Whistleblower

Dalam pemahaman buruh pabrik macem saya, whistleblower artinya adalah peniup sempritan, keahlian yang banyak saya temui dalam kehidupan sehari-hari dalam wujud tukang parkir atau wasit sepakbola, tapi menurut Mbah Wiki, whistleblower artinya adalah orang yang memberitahukan kepada publik atau pihak berwenang tentang dugaan ketidakjujuran atau tindakan ilegal yang terjadi di pemerintahan, organisasi publik atau swasta, atau perusahaan.

“Wong mau bilang pengadu saja pake acara mbulet kesana-kemari tho Le.” Potong Kang Noyo sambil memainkan sebatang rokok, baru saja ngambil punya saya tentunya.

Satu hal yang saya suka dari temen saya ini adalah dia cenderung lugas, ndak seneng basa-basi. Walaupun kadang jadi terkesan asal tabrak sana-sini, tapi sikapnya jujur, tanpa tedheng aling-aling, beda sama saya yang cenderung banyak rikuhnya, sungkan.

“Menurut sampeyan pengadu itu gimana Kang?” Tanya saya.

“Kamu itu lho, pertanyaan kok diulang-ulang, dulu kan kamu sudah pernah nanya!” Jawab Kang Noyo.

Asyem!

Saya mengingat-ingat jawaban yang dulu pernah diberikan Kang Noyo. Antara lain bahwa mengadu adalah perbuatan manusia, makhluk yang konon diciptakan hanya untuk beribadah kepada Penciptanya, yang berarti mengadu pun harus diniatkan sebagai ibadah. Sebagai ibadah, mengadu harus dilihat dalam tiga unsur: terpenuhi syaratnya, baik niatnya, dan bener dalam rukun atau tatacaranya.

“Memangnya kamu mau ngadu opo piye tho Le? Ati-ati lho, banyak yang ndak suka sama pengadu, soale mbikin suasana jadi ndak harmonis, ndak tentram.” Kata Kang Noyo.

“Ndak kok Kang, saya ndak pengen seperti yang di Surabaya kemaren.”

Kalo mungkin sampeyan belom denger, di sebuah SD kecamatan Tandes, Surabaya, ada seorang ibu yang mengadu ke Dinas Pendidikan karena anaknya diminta memberikan contekan oleh sang guru kepada murid yang lain. Setelah berita ini sampai ke media, yang terjadi adalah para tetangga, wali murid, beserta anak-anaknya rame-rame mendemo Ibu Siami, sang whistleblower. Insiden tersebut sepertinya cukup serius, hingga menyebabkan Walikota Surabaya mendatangi rumah Ibu Siami dan memberi jaminan keamanan.

Berhenti sampe di situ?

Belum sodara-sodara, dua hari kemudian para wali murid kembali berunjuk rasa di rumah Ibu Siami. DPRD Surabaya pun menggelar rapat dengar pendapat yang menghasilkan putusan meminta walikota mengusut kasus ini hingga tuntas. Sehari kemudian kepala sekolah dan dua guru yang diindikasikan terlibat dicopot.

Selesai?

Masih belum juga sodara-sodara, sehari kemudian warga kembali mendatangi rumah Ibu Siami dan menuntutnya untuk minta maap. Dan yang paling mbikin saya miris adalah pada saat diadakan pertemuan yang sedianya dimaksudkan sebagai momen bagi Ibu Siami untuk minta maap, ada wali murid meneriaki beliau sebagai orang yang ndak punya hati nurani. Mereka juga menuntut agar keluarga Ibu Siami yang cuma berprofesi sebagai buruh dan tukang jahit itu diusir dari kampung.

“Welhah! Piye tho??” Kang Noyo menunjukkan mimik gemes.

“Lha itu Kang, wali murid ada yang beranggapan kalo contek-contekan waktu ujian itu sudah biasa, wajar bekerjasama demi kelulusan dan nama baik sekolah, toh ini untuk kepentingan bersama.” Nada saya agak getir.

Saya merasa masyarakat kita memang sakit, standard benar salah kadang kebolak-balik dengan standard normal atau menyimpang. Kesalahan yang sudah umum dilakukan lama-lama kelihatan normal, dan yang kelihatan normal akan dianggap sebuah kebenaran. Yang berarti apabila sampeyan melakukan kebenaran yang sesungguhnya malah jadi kelihatan menyimpang, dan itu akan dicap sebagai sebuah kesalahan.

Agak ironis, setelah sibuk mencaci maki koruptor, birokrat busuk, legislator mesum, dan segala macemnya, kemudian merestui anak-anaknya untuk tolong-menolong dalam perbuatan ndak bener. Lebih parah lagi saat praktek ndak bener itu dibongkar mereka marah-marah sambil menyebut yang mbongkar adalah orang ndak punya nurani.

“Yo ndak sama tho Le, wong kejahatan serius kok kamu samakan dengan orang contek-contekan.” Sergah kang Noyo.

