Ini Bukan Pajak Warteg

“Memang ndak mutu tenan kok Le, mosok warteg saja disuruh mbayar pajek! Mbok ya pemerintah itu mikir, gimana biar rakyat kecil itu ndak makin susah,mbantu gimana caranya biar usaha yang dilakukan bisa cepet maju. Ini lho yang jualan orang kecil, yang beli juga orang kecil, kok ya tega-teganya dipajeki!” Gerutu Kang Noyo begitu saya duduk di warung Mbok Darmi tadi sore.

Saya mesem, wacana Pemda DKI yang konon mau memungut pajak dari pengusaha warteg memang masih anget, dan seperti biasa, pungutan pajak ndak pernah jadi kebijakan populer. Kalo sampeyan liat komentar yang muncul di media hampir semuanya negatif, dan itu wajar karena menurut definisinya pajak memang sifatnya dipaksakan, artinya sudah fitrah manusia susah untuk bisa ikhlas mbayar pajek.

“Ini bukan masalah ikhlas ndak ikhlas Le, yang mau dipajeki ini bukan orang kaya! Dan lagi Nabi saja cuma minta 2,5%, kok pemerintah maunya 10%!” Kang Noyo makin muntab.

“Padahal yang 2,5% perintah agama saja banyak yang ngemplang yo Kang, apalagi ini yang cuma perintah manusia.” Sahut saya kalem.

“Sik tho Kang, sebelum mulai protes ndak ada salahnya kita sedikit belajar dulu, jadi nanti kita bener-bener tau apa dan siapa yang kita omeli.” Lanjut saya.

Kopi sudah siap, rokok sudah dinyalakan, saatnya nggedabrus.

Yang pertama harus diketahui bahwa yang mau dikenakan oleh Pemda DKI tersebut bernama pajak restoran, termasuk golongan pajak daerah, artinya bukan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pajak restoran sendiri termasuk golongan pajak objektif, yang dipajeki bukan orangnya tapi transaksinya, alias dia ndak liat apakah orang yang mau dipajeki ini orang mampu atau ndak, pokoknyatm kalo dia mengkonsumsi ya kena pajek.

Ada beberapa orang yang salah kaprah menyebut pajak restoran sebagai PPN, Pajak Pertambahan Nilai. Sedikit mirip memang, tapi sebenernya yang kadang tercantum di struk restoran adalah PPn (dengan n kecil) yang berarti Pajak Penjualan. Yang dipajeki juga berbeda, Pajak Penjualan mengincar keseluruhan nilai yang dijual, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai pada dasarnya hanya mengincar pertambahan nilai barang yang dijual saja.

“Halah mbulet wae kowe iki, intinya makan di warteg dipajeki tho?!” Potong Kang Noyo.

“Betul Kang, tapi paling ndak sampeyan harus tau siapa yang sebenarnya menanggung beban pajak ini. Pengusaha warteg di sini cuma berfungsi sebagai pemungut pajeknya, yang dipajeki transaksinya, sedangkan yang nanggung konsumennya.” Ujar saya perlahan-lahan.

Dan lagi, sebenarnya di Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi asal-muasal keluarnya wacana ini ndak ada istilah pajak warteg, pasal 1 ayat (22) menyebutkan :

Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

Sedangkan ayat 23 menjelaskan definisi restoran:

Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

Subjek, Objek, Wajib Pajak, dan apa yang menjadi dasar pengenaan pajak sudah jelas diatur di pasal 37-40 Undang-undang Pajak Daerah. Wewenang Pemda dalam Undang-undang tersebut adalah menetapkan batas nilai penjualan yang bisa dipajeki (pasal 37 ayat 3), dan berapa tarif pajeknya(pasal 35 ayat 2).

“Jadi kalo menurut saya lucu Kang, kok yang mencuat cuma warteg.” Ujar saya sambil nyeruput kopi perlahan.

Masalah tidak adanya pembukuan di warteg mungkin bisa jadi kendala, walaupun ada pendekatan lain yang bisa dipake untuk ngitung omzetnya, tapi menurut saya bukan itu poin utamanya. Yang jadi masalah adalah adanya batasan omzet yang tidak dikenakan pajak, artinya nanti bakal terjadi pembeli warung A harus nanggung pajak sedangkan pembeli warung B ndak kena. Akhirnya semua jadi pada berebut untuk punya omset di bawah 60 juta setahun.

