Gambar Kamu Kurang Bagus

Beberapa hari ini sebenarnya nongkrong di warung Mbok Darmi kurang begitu menenangkan, yang berarti kehadiran saya di situ jadi sedikit keluar dari konsep awal, saya ngopi adalah dalam rangka mencari nuansa. Menyesap kopi sambil mencoba mengecap apa yang mungkin masih terserak di hati. *halah!*

Sebab utama tentu karena akhir bulan adalah tanggal tua, saat tiap receh yang tersisa harus diperhitungkan secara cermat demi mempertahankan asap dapur. Penyebab lainnya adalah angin kencang yang beberapa hari terakhir makin menggila, kadang saya agak kuatir warung Mbok Darmi yang banyak make bahan dari bambu ini bakal ambruk.

Tapi ngopi di warung Mbok Darmi buat saya adalah sebuah ritual, rasanya ada yang hilang kalo ndak saya jalankan. Walaupun resikonya tanggal tua jadi makin terasa tua berkat bantuan Kang Noyo yang masih rajin menjarah batang demi batang rokok saya.

“Piye Le? Menang kemaren?” Tanya Kang Noyo sambil dengan santainya mengambil batang kedua dari bungkus rokok saya.

“Menang opo Kang?” Saya agak bingung.

“Itu, yang lomba hari bapak.”

Ooh, yang itu. Jadi ceritanya saya dapet surat dari TK-nya si Barra, bilang kalo hari Sabtu di sekolah akan diadakan lomba finger painting dalam rangka memperingati Father’s Day, pesertanya ayah dan anak. Saya ndak ngerti, apakah beneran ada Hari Bapak di Indonesia, atau cuma sekedar penyeimbang saja, biar bapak-bapaknya ndak iri karena Desember kemaren sudah diadakan lomba memperingati Hari Ibu.

Dan lagi kenapa harus pake finger painting? Apakah kata-kata melukis dengan jari kurang terdengar intelek? Kurang berstandard internasional?

Yang jelas dalam lomba tersebut saya sedikit merasa kecewa.

“Kalah yo?” Tanya Kang Noyo tanpa basa-basi.

“Bukan soal kalah menang Kang.” Ujar saya.

Dalam lomba kemaren itu pihak sekolah menyediakan selembar kertas dan tiga kaleng cat air dengan warna merah, kuning, dan biru. Sekilas yang saya tangkap dari pengumuman, salah satu kriteria penilaian adalah komposisi warna. Mbuh lah, sebagai orang yang sudah terkontaminasi judgement gambar jelek dan gambar bagus, saya sudah lama menilai diri sendiri sebagai orang yang ndak bisa nggambar.

Di sebelah kanan saya sang ayah sudah mulai meratakan warna biru di kertas, sambil memberi perintah ke anaknya yang kebingungan, “Ayo kamu ikut ratakan, buat warna dasar.”

Di sana-sini saya liat beberapa ayah sudah mulai menyuruh si anak untuk mengeksekusi konsep yang dimilikinya, yang ndak sabar malah mulai mendemonstrasikan bakatnya, membiarkan si anak menonton dan membantu sekedarnya.

Saya?

Bingung, karena saya memang ndak ngerti harus mulai dari mana. Saya tanya anak saya, “Kamu mau nggambar apa mas?”

“Aku mau nggambar luar angkasa!” Katanya dengan penuh antusias.

“Jadi kita gambar apanya dulu?” Tanya saya, bukan ngetes, tapi memang beneran bingung.

“Langitnya dulu ayah, pake warna biru.” Dia mulai meratakan warna biru.

“Ayo, ayah juga bantu.” Walah, saya malah disuruh-suruh.

“Lalu kita gambar planet, warna hijau.” Dia ngasih komando lagi.

“Warna hijau itu apa dicampur apa mas?” Lagi-lagi bukan ngetes, saya memang ndak ngerti.

“Kuning campur biru, ayo ayah campur.” Dan lagi-lagi saya dalam posisi disuruh.Β  Barra Menggambar

Saya juga baru tau kalo ungu itu merah dicampur biru. Jujur, saya terkagum-kagum melihat antusiasme dan rasa percaya diri anak saya. Dia tau apa yang mau dia gambar, dia punya inisiatif, tau sedikit tentang campur-campur warna, dan sama sekali ndak mengandalkan saya untuk menyelesaikan gambarnya.

“Trus, kamu kalah?” Tanya Kang Noyo lagi, sadis.

Seperti yang sudah-sudah, lomba selalu dimenangkan oleh hasil terbaik. Sama seperti bulan kemaren waktu lomba Hari Ibu, ndak masalah kalo anak cuma terbengong-bengong liat kemahiran ibunya melipat kertas, yang hasil karyanya paling bagus, itulah yang menang.

Ndak ada nilai untuk antusiasme, inisiatif, kemandirian, dan usaha si anak.

