Hear Nothing See Nothing

Beberapa hari ini saya merasa anyel tenan, kalo kata orang Inggris sana saya lagi ndongkol, sebel yang berlangsung terus-menerus dalam waktu tertentu. Untungnya (lha ini, saya bersukur karena konon dalam kondisi apapun orang Jawa itu selalu untung) rasa anyel itu hanya berlangsung pada waktu tertentu, walaupun secara berlanjut.

“Ngomong kok pasti mbulet. Kamu sebel itu kenapa?” Tanya Kang Noyo kemaren sore, waktu lagi ngobrol nggedabrus di warung kopinya Mbok Darmi.

“Itu lho Kang, saya anyel liat kelakuannya si Paimo!” Kata saya agak bersungut-sungut.

Jadi ceritanya di pabrik itu ada anak baru masuk, namanya Paimo, baru lulus sekolah kemaren. Yang mbikin saya sebel kelakuannya itu lho, namanya anak baru mbok ya ada hormat-hormatnya sedikit sama yang lebih lama macul di pabrik, lha ini sama yang lebih tua sikapnya kayak ndak punya sopan santun.

Sudah gitu orangnya suka mepet-mepet sama Pak Mandor, tipikal oportunis nan penjilat. Belum lagi tiap ada masalah riwilnya setengah hidup, bukannya dipelajari dulu di mana letak masalah dan kemungkinan penyelesaiannya langsung nyerocos nanya kiri kanan atas bawah, hal sepele sekalipun. Pendek kata, dia ndak perlu ngomong, mukanya itu sudah jumotos alias muka minta dijotos.

“Huahahaha! Kamu itu kok ya ada-ada saja, mosok ada muka jumotos?” Kang Noyo ngakak.

“Lho! Beneran ini Kang, kalo sampeyan ndak percaya coba tanya temen-temen yang lain, rata-rata juga pada ndak suka sama dia kok.” Kata saya dengan nada anyel seanyel-anyelnya.

“Sabar Le, ya itu namanya hidup di dunia, banyak warnanya. Mosok ya semua jadi santri, kalo ndak ada yang maling nanti polisi kerjanya apa?” Ujar Kang Noyo.

Wew! Mosok ya bisa begitu analoginya.

“Kalo ada buah jatuh di dekatmu, ada suaranya ndak?” Tanya Kang Noyo.

“Yo ada Kang.” Jawab saya.

“Kenapa kamu bilang ada suaranya?” Tanya Kang Noyo lagi.

“Lho piye tho Sampeyan ini, ya karena saya dengar sendiri.” Jawab saya.

“Kalo misalnya ada buah jatuh di tengah hutan sana, ada suaranya ndak?” Lagi-lagi Kang Noyo mengajukan pertanyaan aneh.

“Yo mestinya ada.” Jawab saya.

“Kenapa kamu bilang ada? Kan kamu ndak denger suaranya?” Tanya Kang Noyo.

“Kalo ada buah jatuh di dekatmu dan kamu nutup kuping, ada suaranya ndak?”

Saya diem, mencoba menerka arah pembicaraan Kang Noyo.

“Orang gila yang nari telanjang di kegelapan mungkin kamu anggap ndak ada karena kamu ndak liat. Sama dengan orang nari telanjang di depanmu tapi kamu merem, sama ndak liatnya juga.” Lanjut Kang Noyo.

“Maksud Sampeyan opo tho Kang?” Tanya saya ndak ngerti.

“Kadang orang merasa terganggu karena apa yang dilihat dan didengarnya, padahal dia bisa milih untuk mengabaikan. Kayak kamu itu! Lha mbok biarin si Paimo mau ngapain aja, ndak usah ngorbankan waktu untuk merasa anyel atau mbuang energi untuk marah-marah.” Jawab Kang Noyo.

“Tapi memang orangnya nganyelke kok Kang, menyebalkan!” Ujar saya ngeyel.

