(Bukan Review) Eiffel I’m in Love 2

Sampeyan sudah nonton Dilan 1990? Film penuh adegan absurd yang berhasil membuat banyak perempuan (dan juga laki-laki) keluar bioskop dengan senyum malu-malu. Saya nonton film itu. Walaupun berbeda dengan kebanyakan orang –mereka senang, saya sedih- namun saya tidak bisa bilang film itu jelek. Dilan adalah film yang romantisnya receh, ringan dikunyah, semacam oase di sela hidup sampeyan yang makin ruwet. Iya, hidup sampeyan, hidup saya sih… sama juga.

Dengan euforia kedilanan semacam itu, istri saya ngajak nonton film Indonesia lainnya, Eiffel I’m in Love 2. Saya liat trailernya waktu nonton Dilan, dialog semacam: “Nama gue Tita, bukan Tit!” sepertinya cukup menjanjikan. Another receh movie. Hidup sudah kebanyakan mikir, mosok nonton film juga nyari yang masih butuh mikir?

Film ini dibuka dengan foto-foto adegan dari Eiffel I’m in Love yang dirilis 12 lebaran yang lalu. Lengkap dengan soundtrack lawas gubahan Melly Guslaw yang walaupun sedikit diubah namun masih mampu membawa kenangan sampeyan ke masa itu. Jaman kreditan motor belum lunas, bayaran masih kecil, cicilan rumah sering nunggak. Dan juga kenangan saat Tita dan Adit, kedua tokoh utama film ini, masih belasan tahun dan sedang lucu-lucunya, tentu saja.

Setelah itu adegan dimulai dari sebuah pesta pernikahan. Tita bertemu dengan teman-teman lamanya. “Eh, gue minta nomor lu, dong,” kata seorang temannya di situ. Yang lantas dijawab oleh sang tokoh utama, “Gue masih belum boleh punya hape sama nyokap.”

Oke, saya langsung menarik kesimpulan dengan semena-mena: Tita masih belum punya pekerjaan di umurnya yang ke-27. Hidupnya masih mengandalkan tunjangan orang tua. Lha piye, ini 2018, Pakdhe! Precil-precil yang belum lancar membaca saja sudah pinter dolanan youtube, jhe. Mosok yang sudah segerang Tita ndak punya hape? Kecuali ya itu tadi, dia masih belum punya penghasilan sendiri. Trus biar drama, orang tuanya ndak mau ngasih hape.

Adegan lalu berlanjut dengan Tita -yang ternyata saat kondangan ditemani asisten rumah tangga serta supir- ditelpon oleh ibunya melalui hape sang asisten, disuruh pulang. Lalu iklan.

Hooh, iklan. Tita laper dan pengen makan cheese burger-nya McD. Di saat dia hampir pingsan menunggu makanan di layanan drive through, muncullah sang pahlawan, Adam. Saya terkesan sekali dengan aktingnya Adam, ketawanya itu lho, mengingatkan saya pada ketawa ala anak kekinian di medsos. Ehe ehe ehe, selesai, sudah.

Saat di mobil, Tita ditelepon lagi, kali ini Adit yang nelpon. Tita lalu cerita tentang pertemuan dengan Adam. Adit marah. Hubungan LDR memang begitu, lebih gampang cemburuan. Walaupun saya rada mikir juga, setelah 12 lebaran, empat kali lebih lama dari rekor Bang Toyib, memang masih segitu ya level insecure-nya?

Apakah ndak boleh marah-marah? Ya terserah sih. Lagian salah satu jualan film ini kan memang pertengkarannya Adit-Tita. Apalagi ternyata kemudian si Adam ini ngasih hadiah ulang tahun ke Tita berupa Ipad. Ipad, bossku! Bukan tablet advan seperti yang sampeyan beli kredit enam bulan itu. Wajar kalo Adit marah-marah. Yang gak wajar itu ibunya si Tita yang membiarkan anaknya mainan Ipad. Wong nerima telpon saja harus minjem hp orang lain, ini mainan Ipad malah ndak papa. Heran saya.

