Tradisi Serangan Fajar

Saya ketawa waktu mbaca berita para calon walikota yang kalah dalam pilkada di kota tempat saya mburuh pada menggugat walokota terpilih dengan alasan mereka menemukan indikasi telah terjadi money politic. Lha piye ndak ketawa? Wong sehari setelah pemilihan walikota saya ketemu sama seorang teman di pabrik, dia dengan antusias cerita kalo semaleman begadang mbagi amplop ke warga.

“Tiap ketemu sama tim dari calon lain takbilangin kalo di sini sudah, kamu mbaginya di sebelah sana saja.” Kata temen saya itu.

“Semua calon mbagi duit?” Tanya saya.

“Iya, cuma beda di nominal saja. Ada yang ngasih satu amplopnya Rp 50 ribu, ada yang cuma Rp 30 ribu.” Jawab temen saya.

“Sampeyan ketemu gitu ndak ribut?” Tanya saya lagi.

“Ngapain ribut? Wong sudah tau sama tau. Waktu pagi itu malah aku ngasihnya di depan gang pas orang-orang mau berangkat nyoblos, biasanya yang paling mereka inget ya yang terakhir ngasih. Buktinya jagoanku menang tho.” Pungkas temen saya sambil tersenyum lebar.

Cerita bagi-bagi amplop itu mengingatkan obrolan saya dengan seorang mantan calon bupati di daerah tapal kuda sana yang dengan sangat terang menjlentrehkan bagaimana cara dia mengatur strategi pembelian suara anggota DPRD yang efektif dan efisien, termasuk bagaimana dia dijegal oleh partainya sendiri sehingga menyebabkan lawan politiknya lah yang akhirnya terpilih. Waktu itu pemilihan kepala daerah masih dilakukan oleh DPRD.

“Sekitar Rp 8 milyar.” Jawab sang mantan calon bupati waktu saya tanya berapa dana yang telah dia keluarkan.

Kalo sampeyan berani mengeluarkan modal sebesar itu untuk membeli suara, yang saya artikan sebagai menghalalkan segala cara untuk menang, besar kemungkinan sampeyan berharap minimal selama masa pemerintahan bakal balik modal, sukur-sukur ada sedikit keuntungan.

Bagaimana dengan pembangunan?

Ah, itu kan hal yang pasti terjadi dengan sendirinya. Tiap unit pelaksana teknis sudah tau apa yang harus dilakukan, dan tiap taun pemda dapet jatah anggaran kan?

Waktu itu saya sempet nanya sama sang mantan calon bupati, “Kalo waktu itu sampeyan terpilih kira-kira berharap balik modalnya dari mana Pak?”

Si bapak mesem, “Mau contoh paling gampang? Dari bunga simpanan APBD. Misalnya bunga deposito 7% saya tinggal minta dikasih bunga 7,5%, yang 0,5% buat saya. Dan mereka pasti mau, kalo ndak mau ya tinggal saya pindah bank saja. Dan itu baru satu sumber…”

Rasanya memang sulit untuk membayangkan orang yang sudah keluar modal habis-habisan bakal bisa memimpin daerah dengan lurus tanpa berbuat macem-macem.

Celakanya ternyata rakyat juga sudah terlanjur nyaman dengan jual beli suara yang dilakukan saat pemilihan kepala daerah. Contohnya bisa sampeyan liat hasil survey yang dilakukan oleh Universitas Paramadina bersama Pride Indonesia di Mojokerto menunjukkan 14,9% warga berharap peserta pilkada memberikan uang jika ingin dipilih, dan itu adalah persentase tertinggi dibanding jawaban lain. Contoh lain warga Dusun Menden, Ponorogo yang urung memilih gara-gara ndak dapet jatah duit. Atau mungkin bisa sampeyan liat di Desa Ploso, Sidoarjo, yang juga menolak memilih karena ndak kebagian duit dari seorang calon bupati.

Siapa yang salah?

Pertanyaan ini wajib dikeluarkan karena di Indonesia ini ndak marem rasanya kalo ndak bisa menuding satu pihak untuk dimaki-maki, walaupun setelah itu ya sudah, nunggu kasus lain lagi untuk mencari pihak baru yang bisa kembali dimaki-maki.

Dalam kejaian ini sepertinya pihak yang lebih enak disalahkan adalah para politisi, bukan karena mereka sudah pasti bersalah tapi karena rasanya ndak enak menyalahkan rakyat yang selalu identik dengan melas dan lemah. Konon yang seperti ini memang karena kegagalan para kader parpol dalam memberikan pendidikan politik kepada rakyat, mereka ndak punya kemampuan untuk ngasih tau bagaimana memilih pemimpin yang baik, mampunya cuma bagi-bagi duit.

Yang jelas keadaan ini ndak boleh dibiarkan, selain menyuburkan praktek korupsi untuk nyari balik modal, membuat rakyat kecil jadi keliatan murahan karena cuma dibayar puluhan ribu tanpa diajari untuk menentukan nasib daerah mereka sendiri, juga banyak membawa korban di kalangan politisi. Contohnya bisa sampeyan liat di sini, seorang pengusaha yang terpaksa masuk rumah sakit jiwa setelah bangkrut gara-gara kalah dalam pilkada.

