Pilihan yang Diwajibkan

Sebut saja namanya Ngadiman. Lelaki umur tigapuluhan yang menghabiskan masa kecilnya di sebuah dusun kecil pelosok Jawa Tengah. Tempat di mana Ngadiman kecil terbiasa berangkat sekolah sambil menenteng sepatu. Melewati pematang sawah yang hampir mustahil dilalui kendaraan saat musim hujan, sekelas sepeda pancal sekalipun. Di sana, malam-malam dihabiskan tanpa penerangan listrik. Dan tak ada jaringan telepon juga, tentu saja.

Sekian tahun berlalu. Dusun itu sekarang telah menikmati percik peradaban. Anak-anak berangkat sekolah tanpa harus menenteng sepatu. Walaupun jalan yang dilewati masih berupa campuran pasir dan batu yang berhias kubangan lumpur saat musim hujan. Televisi dan kulkas pun sudah jadi barang yang jamak semenjak listrik mengalir di sana. Namun tetap belum ada satu pun tiang telepon tertanam. Jaringan selular yang masih berada di tingkat 2G juga sering timbul tenggelam.

Namun lupakan sejenak dusun itu. Sekarang Ngadiman sudah jadi orang kota. Sekolahnya gak tinggi-tinggi amat, tapi lumayan. Penghasilannya pun tak tinggi-tinggi amat, tapi cukupan. Satu hal yang jelas membedakan dengan orang-orang di dusun asalnya: akses online untuk banyak hal yang dia butuhkan.

Misalnya sekarang, saat Maret hampir berakhir. Sebagai warga negara yang baik, Ngadiman tahu akhir Maret adalah batas waktu pembayaran PPh Pasal 29 serta pelaporan SPT Tahunan Orang Pribadi.

Repot? Tentu tidak, Boss. Ngadiman membuka laptop. Dengan koneksi 4G-nya, dia membuka situs djponline, lalu mendownload E-form. Hanya perlu waktu beberapa menit untuk mengisi hingga tahu berapa pajak yang harus dibayarnya. Setelah itu dia kembali ke situs djponline, lantas membuat kode billing. Langkah berikutnya adalah membuka internet banking, lalu menyelesaikan pembayaran.

Mudah, cepat, dan yang pasti, kekinian.

Mungkin ilustrasi semacam itulah yang terbayang di benak para penggagas efiling dan ebilling, salah dua di antara sekian banyak fasilitas online yang ada di Direktorat Jenderal Pajak. Wajib Pajak sekarang adalah generasi milenial yang tak bisa jauh dari gawai. Transaksi online menjadi sebuah kebutuhan. Dan DJP wajib memberi fasilitas semacam itu apabila tak mau tergilas jaman.

Tidak sulit untuk bisa memanfaatkan kedua fasilitas tersebut. Kamu cuma butuh alamat email yang masih aktif, nomor selular, dan NPWP, tentu saja. Alamat email dan nomor selular adalah dua hal yang semua orang pasti punya. Ayolah, jaman sekarang, siapa sih yang tak punya akun facebook? Dan bukankah butuh alamat email untuk mendaftar di facebook?

Benar begitukah?

Tentu saja benar, apabila yang dimaksud adalah wajib pajak dengan latar belakang seperti Ngadiman. Tinggal di wilayah yang internetnya bersahabat, juga memiliki pengetahuan serta sarana yang cukup untuk menggunakannya.

Kenyataannya, banyak tetangga dan kenalan Ngadiman yang sejak kode billing diwajibkan, pembayaran pajaknya jadi bolong-bolong. Bukan karena mereka tidak mau bayar, namun karena ruwetnya prosedur yang harus mereka jalankan untuk membayar.

Lho, bukankah cara membuat kode billing itu mudah? Bahkan kalau pun wajib pajak tidak bisa menggunakan internet, mereka masih bisa memanfaatkan sms dari Telkomsel, atau bahkan dengan ATM. Mereka juga bisa membuat kode billing di kantor pos atau bank persepsi.

Argumen di atas bisa saja dibahas satu per satu. Namun sebenarnya cuma satu hal yang membuat kode billing menjadi terlihat begitu merepotkan bagi banyak wajib pajak: dulu proses membayar pajak sangatlah sederhana, isi Surat Setoran Pajak lalu setor.

Begitu pun yang terjadi pada efiling. Efiling bisa diibaratkan sebuah jalan tol. Sepatutnya orang bergembira dengan adanya jalan tol karena perjalanan bisa berlangsung lebih cepat. Namun akan lain ceritanya apabila jalan tol tersebut dijadikan satu-satunya akses dengan menutup kesempatan melewati jalan arteri. Fasilitas yang seharusnya cukup dijadikan pilihan untuk mempermudah pelaporan Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan, ternyata diwajibkan bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu.

Tiap akhir Maret selalu saja antrian berjubel di meja konsultasi Kantor Pelayanan Pajak. Bukan untuk bertanya detail teknis pengisian SPT yang rumit. Mereka adalah para wajib pajak yang diwajibkan melaporkan SPT secara online, namun tak tahu caranya. Dan lagi-lagi mereka bicara tentang kesederhanaan: dulu melaporkan SPT cukup dengan mengisi beberapa kolom lalu serahkan.

Para wajib pajak yang berbeda latar belakang dengan Ngadiman ini tentu tak bermaksud menghalangi jaman. Direktorat Jenderal Pajak patut mendapat apresiasi atas segala fasilitas yang mereka sediakan. Namun layaknya sebuah fasilitas, seharusnya cukup dijadikan pilihan, bukan diwajibkan. Karena sesuatu yang diwajibkan acapkali justru merepotkan.

Kalian, generasi millenial, mungkin perlu mendengar cerita Ngadiman saat membantu tetangganya mengisi formulir untuk registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak yang pernah diadakan DJP. Salah satu isiannya adalah alamat email.

“Alamat emailnya apa, Pak?” Tanya Ngadiman saat itu.

“Sama, Mas.” Jawab si Bapak PKP.

“Sama gimana?” Ngadiman bingung.

“Sama dengan alamat rumah saya.”

Jiyan!

4 comments on “Pilihan yang Diwajibkan

  1. 57Promenade berkata:

    hahahahah.. boleh juga buat inspirasi buat alamat email ya

  2. […] Catatan redaksi: versi asli tulisan ini dapat dibaca di blog pribadi penulis. […]

  3. kecenkhimura berkata:

    kritis dg pengetahuan dan bidang yang digeluti…manteeep tnann luurr…

  4. Sky House BSD berkata:

    hahahaha, lucu bnget ide yang bagus tuh.

Tinggalkan komentar