Mungkin ndak sama, tapi dengan godaan kecil macem contek-contekan saja sampeyan ndak bisa nahan, apalagi kalo ketemu godaan gede. Agak muluk menurut saya kalo sampeyan melindungi kecurangan yang dilakukan waktu mereka kecil tapi menuntut mereka punya integritas moral tinggi saat dewasa.

Jiyan!

*gambar ngambil dari http://www.menwithfoilhats.com/

9 comments on “Whistleblower

  1. plukz berkata:

    padahal sedikit- sedikit menjadi bukit kuwi berlaku untuk banyak hal ya 😐

    mumet tenan iki wargane, ora isin malah nyathek

    #stein:
    sudah lama ndak denger peribahasa ini 😆

  2. Jauhari berkata:

    Kalok saya yang salah kok ya cenderung diem ya mas, malu juga soalnya, namanya hati itu ukurannya jelas mas

    #stein:
    ngukur hati gimana caranya mas?

  3. mikhael berkata:

    selama tujuannya utk memperjuangkan kebenaran serta tidak bertentangan dengan nilai2 moral, hukum, agama, dsb, maka jangan takut untuk menyuarakan keadilan selantangnya.

    pendapat saya, negeri macam kita ini sering banyak kacaunya karena orang ndak ada yang berani jadi peniup peluwit, maklum, sudah disumpel pake duwit. yang idalis tinggal segelintir, itupun dibekap dgn berbagai cara. maka marilah kita semua mati perlahan-lahan.

    saya sangat suka postingan ini.

    #stein:
    kalo kata senior saya negeri kita ini SDM: selamatkan diri masing-masing 😆

  4. fajarnugroho berkata:

    lha wong pemimpinnya aja korupsi berjamaah hehe..

    #stein:
    ya ndak usah ditiru tho 😀

  5. Vicky Laurentina berkata:

    Dulu, waktu saya masih sekolah di tempat berseragam, saya juga mikir kalau nyontek itu nggak boleh. Sampek hari ini, saya juga tetap percaya bahwa nyontek itu tidak boleh.

    Pada waktu saya tamat SMP dan mau daftar SMA, saya diberitahu bahwa kawan saya yang NEM-nya jeblok, bisa masuk SMA favorit karena ayahnya yang pejabat di perguruan tinggi di kota saya kongkalikong dengan Dinkes kota untuk menyulap NEM-nya menjadi tinggi.

    Artinya apa? Percuma kita teriak-teriak bilang nyontek itu haram, karena toh Dinkes sebagai penertib dalam urusan akhlak murid-murid Indonesia masih rela membiarkan anak yang angka ujiannya jelek menjadi angka bagus. Cuma demi mengejar sebuah kursi di sebuah SMA.

    Selama hukum masih bisa dikongkalikong, Mas Stein, whistleblower adalah kedudukan yang sangat sia-sia.

    #stein:
    agak susah memang, kita mau nunggu semua jadi bener baru ikut bener atau kita berbuat bener dulu siapa tau yang lain ikut bener 😀

  6. mawi wijna berkata:

    menginspirasi saya untuk nulis artikel di blog:
    http://hidup.mblusuk.com/452-Jujur-itu-Kelainan.html

    mungkin karena jujur itu merepotkan dan orang tidak suka repot, maka jujur itu dijauhi, mereka yang jujur dianggap sebuah kelainan…

    #stein:
    repot, karena tolok ukurnya adalah umum ndak umum, bukan lagi benar salah

  7. Asop berkata:

    Penduduk Gadel sana udah “sakit”…. 😦

    Saya baca di sini, menyedihkan sekali nasib Bu SIami. 😥

    Lalu, gimana menurut Mas Stein terhadap narablog ini?

    #stein:
    prihatin, saya setuju kalo menghakimi anak SD dengan predikat lulus gak lulus cuma berdasar UN itu ndak fair, tapi apapun alasannya nyolong tetaplah nyolong.

  8. chocoVanilla berkata:

    Saya sangat prihatin, Mas. Ini bentuk brainwash sederhana. Anak-anak yang masih polos yang seharusnya diajari bahwa nyontek itu tidak benar kok malah disuruh nyontek 😦

    Saya tetep ndukung Ibu Siami ini. Seorang martir memang harus rela disakiti untuk mewartakan kebenaran.

    #stein:
    betul, harusnya nyontek itu ndak perlu dianjurkan, biar dia tumbuh alami *eh*

  9. Dilematis sebetulnya Kang. Kebenaran memang harus disampaikan walau pait. Dan yang lebih parah kadang malang mencederai diri sendiri. Kadang saya sendiri aja suka sulit kalau menjaga yang baik tetep baik. Kadang kita manusia juga sering luput dari kesalahan. Nah, masalahnya, apakah itu bisa dimaklumi? 😀 *tanya sama rumput yang bergoyang*

Tinggalkan komentar