Publikasikan Pajak Pejabat Publik

Guru saya jaman SMA dulu pernah mengajarkan kalo demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang artinya rakyat dan kratein yang artinya pemerintahan. Karena itu konon katanya demokrasi berarti pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi ala Indonesia yang kita lakukan sekarang rakyat pun kelihatannya memiliki kekuasaan tertinggi, karena yang mendudukkan anggota legislatif dan memilih kepala daerah bahkan kepala negara secara langsung adalah rakyat.

“Kok kelihatannya tho Le, lha nyatanya gimana?” Tanya Kang Noyo waktu ngobrol sama saya kemaren malem di warung Mbok Darmi.

“Memang cuma kelihatannya kok Kang.” Kata saya sambil menyesap pelan-pelan kopi di meja biar lama habisnya, maklumlah, lagi puasa maupun ndak, minggu terakhir tiap bulan tetaplah tanggal tua.

Rakyat, lebih-lebih yang kecil dan kurang sugih macem saya, sebagai individu ndak bakalan dianggep dalam permainan yang disebut demokrasi ini. Layaknya lidi, dia baru berguna saat disatukan dalam jumlah yang buanyak. Nah suara yang buanyak ini sayangnya bakal cuma dipake untuk melegalisasi suatu jabatan, juga pelanggengan kekuasaan. Sekali dalam lima taun, abis itu tunggu lima taun berikutnya.

Jadi di mana kekuasaan rakyat?

“Mosok ya gitu Le, mbok jangan terlalu sinis,” Ujar Kang Noyo sambil menyalakan rokok, yang ngambil dari punya saya, sama seperti biasanya.

“Ini bukan sinis Kang, memang nyatanya begitu. Sampeyan liat saja kekuasaan itu cuma muter-muter di kalangan terbatas.” Kata saya.

Contohnya bisa sampeyan lihat misalnya di partai-partai besar, entah itu yang berwarna biru, merah, atau ijo. Para petinggi partainya mungkin ndak rela kalo kekuasaan yang susah payah mereka perjuangkan harus beralih ke orang lain, maka ditunjuklah anak, atau istri menjadi calon penerus. Dimasukkan dalam kepengurusan, didudukkan jadi anggota dewan.

Bukankah anggota dewan dipilih rakyat?

Memang, tapi seperti saya bilang tadi, sebatang lidi ndak punya arti apa-apa. Ini hanya masalah siapa yang mampu mbeli seikat sapu lidi.

Urusan jadi kepala daerah pun begitu, mungkin karena merasa saking enaknya jadi raja kecil membuat beberapa orang enggan melepas kekuasaannya. Jabatan boleh lepas karena maksimal masa jabatan memang hanya dua kali, tapi kekuasaan harus tetap bertahan.

“Maksudmu piye Le?” Tanya Kang Noyo.

Mungkin sampeyan masih ingat drama pemilihan bupati di Kediri, dua istri bupati sebelumnya berebut jabatan yang akan ditinggalkan suaminya. Siapapun yang menang bupati sebelumnya tetep bisa mengangkangi tho? Wong dia suami mereka berdua. Bisa sampeyan lihat juga di Indramayu. Bahkan yang bapaknya dipenjara karena korupsi dan anaknya konon pernah jadi bintang video porno pun tetep berhasrat melanggengkan kekuasaan, dan mereka bisa.

Kang Noyo bilang biarkan saja, karena mereka terpilih berarti mereka memang dapet legitimasi dari rakyat. Saya ngeyel, saya bilang ini bukan masalah legitimasi, ini cuma masalah kecanduan kekuasaan yang dibarengi kemampuan untuk beli beberapa ikat sapu lidi. Yang kemudian menimbulkan pertanyaan berikutnya, mengingat bayaran sebagai bupati itu ndak seberapa, sedangkan biaya untuk maju sebagai calon kepala daerah butuh biaya yang lumayan besar, darimana mereka dapet duit?

“Mbok jangan suudzon tho Le.” Kata Kang Noyo.

Memang ndak boleh suudzon, apalagi pas puasa kayak gini.

Tapi kalo memang orang-orang yang berada di puncak kekuasaan ini mau dapet legitimasi, bisa lebih dipandang jujur dan bersih, saya ada satu usulan.

“Opo Le?” Tanya kang Noyo.

Publikasikan laporan pajak mereka tiap tahun!

Seperti sampeyan tahu, laporan pajak pada dasarnya memuat tiga hal yang seharusnya selalu proporsional, penghasilan, harta, dan hutang. Kalo misalnya sampeyan cuma berpenghasilan Rp 50 juta setahun, sepertinya ndak masuk akal kalo sampeyan berani maju jadi calon bupati. Lebih ndak masuk akal lagi kalo misalnya ternyata dengan penghasilan segitu sampeyan punya rumah di kawasan elit lengkap dengan mobil CBU senilai hampir Rp 400 juta.

