Reality Show : Sosial atau Komersial?

Apa yang sampeyan lakukan di sore hari menjelang maghrib? Ngaji, siap-siap ke mesjid? Ngobrol sama keluarga? Atau mungkin seperti yang saya lakukan kemaren, nonton “Jika Aku Menjadi”, acara reality show yang menampilkan anak kota nan manja menjalani hidup ala orang susah.

Bahkan setelah orang rame-rame menggugat keaslian tayangan jenis ini popularitasnya ndak banyak turun, dari ajang pencarian bakat sampe acara jambak-jambakan semua dijual di sini, dan tetep laku!

Makin lama acara jenis ini memang makin gak jelas, jaman dulu saya ndak suka sama acara berjudul Playboy Kabel. Di situ biasanya ada cewe yang ngetes pasangannya setia atau ndak. Yang saya ndak suka caranya, make cewe penggoda. Misalnya saya, dideketi cewe kaya Aura Kasih atau Wiwied Gunawan, awalnya nolak pun kalo dia ndusel-ndusel terus ya lama-lama ngiler juga.

Dan seakan ndak cukup dengan acara pencarian bakat, maen-maen jadi detektif, sedekah-sedekahan, buka-buka aib orang, sekarang pisuh-pisuhan tanpa solusi pun dijual di televisi. Sayangnya Anjasmara sepertinya kurang canggih jadi wasit sehingga KPI terpaksa turun tangan.

Salah satu jenis reality show yang lumayan populer adalah yang bertema sosial, semacam yang saya liat kemaren itu, “Jika Aku Menjadi”. Reality Show jenis ini berpotensi menggugah rasa empati, walaupun banyak juga yang menuding acara ini tidak lebih dari sekedar jualan kemiskinan.

Menarik yang diungkapkan oleh Aris Setiawan di rubrik opini Jawa Pos, Sabtu 30 Mei 2009. Di situ dia menyindir stasiun televisi dan punggawa-punggawanya yang menangguk untung ratusan juta rupiah dari iklan, sementara si miskin sebagai aktor utamanya Cuma dapet 3 ekor kambing. Dilihat dari sisi ini memang ironis, dan jadi masuk akal apabila kita memvonis telah terjadi eksploitasi kemiskinan demi rating.

Sekarang coba kita sedikit belajar Undang-undang, Pasal 36 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan,

Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

Kita ndak bisa mbantah, butuh duit gede untuk bisa menghidupi stasiun televisi, hal ini menyebabkan tiap acara akan dirancang sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan duit. Kadang ini mengakibatkan acaranya jadi ndak mutu, karena seperti yang diungkapkan oleh senior saya di sekolah tinggi kaum dhuafa kedinasan, Helmi Yahya, masyarakat kita suka tayangan yang menjual mimpi.

Saya ini kok jadi naif sekali, pengen coba menimbang motivasi produser acara ini. Kira-kira lebih berat sisi sosial atau komersilnya. Padahal isi kepala dan hati manusia kan Cuma dia sama Tuhan yang tahu.

Menurut sampeyan apakah reality show kita sudah berhasil membangun rasa empati?

21 comments on “Reality Show : Sosial atau Komersial?

  1. kucrit berkata:

    saya setuju dengan pendapat bang helmi kalo masyarakat kita suka sekali dengan tayangan yang menjual mimpi.Dari itulah para stasioner televisi memanfaatkan mimpi orang-orang yang terbuai mimpi itu dengan mengekspos sebagian dari orang-orang dianggap pantas untuk dijadikan barang komersilnya. Dari sini memang mendatangkan empati dari berbagai pihak, entah itu dari orang-orang yang sama nasibnya dengan yang diekspos atau dari orang-orang yang memang menginginkan dirinya untuk diekspose tanpa menyadari bahwa mereka telah diperalat untuk mendatangkan keuntungan yang jauh lebih besar dari apa yang diberikan stasiun tv kepadanya.

    Kalo Reality show yang kelas muda-muda seperti yang mas utarakan, kalo saya boleh mengatakan, sungguh sangat tidak mendidik sekali. Anak-anak muda telah dicekoki dengan makanan2 yang sesungguhnya tidak baik untuk mereka makan.

    salam kenal mas, komentator baru nih… sory jika koment saya terlalu banyak dan tak terarah… hehehehe…

  2. podelz berkata:

    kalau blog reader apakah juga suka tulisan yang menjual mimpi yah? :D:D

  3. Muzda berkata:

    Ndak suka, Mas ..
    Saya ndak seneng nonton reality show,, saya memang ndak seneng nonton TV, marai bodo ..
    hehee …

    Maksute, ndak semua sih, tapi kok ya kebetulan saya taunya kebanyakan acara tv itu semua (selain yang nggak) itu begitu …

  4. Chic berkata:

    dari dulu ndak suka nonton reality show kecuali Katakan Cinta yang di RCTI itu… 😐

  5. gwgw berkata:

    sekarang gw males lihat gituan….ya males aja…
    capek…terlalu banyak masalah….mending gw lihat film kartun aja.

  6. lambenesugiman berkata:

    Reality yang tidak reality, semua ada skenarionya..
    males nonton..mending Spongebob haha..(kalah karo anak)

  7. edy berkata:

    buat saya acara semacam itu alih fungsi jadi lawakan 😆

  8. adipati kademangan berkata:

    saya sekarang malah takut nonton tipi. isinya sinetron dan reality show semua. Ceritanya sama, mudah ditebak arahnya.

