Belajar Melarat

Beberapa waktu yang lalu Kang Noyo mendatangi saya, dia bilang kedatangan dua orang kawan dari Jakarta, pegawai negeri di sebuah instansi yang lumayan mentereng. Saya ndak bermaksud bilang bahwa lingkungan PNS terbagi atas kasta-kasta, tapi siapapun ndak akan bisa mbantah kalo instansi tempat kawannya Kang Noyo ini memang termasuk instansi yang nggegirisi, kalo bisa saya ndak pengen berurusan dengan mereka.

“Le, kamu ada kenalan orang hotel XXX ndak?” Tanya Kang Noyo waktu itu. *maap, nama hotel terpaksa disensor*

Saya cuma meringis, ini nanya apa ngece? Buruh macem saya ini baru bisa nginep di situ kalo dibayari, bahkan sekedar melongok ke lobinya pun saya minder, wong itu hotel berbintang. Lha kok ditanya punya kenalan orang dalem apa ndak. Ngece tho namanya?!

“Jangan emosi tho, ini soale penting. Siapa tau kamu bisa mbantu, atau minimal kamu punya temen yang bisa mbantu.” Kata Kang Noyo.

Kadang saya heran, entah kenapa kalo sudah berurusan sama instansi kata “membantu” biasanya identik dengan kolusi, koneksi, dan ko-si-ko-si yang lain. Dan memang benar, bantuan yang diminta oleh kawannya Kang Noyo ini ndak jauh-jauh dari situ.

Jadi ceritanya dua orang pejabat pusat ini dapet tugas dari kantornya untuk melakukan kunjungan kerja ke Malang. Di instansi tempat dua orang ini bekerja biaya akomodasinya dibikin model reimburse, alias penggantian di belakang. Konon yang seperti ini kadang dipake sebagai ajang cari laba, apalagi untuk biaya-biaya yang ndak ada kuitansinya, misalnya naik angkot diklaim sebagai naik taksi, dan semacamnya.

Lha masalah timbul waktu dua orang ini pengen nginep di satu kamar dengan tetap mendapat tagihan dua kamar hotel. Pihak hotel ndak mau mengeluarkan tagihan yang diminta, sementara si pejabat ngotot kalo biasanya hal seperti itu bisa dilakukan.

Saya ndak tau bagaimana akhir cerita kawan Kang Noyo, entah berhasil atau ndak mendapatkan tagihan untuk dua kamar hotel. Tapi kalo mereka berhasil ya lumayan, anggaplah tarif standard di hotel itu Rp 500.000, dikali dua hari, minimal dari kunjungan kerja itu dapet laba setengah juta, cuma dari kamar hotel saja.

Laba? Memang dagang apa kok untung?

Terserah sampeyan mau nyebut apa, memang kenyataannya begitu. Walaupun sebenarnya sistem reimburse ini masih jauh lebih baik daripada sistem yang mereka pakai sebelumnya. Konon katanya dulu biaya perjalanan dinas ini besarannya sudah ditentukan untuk tiap daerah. Jadinya pejabat-pejabat pada berebut kunjungan ke daerah terjauh karena dapet duitnya paling gede, labanya (lagi-lagi) tentu juga paling gede.

Kang Noyo juga pernah cerita kalo nyari laba semacam itu ndak cuma dilakukan di instansi pemerintah. Ada seorang kawan karyawan swasta yang cerita begitu pagi-pagi dia sampai di Stasiun Pasar Senen dari tugas luar kota maka yang dia lakukan adalah bergegas menuju ke Stasiun Gambir.

Ngapain?

Nyari tiket! Bukan pesen tiket lho ya, tapi nyari tiket bekas kereta eksekutif untuk nanti diklaim ke kantornya.

Salahkah yang semacam itu?

Saya pikir bukan domain saya untuk bilang itu benar atau salah karena tiap perbuatan selalu ada latar belakang yang belum tentu saya paham benar. Tapi kalo menurut saya mungkin lebih baik ngakali anggaran perusahaan dibanding ngakali anggaran negara. Paling ndak kalo ngakali perusahaan cuma duit si boss atau duit beberapa pihak saja yang sampeyan ambil. Sedangkan kalo ngakali anggaran negara berarti duit rakyat yang diembat, tanggung jawabnya lebih menakutkan.

Saya mendadak teringat kata-kata bapak saya di kampung waktu ngobrol lewat telepon beberapa waktu yang lalu.

“Orang yang berkecukupan seharusnya lebih bisa dipercaya, karena seringkali orang nekat sebab dipaksa keadaannya yang melarat.”