“Mosok ya ada orang yang pengen omsetnya kecil?” Tanya Kang Noyo.

Saya cuma meringis sambil nyebul asap rokok, ndak cuma yang 60 juta, pengalaman membuktikan batasan kena PPN yang 600 juta juga membuat banyak orang ngaku jualannya ndak sampe 600 juta.

“Banyak hal yang harus dipikir di sini Kang, mulai dari efek sosialnya, itung-itungan biaya penagihan dibanding pajaknya, sarana administrasi, pengawasan, sampe integritas birokrat dan juga kesadaran warganya.”

Sambil pamitan saya letakkan uang seribu di depan Mbok Darmi buat mbayar kopi, murah meriah, maklum level buruh pabrik.

Mendadak Mbok Darmi teriak, ” Mas, kurang seratus rupiah!”

Lho? Biasanya seribu kok!

“Pajak Penjualannya Mas.”

Sambil mbesengut saya taruh duit cepekan, mungkin mulai besok saya ngopi di rumah saja.

Jiyan!

8 comments on “Ini Bukan Pajak Warteg

  1. kang mas berkata:

    pencerahan πŸ˜€

  2. rizal berkata:

    numpang ngelink tulisan mas, kebetulan topiknya sama tapi gaya bahasanya beda http://hitungpajak.wordpress.com/2010/12/06/pajak-warteg/ .. hehe.. izin nge link blognya juga mas. kalo berkenan mbok blog saya juga di link.. matur nuwun

    #stein:
    monggo

  3. lintas-oto.info berkata:

    Tentara AS Ciptakan Mobil Perang Terbang…

    Mantaf artikelnya gans… senang bisa berkunjung ke situsnya :)…

  4. Chic berkata:

    ahahahahahaha iya, ini pertanyaan saya kemaren pas waktu usulan pajak warteg itu lagi panas. Karena dengernya dikit-dikit dan tidak menyeluruh saya bingung ini yang dimaksud pajak apa? Pajak Penjualan atau Pajak Penghasilan?

    Kalo Pajak Penjualan kan yang dikenai pajak adalak kita yang makan, ngapain si warteg-nya yang ribut, wong pendapatannya ga berkurang kok πŸ˜†

    masalahnya adalah gimana cara pembuktian potongan pajaknya? wong kalo makan di warteg ga pake nota kok πŸ˜†

    #stein:
    sebenernya yang nantinya bikin ribut adalah karena ada pajak 10% jadinya harga jatuhnya lebih mahal. karena itungannya gak jelas dan pasti ndak rata mbayar pajeknya nanti ada kemungkinan warung A ngasih harga 5000, warung B harga 5200, warung C harga 5500.

    tapi mungkin perlu diteliti juga seberapa tingkat elastisitas permintaan nasi warteg (bahasa opo iki?)

  5. ndaru berkata:

    intinya ya kita nambah 10% kalok mau makan di luwar, ha mending pulang to makan dirumah endak ada pajeknya

    #stein:
    sepakat mbak, itu yang namanya menghindari pajak secara legal πŸ˜†

  6. alice in wonderland berkata:

    walah yang merugi ya kayak saya ini dunk, mahasisiwa berkantong pas-pasan yang menjadi langganan warteg, udah itungannya gak jelas, pajaknya pasti tak jelas pula πŸ˜‰

    #stein:
    sebenarnya itungan gak jelas pun kalo semua masuk kantong negara juga sudah lumayan kok mbak πŸ˜€

  7. mawi wijna berkata:

    Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Objektif, mumet saya Kang…apa ndak ada pajak yang ndak motong uang yah? :p

    #stein:
    tentu ada, dulu adik kelas saya dipajeki di tempat main dingdong, pulang tinggal pake celana dalem

  8. efi berkata:

    tulisannya berbicara..
    pemilihan kata yg bagus,
    kulo share nggih mas πŸ™‚

    #stein:
    monggo πŸ™‚

Tinggalkan komentar