Lha trus solusinya apa?

Solusi pertama format pemilihan kepala daerah dikembalikan seperti model lama, dipilih oleh DPRD. Paling ndak kalo main suap-suapan ndak perlu modal gede-gede, biar nanti mereka korupsinya juga ndak edan-edanan.

Solusi kedua dana kampanye dijatah sama pemerintah, ndak boleh make uang sendiri, dan laporan penggunaannya diawasi secara ketat. Biar kapok, kalo ternyata mereka ndak punya basis masa yang solid dan militan ya biar ndak kepilih. Kalo ternyata ndak ada yang kepilih yo ben, biar mereka sadar kalo sebenernya mereka ndak punya kapasitas untuk jadi pemimpin.

“Welhah! Kok usulmu jadi mutung dan ndak mutu gitu Le?” Tanya Kang Noyo sambil nyomot gorengan di warung Mbok Darmi.

“Yo ben!”

“Atau gini saja Le, biar sekalian mutung ndak usah ada kepala daerah saja, toh ada atau ndak ada bupati pembangunan akan tetep jalan seadanya.” Ujar Kang Noyo.

“Lha! Kok makin ndak mutu usulannya Kang?”

“Yo ben!”

Lhadalah, podho mutunge.

Jiyan!

This entry was posted in Ndobos.

14 comments on “Tradisi Serangan Fajar

  1. […] This post was mentioned on Twitter by mangkum, Tobagus Manshor. Tobagus Manshor said: Tradisi Serangan Fajar: http://wp.me/ppZ5c-vq […]

  2. partnerinvain berkata:

    Udah jadi tradisi kayaknya Mas Stein moga ngga turun-temurun yaa

    #stein:
    semoga

  3. budiono berkata:

    podo cak aku yo ngakak, gak onok sing gak curang lah nek masalah ngene iki.. lha wong rakyate ae yo menyediakan diri untuk disogok kok :d

    #stein:
    lha cocok tho? tumbu oleh tutup 😆

  4. mawi wijna berkata:

    Betul Kang, pendidikan politik di negeri kita mesti diperbaiki hingga menyentuh setiap lapisan warga, sehingga imej bahwa politik = uang benar-benar terhapus dari benak masyarakat kita.

    #stein:
    konkretnya seperti apa kira-kira ya mas?

  5. wesweswes berkata:

    sya setuju sama usul empiyan yg nomor dua, dibikin pembatasan max dana kampanye soalnya jaman sekarang ini tambah besar dana kampanyenya tambah ngawur maennya kang…ada lgi tren politik d negeri ini,setiap kepala daerah selesai menjabat pasti kesandung kasus korupsi…mungkin jawabanya tulisan empiyan d atas tadi kang

    #stein:
    Indonesia ini memang negara unik, ada masalah-masalah yang terjadinya rutin tapi ndak juga ada penyelesaiannya, salah satu contohnya ya ini 😆

  6. zulhaq berkata:

    sett dah! banyak amat modalnya. sampe milyaran gitu.
    keknya emang lebih bagus kek yang lama.
    yang jelas, semua pasti ada kekurangan dan kelebihannya masing masing.

    *panggil koruptor Ya Allah *eh

    #stein:
    eaalaaahh!! :mrgreen:

  7. devieriana berkata:

    yang pernah kebagian kaya begitu itu mertua saya 😆
    pas menjelang hari H banyak banget yang ngasih baik dalam bentuk uang atau barang sambil dikasih pesan-pesan sponsor “jangan lupa pilih nomer sekian”. Si mama mertua sih iya-iya aja. katanya gini :

    “mama sih bilang iya-iya aja dulu, soal nanti mama coblos apaan kan suka-suka mama ya.. emang bakal dicekin satu-satu. enggak kan?” 😆

    #stein:
    lha ini juga sama saja, ndak yang nyoblos ndak yang dicoblos sama-sama cuma obral janji :mrgreen:

  8. Tary Sonora berkata:

    ttg coblos mencoblos toh, jadi inget bulek ku, semua gambar di coblos heheh

    #stein:
    adil dan merata :mrgreen:

  9. Extraordiharry berkata:

    Kalau saya, jika saya dikasih uang sebelum nyoblos sih, ndak apa-apa. Uang tetap saya terima. Lumayan buat beli rokok. 😀 kapan lagi bisa dapet uang gratis :D. Tapi kalo untuk urusan nyoblos, Saya pilih orang-orang yang sanggup menjadi pemimpin mas. 😀

    #stein:
    ini juga ndak bener mas, lha sampeyan jadinya turun derajad seperti para politisi yang suka ingkar janji itu.

  10. orange float berkata:

    masalah beginian sudah menjadi rahasia umum cuma kadang yang kalah ngak mau mengakui kekalahannnya

  11. wiwi berkata:

    ya beginilah kalau kita (baca:indonesia) keburu-buru nerapin sistem demokrasinya Pakde Sam yang pemilihan langsung gitu, padahal masyarakat kita blm semuanya punya wawasan politik yang luas, padahl 5 menit milih utk pembangunan 5 tahun, hanya dpt 50.000. Sengsaranya 5 tahun, ya tho mas? 😀

Tinggalkan komentar