Sebuah Cerita Dari Blora

Di akhir tahun 80-an ada cerita dari sebuah kampung kecil di pelosok Blora, Jawa Tengah. Sepintas ndak ada yang istimewa dari kampung ini, hanya sebuah kampung kecil yang terdiri dari 67 rumah dengan pekerjaan penduduknya sebagian besar petani. Kampung ini terisolir, ndak ada jalan akses keluar kecuali jalan setapak di pematang sawah. Memang kampung terdekat hanya berjarak sekitar satu kilometer, tapi itupun harus menyeberangi sungai yang di musim hujan nyaris mustahil dilewati, dengan sisi terjal bersudut 45 derajad yang (lagi-lagi) juga hanya terdapat jalan setapak.

Di kampung itu hanya ada beberapa warga yang punya pesawat televisi, hitam putih tentunya. Jadi sudah jamak apabila tetangga berkumpul untuk menonton, sambil ngerumpi tanpa dotcom. Sudah biasa juga saat lagi asik-asiknya nonton pertandingan Mike Tyson tiba-tiba gambar di tipi mengecil dan semua yang ada di situ berlarian pindah ke tetangga lain yang punya tipi. Maklum belum ada listrik. Gambar di tipi mengecil adalah pertanda bahwa sudah waktunya aki distroom selama beberapa hari di kota kecamatan.

Ada seorang warga yang punya mimpi, alangkah enaknya kalau punya listrik. Berharap program listrik masuk desa? Mungkin butuh waktu bertahun-tahun lagi, mungkin pemerintah juga ndak mau melirik karena ndak ada akses jalan ke sana. Untuk membangun jalan pun mungkin pemerintah juga males karena nyaris ndak ada potensi ekonominya.

Pupuskah impian itu? Berbekal semangat warganya yang masih guyub rukun, satu-satunya warga yang berprofesi sebagai guru itu melobi PLN. Setelah beberapa kali pertemuan akhirnya PLN setuju untuk mengalirkan listrik ke kampung tersebut dengan syarat permintaan daya harus memenuhi jumlah tertentu. Warga sepakat, sebagian besar hanya memasang daya 450 watt, sedang sisa kuota daya ditanggung warga yang dipandang mampu, antara 900-2.200 watt, daya yang mungkin terlalu kecil untuk sampeyan.

Tanpa jalan akses bagaimana mengangkut tiang listrik dari beton yang beratnya berton-ton itu? Jangan remehkan tenaga petani, puluhan orang memikulnya, melewati jalan setapak yang terjal dengan bonus menyeberangi sungai. Butuh waktu berhari-hari sebelum puluhan tiang listrik itu terangkut semua.

Setelah semua tiang berhasil diangkut barulah petugas pemasang instalasi datang. Berminggu-minggu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan seluruh pemasangan instalasi di tiap rumah. Selama itu mereka menginap di rumah warga, dengan konsumsi ditanggung tuan rumah tentunya.

Perjuangan dan pengorbanan yang tidak sia-sia. Kampung itu berhasil mendapatkan penerangan listrik jauh sebelum kampung-kampung lain yang relatif lebih dekat dengan peradaban.

Hal yang paling sulit dilakukan bukanlah memikul tiang listrik, menanggung konsumsi petugas, atau yang semacamnya. Hal tersulit adalah meyakinkan semua warga bahwa dengan niat, usaha, dan doa impian itu bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.

Setelah punya listrik gotong royong warga pun menghasilkan akses jalan keluar ke tiga kampung terdekat di tiga arah berbeda, juga jembatan. Tidak perlu lagi anak berangkat sekolah dengan menenteng sepatunya, atau sepeda dititipkan di kampung tetangga. Denyut nadi perekonomian juga menjadi lebih terasa.

Tidak ada impian dan harapan sia-sia selama sampeyan punya niat, usaha dan doa untuk mewujudkannya. Saya adalah saksi dari perjuangan orang-orang sederhana dalam mewujudkan mimpinya. Kampung itu kampung saya, dan guru itu bapak saya.

