya pajak mereka diturunkan.
Jiyan!
Hmmm.. harus ditelusuri lebih lanjut… Menarik juga.. 😀
wah,,,sepertinya perlu dilakukan pemeriksaan pajak niy…
hehehehe
setau saya memang ndak ada artis yang kere kang :p
Kendalanya cuman 1, sifat dasar manusia yang tidak pernah puas 🙂
Aku juga, kamu juga, kita semua, dan mereka hehehe.
Btw itu pajak yang berlaku sekarang, diatas, gak salah tulis tuh? Yang 100jt 30%, yang 200 dan 250jt malah lebih kecil dari 30% ?
Ato maksudnya 1 Milliar?
Ah geblek baru paham kalo itu breakdown nya yang diganti bukan chart total pajak penghasilan haha…
Maap belagu.
haha iyo. Maklum gak pernah belajar yang beginian.
Beda kasta ya beda merk to mas.
5rb buat saya berarti buat jatah makan siang. Nah 5rb buat (kebanyakan) kalangan artis berarti untk bayar parkir saat makan siang.
Ya defenisi ‘sulitnya’ nya qt beda ama defenisi ‘sulitnya’ nya artis. (Beda kasta je) 😮
Saya jadi merenung, Mas. Memangnya apakah pajak penghasilan di Indonesia sudah wajar sampai tidak perlu diprotes?
Apakah orang-orang dari segala profesi sudah merasa puas dengan pelayanan negara yang diperoleh dari pajak penghasilan yang mereka bayarkan selama ini?
Terus, kenapa artis harus bayar pajak penghasilan?
Apa saja sih kontribusi pemerintah terhadap peningkatan kualitas artis sampai-sampai artis harus bayar pajak penghasilan segala?
Lalu, berapa mestinya tarif pajak penghasilan yang wajar untuk dibebankan ke artis?
Kalau dibandingkan ke negara-negara yang industri seninya berkembang pesat dan didukung penuh oleh kementerian kebudayaan setempat (India, Jerman, Amerika Serikat), berapa banyak pajak penghasilan yang harus dibayarkan artis-artis di negara itu?
hemp memang gak taat pajak
jiyan..
dua jempol untuk tulisan ini, mas Stein..
keep posting..
saya juga geli mas dengernya. Ada 2 kemungkinan, Dirjen pajak yang kurang sosialisasi, atau artis-artis ini yang sepertinya tidak mau mencari tahu dahulu. Mungkin ini juga sebagai catatan bagi Dirjen Pajak bahwa sosialisasi perpajakan belum mencakup seluruh lapisan masyarakat.. Buktinya, anggota DPR semacam Eko Patrio pun tidak mengerti sama sekali dengan masalah pajak. Masak dia bilang kalo punya NPWP pajak yang dipotong cuma 5% saja.. makin ngakak guling-guling saya dengernya. :DD
ternyata banyak juga pajaknya ya pak
watch vampire diaries online