Kualat Rojo Koyo

Di kampung saya dulu hewan ternak disebut sebagai rojo koyo, karena simbol kekayaan para priyayi jaman dulu selain tanah yang luas juga punya hewan ternak yang banyak. Biar rumah reot pun kalo punya sapi tetep dipandang lumayan kalo di kampung.

“Itu kan dulu, sekarang sudah ndak jaman menumpuk ternak sebagai simbol kekayaan.” Sergah kang Noyo.

“Mosok sih Kang? Di kampung saya masih kok.” Kata saya.

“Halah! Maksudku di sini Le, di kota. Sekarang simbol status itu mobil, blekberi, baju modis, sepatu mahal. Ndak mungkin kamu naruh sapi di rumahmu, wong rumah cuma pintu masuk tiga langkah sudah ketemu pintu keluar.” Kang Noyo ngakak.

Asem! Batin saya. Ngomong-ngomong soal simbol kekayaan ini konon banyak orang yang jadi lebih miskin gara-gara ndak mau kelihatan miskin.

Memang simbol kekayaan jaman sekarang sudah bukan rojo koyo lagi tapi ternyata kebutuhan akan hewan ternak, sapi khususnya, masih sangat tinggi. Tahun 2008 saja Indonesia mengimpor sapi hidup dari Australia sebanyak 651.196 ekor, naik 26% dibanding impor tahun 2007 yang mencapai 516.992 ekor.

“Lha kok banyak banget? Sebenernya negaramu ini negara apa tho Le? Mosok yang hasil tani sama ternak saja kita yo ndak mampu nutup kebutuhan sendiri?” Tanya Kang Noyo.

Saya sendiri juga bingung, mungkin karena terlalu banyak orang sibuk beradu wacana, dari tingkat elit sampe mahasiswa semuanya ngomong di awang-awang. Padahal konsep, bahkan yang paling ideal sekalipun, ndak bisa bikin kenyang.

“Konon katanya sih beternak di negeri kita ndak bikin makmur Kang. Lha piye, pemerintah cuma bergerak cepat kalo harga daging tinggi tapi ndak berbuat banyak untuk meningkatkan pendapatan peternak yang rata-rata orang kecil itu.” Kata saya.

Untuk Program Bantuan Sosial Fakir Miskin yang diadakan oleh Departemen Sosial pada tahun 2004 pun sapinya diimpor dari Australia. Bachtiar Chamsyah, politisi yang kesuksesannya memimpin Pansus Bulog berbuah kursi Menteri Sosial pun menuai getahnya. Konon bekas menteri departemen yang sempat dibubarkan Gus Dur ini menyalahi prosedur dengan menunjuk langsung PT Atmadhira Karya sebagai pengimpor sapi.

“Kualat sama Gus Dur mungkin yo Le.” Ujar Kang Noyo.

Jiyan! Kok masih sempet-sempetnya nyinggung kualat.

“Tenan lho Le, mungkin beliau sekarang lagi nyesel kenapa Departemen Sosial dibentuk lagi.” Kata Kang Noyo lagi.

Halah!

This entry was posted in Ndobos and tagged .

8 comments on “Kualat Rojo Koyo

  1. wongiseng berkata:

    Tunggu 2015 ketua pansus sekarang ikut kuwalat dan terlibat skandal juga ndak 😛

  2. budiono berkata:

    hahahaha… dulu bupati ponorogo dan anaknya juga terjerat masalah sapi, kualat rojo koyo! kwkwkw

  3. Huang berkata:

    bicara soal ternak:

    di tempat saya kalo misalnya nabrak ternak itu biaya ganti ruginya gede loh..

    seekor ayam bisa sampe 1 – 1.5 juta
    seekor sapi bisa 5 – 10 juta, bahkan lebih.

    alasan mereka: karena itu sumber penghasilan mereka… wkkwkw

    • novee berkata:

      wah mahal tenan, rek…jangan² kalo nambrak mobil angkot bisa kena denda 85 jt kali ya? padahal uang segitu bisa buat beli mobil second 1 lagi..

  4. itikkecil berkata:

    berarti orang yang merasa paling bersih selama ini bakal kualat jugakah?

  5. mawi wijna berkata:

    kapan negeri ini jadi negeri sapi…

  6. chocovanilla berkata:

    Sapi sebanyak itu? Trus kok masih banyak yang gak bisa minum susu ato makan daging yak?

  7. […] dulu kan masuk kategori rojo koyo, alias benda yang merupakan simbol kekayaan pemiliknya. Dalam buku panduan Bahasa Jawa versi […]

Tinggalkan komentar