31 comments on “Sebuah Cerita Dari Blora

  1. Wempi berkata:

    Wempi ada memiliki impian yang belum terwujud sampai saat ini. impian yang muncul sedari kuliah dulu. membaca tulisan-tulisan seperti ini semangat jadi membara, setelah diupayaken kok susahhhh… kok kayaknya gak bakal terwujud.

  2. luvaholic9itz berkata:

    niat, usaha, doa
    niat, usaha, doa
    niat, usaha, doa

    kalo cuma komat kamit aja emang g ada gunanya..
    menjuraaaa sama bapak nya panjenengan πŸ˜€

  3. itikkecil berkata:

    itulah kekuatan mimpi dan juga perjuangan untuk mewujudkannya….

  4. samsul arifin berkata:

    saya salut sama masyarakatnya. waktu sy kecil dulu, desa sy juga belum ada listriknya.

  5. Mawi Wijna berkata:

    Katanya dimulai dari yang kecil lama-lama menjadi besar. Mungkin juga warga sudah merencanakan sejak lamaaa untuk memasang instalasi listrik. Impian kalau dikerjakan bersama-sama kok lebih mudah terwujud ya?

  6. zefka berkata:

    wow…. mikul tiang listrik, luar biasa.
    Indahnya kebersamaan dalam mencapai sebuah tujuan, gak ada yg tak bisa dengan kerbersamaan

  7. kucingusil berkata:

    situasi serupa juga masi banyak, bahkan dekat dengan peradaban. miris sekali begitu tau ada wilayah yang tidak tersentuh listrik padahal dekat dengan ibukota 😦

    semoga dek Barra mendapatkan warisan semangat seperti kakeknya dan cara berpikir dari bapaknya πŸ™‚

  8. Chic berkata:

    eh, inget dulu waktu SD punya temen pena dari Blora.. masih ga ya tinggal di sana?
    #infogapenting

  9. sapimoto berkata:

    Mosok sampeyan gak melok nggotong tiang listrik kuwi, Om?

  10. boneth berkata:

    wah..
    mengharukan!!!

    saksi hidupnya disini.. πŸ˜€ πŸ˜€

    hurayy…!!!

  11. mbelGedezβ„’ berkata:

    .
    Eaaaalllaaah….

    Bulane postingan narsis….

    .
    **dikeplak**

  12. adipati kademangan berkata:

    hikmah dalam kenarsisan

  13. […] jadi teringat waktu pulang kampung kemaren, kebetulan di sana juga mau ada pemilihan bupati. Suatu sore ada beberapa orang ngumpul di […]

  14. […] selalu nanya ke tukang ojek yang akan mengantar saya dari tempat pemberhentian bis di kecamatan ke kampung saya yang ndeso pelosok itu, “Berapa […]

  15. […] itu setelah dengan susah payah akhirnya listrik bisa masuk ke kampung saya, bapak saya membeli radio tape. Walah, senengnya bukan main, karena selama ini hiburan saya cuma […]

  16. […] saya pulang kampung, mumpung ada liburan tiga hari. Sudah lama saya ndak nengok orang tua di kampung halaman yang walaupun terpencil dan panasnya minta ampun tapi tetep selalu ngangeni, terbayang waktu jaman kecil dulu main-main di sawah, nangkep kepiting sambil bikin suling dari […]

  17. bowo berkata:

    lah cerita sampean ngeplek ambek aku mase.

    #stein:
    podho ndesane mas? πŸ˜†

  18. Ipul (bubuhan rembng jateng) berkata:

    Na5x dsa p ea, kq kurang jelas pi aq ju2r salut pda tmen2 qt y orang petani krn dya qt jd bgni ,hdup petani

  19. […] saya cerita dulu. Simbok saya itu punya penyakit diabetes, setelah dua tahun berobat ke dokter di Blora sana dan ndak ada perubahan signifikan akhirnya saya meminta beliau untuk berobat di […]

Tinggalkan komentar