“Memangnya kenapa kalo dia menyebalkan? Percaya tho, semua orang akan mendapat apa yang memang dia layak dapatkan. Kalo memang dia semenyebalkan yang kamu ceritakan, suatu saat pasti akan kena batunya.” Kata Kang Noyo.

“Sukur-sukur kalo kamu mau ngobrol sama dia, kasih tau apa yang kurang enak dari sikapnya. Sesama manusia kan wajib saling mengingatkan, siapa tau dia sebenernya merasa biasa saja, ndak sadar kalo sikapnya ndak enak diliat.” Lanjut Kang Noyo.

“Kalo ternyata masih tetep menyebalkan?” Tanya saya.

“Yo dijotos saja, mungkin itu memang sesuatu yang layak dia dapatkan.” Kang Noyo ngakak.

Jiyan!

 

*gambar ngambil dari sini

*dobosan ndak mutu ini sudah pernah dipajang di ngerumpi

16 comments on “Hear Nothing See Nothing

  1. Abi Sabila berkata:

    makhluk setype dengan Paimo dalam kisah ini memang hampir selalu ada di setiap waktu dan kesempatan, ups! maksud saya di setiap tempat, termasuk di tempat saya menjemput rizki. Awalnya memang terasa mengganggu, tapi lama-lama benar apa yang dikatakan Kang Noyo, wis jarne wae, ben polah sawarege, yang penting kita jangan meniru sesuatu yang kita membencinya. Cukup ambil hikmah dan jadikan pelajaran saja.

  2. itikkecil berkata:

    orang yang kayak gitu bagusnya didiemin aja… kalo masih nyebelin juga? memang bagusnya dijotos 😆
    *nonton mas stein njotos Paimo*

  3. mandor tempe berkata:

    kok masih ingat jaman nama “paimo” itu digunakan sebagai olok-olokan masa kci dulu 😀

  4. Wah, artikel yang mencerahkan yg ditulis dengan lugas.
    Terima kasih

  5. bowo berkata:

    hadeuuuuh nasibmu mo mo

  6. chocoVanilla berkata:

    Saya punya temen kayak gitu di kantor. Public enemy. Selama gak ganggu kerja saya sih diemin aja, tapi kalo sampe menyenggol area saya, woooo…. lihat saja nanti 😀

    Emang orang modek gitu dimana-mana ada, Mas. Rupo jumotos dan kumeplak (hayah, opo meneh? 😆 )

  7. sons berkata:

    kwkwkwkw. . . . Kang noyo bener tenan, setuju. . . Kandhani gak kenek, jejek ae. . . . Nang pabrikku yo onok ngono iku, untung (yo kan, wong jowo. . . Setuju karo awakmu sam, ndhase ora melu, awakmu ae. . .Kwkwkw) ora sak ruangan karo aq. . . Critomu jan siiipp tenan. . .

  8. nDaru berkata:

    Langsung jotos saja paklek..siapa tau tangan kita itu memang utusan Tuhan buat ngingetin si Paimo itu

  9. nDaru berkata:

    oiya mau ngoreksi sedikit..ndongkol itu bukan bahasa inggris, itu bahasa Rusia kuno

  10. Wati berkata:

    bahasa jawa neh….aku kan ga ngerti….. 🙂

  11. Lutfi Retno Wahyudyanti berkata:

    Iya, ya. Kadang orang suka melihat apa yang ingin dia lihat saja dan sering tidak merasa apa yang ia lakukan mengganggu orang lain

  12. mawi wijna berkata:

    saya mrasa sebagai Paimo… (Doh!)

  13. karya2011 berkata:

    […] artikel- mastein gambar – uddebatt This entry was posted in cerita warung. Bookmark the permalink. […]

  14. pricrimbun berkata:

    ih benner-benerlah orang yang kayak gitu…. bikin kesal.

  15. Kembu berkata:

    oooalah le le…
    paimo paimo, pasti rung tau dibandhem henpon poligamik.

  16. dobelden berkata:

    ditraktir wae.. biasanya cah anyaran sok njaluk traktiran

Tinggalkan komentar