Ngomong-ngomong saya baru tau, ternyata ayah Tita itu senior jauh saya, Helmy Yahya. Kakaknya bernama Alan, diperankan Tommy Kurniawan yang aktingnya sekelas dengan si pria ehe ehe ehe, maksud saya Adam. Pokoknya tiap kali Alan (dan juga Adam) ini muncul di layar, saya langsung sambat, “Duh Gusti, filmnya masih lama, ya?”

Biar filmnya ndak kelamaan, sang ayah mengumumkan bahwa mereka sekeluarga akan pindah ke Paris untuk mengurus bisnis restoran yang terbengkelai sejak ayah Adit meninggal. Sekeluarga langsung seneng, dong. Membuat saya makin ndak suka sama Alan, sudah aktingnya memprihatinkan, punya istri lagi hamil, masih tinggal sama ortu, dan main iya aja diajak pindah ke Paris. Kasian Bang Helmy Yahya, dua anaknya pengangguran semua!

Dan jebul saya salah. Di awal tadi saya bilang saya sudah semena-mena menyimpulkan bahwa Tita ini ndak punya pekerjaan. Ternyata dia ini dokter hewan. Adegan berikutnya adalah dia sedang mengelus dan menyuntik kucing di sebuah klinik. Jangan berharap terlalu banyak, saat menyuntik tentu saja kamera cuma menyorot mukanya Tita.

Lalu datanglah Adam, sang pria ehe ehe ehe, dengan membawa anjingnya yang segede kambing. Setelah adegan canggung pemeriksaan hewan ala ala, mereka lalu ngobrol di depan klinik. Adam terlihat sedih karena akan ditinggal Tita ke Paris. Adegan ini dilihat oleh temen Tita yang datang bersama suaminya naik mobil.

Ndak usah terlalu memperhatikan dialog Tita dan Adam, nanti sampeyan sedih. Sedih lihat aktingnya. Lihatlah betapa pedenya teman Tita yang parkir tanpa menutup kaca mobil. Ya tapi ndak papa sih, kalo kaca jendela ditutup mungkin mereka kuatir akan terlihat bayangan kamera.

Asyem tenan, kok. Sudah berusaha ndak liat aktingnya pun film ini masih tetap membuat sedih.

Singkat cerita, Tita sekeluarga sudah sampai di Paris. Mereka sempat kawatir dengan kemampuan bahasa Perancis, karena Adit ternyata ndak bisa njemput. Jiyan calon mantu kurang ajar, jauh-jauh dari Jakarta gak dijemput. Untungnya penjemput mereka adalah orang Indonesia.

Setelah pertemuan Adit-Tita yang diwarnai pertengkaran-pertengkaran kecil, yang ternyata sudah ndak lucu lagi karena mereka bukan anak kecil, ada adegan yang membuat saya nyaris bersorak. Ceritanya Adit membelikan Tita gaun untuk dipakai saat dinner. Setelah itu ada adegan mereka dinner di tempat romantis, eh tapi kok warna gaunnya beda dari yang dibelikan? Saya sudah siap-siap misuh, “Sing nggawe film pekok!” Jebul adegan itu cuma mimpi, wooo trembelane!

Beberapa adegan memang memancing tawa. Misalnya saat Tita yang sudah berbunga-bunga diajak dinner jebul cuma diajak ke McD. Tapi lama-lama saya ndak kuat juga. Di tengah pemutaran film kami memutuskan keluar dari studio. Kali ini berbeda dengan saat saya nonton Dilan. Waktu itu saya keluar bioskop sambil setengah melamun, sedih. Sekarang saya ngakak.

4 comments on “(Bukan Review) Eiffel I’m in Love 2

  1. Warm berkata:

    Njenengan ki ndak menghargai empunya biuskup. Bayar tiket penuh2 malah pulang di tengah pertunjukan. Gaya horang kayah bener hih!

    Btw misuh2nya di atas menghibur saya je ehe ehe he

    Hahahaha

  2. devieriana berkata:

    Untung belum nonton…
    Halah, kaya pernah nonton bioskop ajaaa… *self toyor*

Tinggalkan komentar