Sungguh, bukan kecewa karena ndak menang yang saya permasalahkan di sini. Ada ketakutan yang lebih besar, yaitu saat judgement karya bagus dan karya kurang bagus lebih diutamakan daripada antusiasme, inisiatif, kemandirian, dan usaha si anak.

Saat sampeyan lebih menghargai hasil daripada proses, secara pelan-pelan tanpa sadar sampeyan sudah membunuh antusiasme dan rasa percaya diri anak.

Tapi cukuplah saya membahas orang-orang itu, saya tetep bangga dengan anak saya. Saya bilang, “Mas Barra, kamu hebat!”

“Kowe iki yo aneh kok Le, sekolah kan yo ndak salah waktu nilai kemaren.” Kata Kang Noyo lagi.

“Ndak salah piye Kang?” Tanya saya bingung.

“Kalopun yang ngerjain bapaknya semua yo ndak masalah tho, kan peserta lomba memang ayah dan anak.”

Lho iya ding, jadi saya keliru?

Jiyan!

15 comments on “Gambar Kamu Kurang Bagus

  1. warm berkata:

    sampeyan bener2 bapak teladan,mas !
    krosposting di ngerumpi keren nih

    dan saya teringat postingan kang pidibaiq yang ini ..> http://pidibaiq.wordpress.com/2011/07/26/puisi-timur/

    salut buat sampeyan πŸ™‚

    #stein:
    ndak sebanding, tulisan di link sampeyan lebih dalem rasanya πŸ™‚

  2. nengbiker berkata:

    aaah, masukan banget buat ortu2 nih..
    tapi saya kapaaan

    #stein:
    tinggal mbikin saja lho *eh

  3. fajarembun berkata:

    lukisan e apik ngono loh kang bro..kreatif anak sampean, aku pengen ketemu piye? tak kasih #bomdonat gelem po ra? :p setiap lukisan itu bagus-bagus apalagi setiap lukisan anak-anak. Kapan iso ngopi-ngopi bareng & bawa anak sampean ketemu aku kang bro.. hhehehe

    #stein:
    insya Allah masnya

  4. chocoVanilla berkata:

    Lukisan Barra bagus kok. Terutama imajinasi dan kreatifitasnya itu lho. Pasti cita-citanya jadi astronot ya, Nak? πŸ˜€

    Iya Mas, sepanjang judgement jelek itu bukan keluar dari mulut ortu, anak gak akan kecewa kok. Pendidik yang baik juga takkan mengatakan “jelek” pada karya anak didiknya. Namanya juga kompetisi, tinggal kita beri pengertian kenapa si itu menang kamu tidak. Ngono lhooo πŸ˜€

    #stein:
    kata jeleknya memang ndak keluar mbakyu, tapi terpikir πŸ˜†

  5. Nuzli L. Hernawan berkata:

    Begitulah mas, saya sendiri ketika mengajak anak-anak saya lomba menggambar atau melukis hampir bisa dipastikan tidak sampai selesai (a.k.a pengumuman pemenang) karena esensi saya mengajak anak-anak saya bukan untuk menang. Seringkali saya ajak mereka selepas lomba untuk mencari hadiah untuk mengapresiasi usaha mereka, dan mereka senang luar biasa. Meskipun hadiahnya pun biasa-biasa saja, cuman jajan atau makan bakso sekeluarga. Cerita yang menarik, keep posting.

    #stein:
    beruntung anak punya ayah macem sampeyan, kadang kasian kalo ortu ikut-ikutan menghakimi. salam πŸ™‚

  6. salut dah buat agan yang setia menemani anaknya

  7. wahh,,
    kerren ttu lukisan nya ajjarin aku mellukis donk..
    hehe..:D
    Kunjungi web kami di http://www.busaerowisata.com

  8. tangki berkata:

    Hahaha… Lucu, menggelikan, sekaligus bisa menjadi bahan perenungan…

    Nice posting mas…

    #stein:
    terima kasih πŸ˜€

  9. Biasanya hasil bagus itu karena proses yg bagus. Kalau hasil bagus tapi prosesnya nggak bagus, bisa jadi itu karena beruntung. Hehehe…

    Salam

  10. surya berkata:

    gambar bagus itu ada karna gambar kurang bagus,,,,,,,BETUL 3X
    mungkin kita bisa bertukar informasi melalui http://ict.unsri.ac.id

  11. susihariyanti berkata:

    gambar yang bangus banget. mungkin kita bisa bertukar informasi melalui http://ict.unsri.ac.id
    terima kasih

  12. zaldy berkata:

    terimh kasih ya,,,,,, infonya bagus bnget ya!!!

    kita bisa bertukar infokan ,,, liat infonya disini ya : http://www.unsri.ac.id/

  13. kembu berkata:

    jadi berharap bisa segera kumpul sama anak2 sebelum mereka masuk TK πŸ˜‰

  14. Tototapalnise berkata:

    Sip…bakal tak tiru. Dan memang begitu seharusnya mendidik anak..biarkan dia bebas berkarya.

Tinggalkan komentar