Kalo perlu dibuat ketentuan khusus agar kerahasiaan data wajib pajak dikecualikan untuk para pejabat publik, supaya rakyat juga bisa ikut memantau tingkat kejujuran para pemimpinnya. Boleh-boleh saja pejabat sugih, yang penting jelas sumber penghasilannya, dan dibayar pajaknya.

“Misalnya data pajek dan kekayaan bupati itu beneran dibeber efeknya bisa merembet lho Le.” Kata Kang Noyo.

“Merembet piye Kang?” Tanya saya.

“Yang jelas orangnya jengkel tho, karena jengkel mungkin dia akan ngutik-utik yang lain biar sama-sama merasakan. Bisa saja nanti data penghasilan dan kekayaan anggota dewan yang selama ini ditutup-tutupi mendadak terbuka. Sudah biasa tho mereka main buka-bukaan kartu.” Kang Noyo ngakak.

Saya mesem, kali ini saya setuju sama jalan pemikiran Kang Noyo, jahil tenan.

Jiyan!

15 comments on “Publikasikan Pajak Pejabat Publik

  1. Mas Adien berkata:

    Ya seperti halnya LHKPN yg boleh diketahui publik…bahkan kl ada yg ga pas masyarakat dapat menyanggahnya asal disertai bukti…..seandainya …

  2. mawi wijna berkata:

    tapi perlu diwaspadai juga, kalau sudah masuk ranah politik, apapun bisa dilakukan untuk menyentil tangan-tangan yang berniat jahil macamnya Kang Noyo ituh 😀

  3. bluethunderheart berkata:

    blue suka postingan ini
    salam hangat dari blue

  4. fajarmcxoem berkata:

    kang noyo.. hmmm boleh dikenalin neh haha
    kunjungan pertama! Salam 😀

  5. Jafar Soddik berkata:

    Mungkin seandainya kalau semua pejabat dan pribadi di Indonesia ini jujur dalam masalah pajak serta juga jujur dalam pengelolaannya, Indonesia akan menjadi negara yang makmur 😀

  6. Cara beli rumah berkata:

    makin di bicarain makin capek,..

  7. 1nd1r4 berkata:

    hidup udah banyak masalah, tambah mumet mikirin para pejabat….hehehe 🙂 lama ga mampir, pa kabar mas?

  8. devieriana berkata:

    Eh, LHKPN ya? Lha, ini saya lagi pegang formnya tapi buat pejabat diatas saya 😆

  9. nDaru berkata:

    OK lah, dilaporin..lalu kalok udah dilaporin njur piye? ha wong kemaren di pengadilan itu si gayus sudah nyanyi, siapa2 aja pejabat2 polri dan kejaksaan yang ikutan pat gulipat pantat bantat di kasusnya aja ndak ada yang dipanggil ke persidangan kok..apalagi yang cuman laporan pajek…saya berani nebak, laporan itu ya cuman berhenti di laporan, pejabat yang bersangkutan bakal ngeles macem kancil abis nyuri timun pak tani, yang ada apa? kita rakyat kecil yang megang duit 100 rebu aja jarang2 jadi ngiler doang

  10. chocoVanilla berkata:

    Pejabat mesti lapor pajak? Hmmm,lahan basah untuk staf ahli manipulasi pajak 😀

  11. yuduto berkata:

    setuju bro….tapi apa ada yang berani??

  12. […] memang ngajak ngobrol beliau soal pajek. Beberapa waktu yang lalu saya sempet melontarkan ide untuk mempublikasikan laporan pajek pejabat/calon pejabat publik. Bukan tanpa alasan tentunya, minimal sebagai salah satu tolok ukur kejujuran mereka. Kalo […]

  13. Antyo Rentjoko berkata:

    Transparansi pajak juga berlaku buat orang swasta mestinya, terutama perusahaan terbuka karena sahamnya dimiliki oleh khalayak. Gak bisa gaji dirahasiakan atas nama privasi. Di negeri maju, gaji tahunan dan bonus plus lainna para CEO diketahui oleh publik. Di sini sudah mulai, tapi belum meluas, misalnya gaji direksi Bank Mandiri dan bonusnya.

  14. joker berkata:

    wah ulasan yang menarik..

  15. […] secara pribadi saya mendukung ide untuk mempublikasikan laporan pajak pejabat publik, tapi Pasal 34 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan jelas mengatur kerahasiaan data […]

Tinggalkan komentar