  9. Gandi Wibowo berkata:

    Saya gak pernah nonton “Jika Aku Menjadi” atau “rality” show laennya, jadi boro-boro menggugah, lah wong ceritanya aja gak tau :p

  10. samsul arifin berkata:

    aku baru tahu kalau semua acara reality show itu adalah PALSU sejak dikasih kakak angkatanku, waktu lagi ngumpul2 bareng. katanya, memang semua adegannya itu sudah dirancang sedemikian hingga membawa emosi penontonnya.
    ada adegan saling hujat, saling fitnah, saling pukul, dan adegan2 “anarkis” lainnya.
    setelah itu, aku udah ga lagi2 nonton yang begituan, kecuali kalau terpaksa.
    bahkan di kamarku sekarang udah ga ada tipi. keren kan? 😀

  11. mercuryfalling berkata:

    acara tv kita memang hrs dibabat. mual rasanya waktu ke indo, isinya infotaintmen tiap jam yg isinya seragam pulak. sekarang ini aku yakin deh pasti manohara pinot lg rame di tv hwhahhaa

    kalo reality show, aku gak tau. gak pernah nonton. yg jelas, gak ada yg bermutulah. prodoser khan prioritasnya fulus doank.

  12. ah, reality show, kasihan orang-orang miskin yang dieksploitasi itu, tapi kalau yang macam bedah rumah saya dukung mas, kan membantu mereka itu 😀
    saya kadang masih suka nonton termehek-mehek, cuma mau lihat presenternya, mbak panda yang manis ituh :mrgreen:

  13. depz berkata:

    seperti hukum ekonomi
    dimana ada kebutuhan maka disana ada barang/jasa
    kalo acara tersebut ga laku, ga mgkn akan menjamur
    sekarang menurut saya yang perlu diatur adalah koridor dan aturan-aturan sehingga hanya efek positif saja yang muncul
    terus terang diantara reality2 yang menjual teriak2, pertengkaran dan perselingkuhan saya lebih menghargai reality show yang “mengajarkan” kepedulian.
    salah 1nya “jika aku menjadi”
    buat saya pribadi itu memberi efek pstif yang mengajarkan bahwa kita harus membuka mata dan jangan selallu melihat keatas
    buat mereka yang menganggap itu hanya eksploitasi kemiskinan, itu terserah mereka.
    yang penting nilai-nilai positif nya.
    toh bukankah industri tv adalah industri eskploitasi?
    salam

    -life is beautiful-

  14. wijna berkata:

    kalau memang niatnya semata-mata mengejar keuntungan, apapun bentuk kebaikannya, semua bakal sia-sia…

  15. asri berkata:

    he eh, tayangan tipi semacam sinetron menjamur, reality show jg… -________-;

    *kyk ga pernah liat aja*

    iya iya, sy kdg2 liat bedah rumah atw dibayar lunas, smw d RCTI

    sptnya proses critanya sih sama aja, skenario. klo bedah rumah agak mending sih, artis yg nginep ganti2
    lha klo ‘dibayar lunas’ debt collectornya org yg sama, malaikatnya jg sama terus, masa kan org sekampung gak ada yg liat tipi ;p

    tapi ngebedahnya, n ngebayarin utangnya bnran kyknya… jd msh bermanfaat lah…

    klo termehek-mehek dan semacamnya sangat tidak suka 😀

  16. Gak pernah nonton lagi mas
    dulu sich suka termehek – mehek
    tapi semenjak tau itu boongan
    yo wiis males wae

  17. mamas86 berkata:

    Sekarang itu yang dipikirkan hanya bagai mana cara bisa menghasilkan untung sebesar-besarnya….

  18. Ade berkata:

    Ndak pernah nonton lagi Mas.. dulu pernah nonton tapi lupa judul acaranya. Itu lo, yang ada orang (pura2) minta tolong, trus yang nolong bakalan dapet hadiah.

  19. deeedeee berkata:

    tapi yg jenis gini emang paling byk ditonton, Mas…
    kesannya lebih deket ke masyarakat walo ternyata itu hanyalah taktik dagang ala stasiun tipi tuk mendulang rating tinggi…. fuuih

  20. marshmallow berkata:

    dan kita lebih suka dramanya daripada melihat esensi permasalahan yang sebenarnya.

    ah, membicarakan tayangan reality show memang selalu menuai pro dan kontra. mendingan saya, nggak nonton sekalian! blas! mending ngeblog aja! *sakit hati sama tayangan televisi*

    eh, sebelum kelupaan, bahwa reality show sendiri tidak ril, mas. there’s nothing real on tv! terbukti dari beberapa acara serupa produksi hollywood sana yang ternyata menggunakan jasa aktor (tidak terkenal, biasanya figuran atau jebolan sekolah seni) buat jadi bintang tamu acaranya, dan ceritanya punya skenario. kalau saya bilang sih, semua reality show ya begitu, tak peduli tema atau siapa produsennya.

  21. Jafar Soddik berkata:

    Reality show, dari namanya saja kita bisa tahu bahwa ini adalah sebuah show atau pertunjukan jadi sebaiknya tidak perlu terlalu menanggapinya dengan emosional.

    Kemarin-kemarin masih ada acaranya Anjasmara yang sulit dipercayai itu adalah program ‘nyata’ karena begitu vulgarnya konflik yang ditonjolkan dan aib yang dibuka blak-blakan ke hadapan publik. Tapi KPI mampu bertindak tegas.

    Namun program reality show atau bukan tetap akan ada pelajaran yang bisa kita petik di dalamnya, walaupun mungkin jumlah keburukan di dalamnya lebih banyak dibanding kebaikan yang bisa kita peroleh. Dan dari kebaikan yang sedikit itu mudah-mudahan bisa memberi pengaruh positif terhadap masyarakat.

Tinggalkan komentar