Eksekutor Terhormat

Tadi sore seperti biasa saya nongkrong sama Kang Noyo di warung kopi Mbok Darmi. Karena aroma tanggal tua sudah mulai menyeruak, kami hanya pesen kopi tanpa gorengan, sambil menyalakan rokok yang dihisap jarang-jarang. Ndobos ngalor ngidul tentang berbagai masalah kecuali masalah sendiri, soale kalo ngomongin itu mumetnya terasa nyata.

Konon di negara kita tercinta ini setiap persengketaan bisa diselesaikan dengan dua cara. Cara yang pertama adalah kekeluargaan, misalnya sampeyan lagi naik motor trus senggolan dengan motor lain di jalan, daripada masalahnya jadi ruwet dan panjang akhirnya disepakati damai dengan kompensasi sejumlah rupiah yang bisa dirundingkan.

Cara kedua adalah dengan penyelesaian hukum. Misalnya dalam kasus senggolan motor tadi sampeyan ndak terima, akhirnya masalah diteruskan ke polisi, dari polisi dilimpahkan ke kejaksaan dan pengadilan. Masalah selesai dengan diketuknya palu hakim.

Tapi berhubung di Indonesia ini rasa kekeluargaannya masih sangat tinggi, jadi kadang sekat antara penyelesaian hukum dan penyelesaian kekeluargaan pun bisa bocor.

“Maksudnya piye tho Le?” Tanya Kang Noyo sambil nyeruput kopinya.

“Mungkin bisa disebut penyelesaian kekeluargaan yang berdasarkan hukum Kang,” Jawab saya sekenanya.

Yang seperti ini misalnya bisa sampeyan lihat di Pasal 44B Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, di situ disebutkan bahwa atas permintaan menteri keuangan, jaksa agung bisa menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan dengan syarat wajib pajak melunasi pajak yang kurang dibayar ditambah denda 4 kali lipat.

“Itu kan berarti diselesaikan secara kekeluargaan tapi ada dasar hukumnya.” Kata saya.

“Yo ndak papa tho Le, daripada orangnya dipenjara tapi ndak keluar duitnya.” Ujar Kang Noyo.

Memang kalo diliat dari tugas Direktorat Jenderal Pajak untuk mengumpulkan duit alasan ini terlihat masuk akal, tapi diliat dari sisi lain bisa juga berarti mengecilkan tindak pidana yang dilakukan.

“Mungkin akan lebih pas kalo orangnya dipenjara dan tetep didenda 4 kali lipat, jadi efek jeranya lebih terasa.” Kata saya sambil terkekeh.

Tapi melihat perkembangan akhir-akhir ini, sepertinya masih ada satu penyelesaian lagi yang bisa digunakan untuk membereskan suatu masalah.

“Opo kuwi Le?” Tanya Kang Noyo.

“Penyelesaian politik.” Jawab saya.

Seperti yang sampeyan tau, Dewan Perwakilan Rakyat sekarang telah berubah dari tukang stempel di jaman orde baru menjadi lembaga yang cukup disegani. Tidak puas hanya berfungsi dalam pembuatan undang-undang maupun penyusunan anggaran, DPR juga aktif dalam menangani berbagai masalah yang terjadi di lapangan dengan membentuk berbagai macam panitia kerja.

“Itu kan bentuk bentuk fungsi pengawasan Le, memang sudah tugasnya biar pemerintah tetep lurus jalannya.” Kata Kang Noyo.

Mungkin itu bentuk pengawasan, tapi kalo melihat aksi yang dilakukan DPR saat terjadi kasus Century sepertinya bukan seperti itu yang terjadi. DPR telah berubah menjadi penyidik, jaksa, sekaligus hakim yang putusannya dipaksakan menjadi penyelesaian masalah.

Kemaren saya membaca berita tentang Panitia Kerja Perpajakan DPR yang sedang melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan PT Permata Hijau Sawit, wajib pajak yang diindikasikan terlibat tindak pidana perpajakan. Dalam RDP itu direksi PT PHS mengklaim bahwa mereka telah melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar, oleh karenanya mereka meminta agar DPR merekomendasikan agar pihak pajak menghentikan penyidikan. Bukan cuma itu, PT PHS juga meminta perlindungan hukum kepada DPR.

“Memangnya bisa DPR nyuruh menghentikan penyidikan? Katamu tadi itu wewenang menteri keuangan?” Tanya Kang Noyo.

“Apa sih yang ndak bisa dilakukan? Wong ngganti menteri saja bisa kok.” Ujar saya.

Saya pikir kok aneh kalo seseorang yang tengah diindikasikan melakukan tindak pidana mengadu ke DPR, lebih aneh lagi kalo nanti pihak penyidik dipanggil untuk dikonfirmasi, akan jauh lebih aneh kalo mereka nanti dikonfrontir, dan akan jadi super aneh bin ajaib kalo nantinya dihasilkan keputusan tentang apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya dilakukan.

“Aneh tho Kang, wong sebuah lembaga terhormat yang seharusnya bermain di level pengawasan kebijakan kok berubah menjadi eksekutor di lapangan.” Sambung saya sambil nyeruput kopi yang tinggal sedikit.

“Halah! Kowe iki sing kemeruh Le, wong cuma buruh pabrik saja sok-sok nganalisa pengawas kebijakan.” Ujar Kang Noyo sambil beranjak pergi.

“Lho Kang, kopinya siapa yang mbayar??” Teriak saya.

Jiyan!

6 comments on “Eksekutor Terhormat

  1. Bupil.com berkata:

    Salam buat mbok darmi kang

  2. […] This post was mentioned on Twitter by mangkum, mas stein. mas stein said: Eksekutor Terhormat: http://wp.me/ppZ5c-sK […]

  3. harikuhariini berkata:

    Kopinya ya mbok diselesaikan secara kekeluargaan jg mas..

  4. wongiseng berkata:

    Sesama maling yo njaluk tulung karo konco-koncone šŸ˜€

  5. Asop berkata:

    Wah, bener2 bahaya ya Mas, kayak gini ini…. šŸ˜¦
    Kok seperti ga ada efek jeranya tho?? šŸ˜„

Tinggalkan komentar