“Tapi ingat-ingat yo Le, kalaupun kita melarat belajarlah untuk jadi orang kaya, minimal pura-pura dulu jadi orang kaya. Perbanyak sedekah, ndak silau sama harta dunia, ndak iri lihat orang lain dapet rejeki, ndak asal main samber tanpa peduli halal haram. Siapa tau nantinya beneran jadi orang kaya.”

Sekarang kalo dibalik, orang yang hidupnya berkecukupan tapi masih ndak mau sedekah, susah keluar zakat, masih gampang panas liat tetangga dapet rejeki, trus segala macem disamber ndak peduli itu haknya atau bukan, mosok ya dia sedang belajar untuk jadi melarat?

Jiyan!

11 comments on “Belajar Melarat

  1. chocoVanilla berkata:

    Payah ya Mas, mental orang kita ini. Apa-apa cari untung. Gak PNS gak swasta sama aja. Saya pernah lihat lagi ngisi bensin, mobil sebelah ngasih duit 5000 ke petugasnya trus ama petugasnya dikasih struk bensin yg 100 rb. Mungkin klo yang 150 rb, 200 rb harganya beda lagi ya?

    Gak usah isi bensin tapi bisa klaim ke perusahaan. Ck…ck…ck… medeni jaman saiki 😦

    Mangkanya klo beli bensin minta aja struk nya biar gak disalahgunakan.

  2. […] This post was mentioned on Twitter by blogroll and Tobagus Manshor. Tobagus Manshor said: Belajar Melarat http://goo.gl/fb/zOOGT […]

  3. mawi wijna berkata:

    penggelembungan dana juga banyak dipraketekkan di organisasi Kang.

    Di proposal tertulis 10 juta, tapi pas pemakaian sebenernya cuma keluar 8 juta, sisa 2 juta jadi keuntungan.

    Yah, mungkin beda sama kasus diatas, tapi ngakali uang supaya bisa diambil labanya, yah…

  4. Chic berkata:

    β€œTapi ingat-ingat yo Le, kalaupun kita melarat belajarlah untuk jadi orang kaya, minimal pura-pura dulu jadi orang kaya. Perbanyak sedekah, ndak silau sama harta dunia, ndak iri lihat orang lain dapet rejeki, ndak asal main samber tanpa peduli halal haram. Siapa tau nantinya beneran jadi orang kaya.”

    Siapa bilang orang kaya sedekahnya banyak, ndak silau harta, ndak iri liat orang lain dapet rejeki, ndak asal maen samber rejeki orang? Banyak Kang yang kayak gitu.. banyaaaaaaak… meskipun sudah kaya :mrgreen:

  5. adipati kademangan berkata:

    saya ndak tahu ini awalnya darimana mas. Namun seperti yang saya alami, setiap pengajuan proposal dengan anggaran dana tertentu pasti ;sekali lagi pasti; dana yang turun tidak 100% padahal dalam penyusunan anggaran itu sudah dihitung dengan cermat. Dengan keadaan seperti itu maka orang jadi hafal, kalau mambuat proposal, perjalanan dinas, biaya-biaya, anggaran, Harus LEBIH!! sukur-sukur ada sisanya πŸ˜€ . Maka muncullah cara-cara reimbusment sistem pom bensin dan tiket kereta api di atas.

  6. Efi Yuliani berkata:

    emangnya instansi yang mentereng itu mana mas?
    hehee..
    hmm,sebenernya kerja di instansi manapun sama aja, lahan basah lahan kering itu cuman istilah, kalo saya sih sekolah di PTK bukan karna mau jadi PNS, tapi mau jadi pengusaha yang berlatarbelakang PNS πŸ™‚
    seorang PNS yang ga menumpukan hidup pada instansi, tapi bagaimana bisa menciptakan lapangan pekerjaan untung orang lain, bukan hanya bekerja untuk orang lain πŸ™‚

  7. big sugeng berkata:

    penggerogotan anggaran semacam itu sesungguhnya banyak terjadi dari tingkatan dari yang kecil sampai yang besar

  8. devieriana berkata:

    aku SPPD paling jauh ke Bogor (Cibulan), dan Jogja saja Mas.. ndak (belumm) kemana-mana lagi :D. Itupun juga nginepnya di Istana atau wismanya kantor. Penghematan katanya..

    :mrgreen:

  9. coretan rizal berkata:

    salam blogging, kalau saya selalu belajar dari yang terkecil untuk sesuatu yang besar, kenapa dn bagaimana? itu kuncinya

  10. nDaru berkata:

    ada ndak belajar goblok?

  11. dobelden berkata:

    level staff reimburse palsunya itungan ratusan ribu, maka bisa dibayangkan dilevel atasnya, wajar duit rakyat menguap begitu saja dan kalau swasta kerja menjadi tidak berkah karena duitnya “panas” :-<

Tinggalkan komentar